Motivasi Literasi Henry Manampiring
Baginya yang gemar juga menonton film, fiksi ini seperti membuat film, tapi lewat tulisan.
Dari hobi menulis, belajar akuntansi, meneliti untuk pemasaran, tertarik pada psikologi, hingga bermuara pada pengembangan diri merupakan babak perjalanan yang dilalui penulis Henry Manampiring. Tiap pengalamannya ini perlahan berpengaruh bagi dirinya dan tanpa disangka berdampak juga bagi banyak orang.
”Ha-ha-ha, iseng memang itu Joko Anwar. Tapi jadi ada pengalaman main film walau sebentar,” ungkap Henry sembari tertawa ketika disinggung tentang penampilannya di film Siksa Kubur (2024) yang tengah tayang di bioskop.
Meski telah diinfokan melalui media sosial tentang debut singkatnya itu, kehadiran penulis buku ini sebagai seorang ilmuwan yang menjelaskan seputar kematian tetap saja mengejutkan. ”Lagi makan bareng terus Joko ngajak main film dia? Kaget, tapi ya ayolah, kenapa enggak,” ujarnya.
Meski begitu, dunia kepenulisan jelas tak tergantikan bagi Henry yang telah memutuskan sebagai penulis penuh sejak tahun lalu. Di rumahnya di kawasan Jakarta Selatan, ia menuturkan mengenai keputusannya itu beserta persiapan menuju peluncuran buku kedelapannya yang diterbitkan lagi oleh Penerbit Buku Kompas.
Selama ini, sosok Henry memang dikenal lewat tulisan-tulisannya, baik di blog, media sosial, sampai rentetan bukunya. Antara lain seperti Filosofi Teras yang hampir melampaui cetakan ke-70 dan The Alpha Girl’s Guide yang juga menjadi mega best seller. Khalayak pun lebih mengenalnya sebagai penulis ketimbang praktisi marketing/pemasaran dan komunikasi merek.
Padahal dunia pemasaran telah digeluti Henry lebih dari 25 tahun. Di awal kariernya, ia yang merupakan lulusan Akuntansi dari Universitas Padjadjaran justru terjun sebagai consumer research manager di British American Tobacco selama empat tahun dan berlanjut selama setahun sebagai Senior Consumer Insight Analyst di Coca-Cola Indonesia.
Saat itu, tugasnya adalah melakukan riset konsumen, survei konsumen, dan ngobrol bersama konsumen. ”Walaupun itu bukan departemen paling seksi di marketing, looking back saya malah bersyukur karena saya menemukan suka dengan perilaku konsumen, perilaku manusia. Kalau boleh mundur pakai mesin waktu, saya akan kuliah psikologi, belajar psikologi konsumen,” tuturnya.
Baca juga: Toni Collette: Film, Momen Penemuan Jati Diri
Ketertarikannya pada perilaku manusia ini terefleksi dengan baik dalam tiap bukunya. Buku kedelapannya yang mulai dapat dipesan pada akhir Mei ini juga tetap bersandar pada perilaku manusia dan tema pengembangan diri. Namun kali ini, Henry menjahitnya dengan pengalamannya berkecimpung di dunia marketing.
”Ada kesalahpahaman marketing yang sangat klasik dan baru-baru ini disadari. Waktu itu, advertising dan marketing dibangun berlandaskan kepercayaan konsumen itu harus diberi argumen yang rasional. Belakangan sekitar 20 tahun terakhir, ilmu psikologi berkembang dan menyadari manusia itu banyak kali mengambil keputusan berbasis emosional,” ujar Henry yang memasukkan mengenai hal ini dalam buku barunya.
Sebelumnya, Henry selalu menolak menulis buku mengenai pemasaran. Menurut dia, sudah banyak buku terkait marketing yang beredar. ”Benar kata pepatah, never say never. Tapi ternyata saya menemukan celah yang bisa unik. Saat mempelajari lagi tentang konsep-konsep marketing ini, lho, ini bisa dipakai untuk brand, tapi bisa juga dipakai untuk diri kita. Tercetus ide gimana kalau gabungkan buku marketing dan buku pengembangan diri,” jelasnya.
Dalam buku yang nanti bertajuk Belajar Marketing, Belajar Hidup: Prinsip-prinsip Marketing untuk Hidup Efektif, Henry akan membahas konsep-konsep marketing yang fundamental dengan bahasa yang kasual, mudah dimengerti, dan aplikatif. ”Misal, marketing buat membantu karier atau nyari pekerjaan, naik karier, sampai mencari jodoh itu ada di buku. Ada juga tentang start up, kan, lagi banyak PHK, apa, sih, yang terjadi?” ungkap Henry.
Misal, marketing buat membantu karier atau nyari pekerjaan, naik karier, sampai mencari jodoh itu ada di buku.
Di sisi lain, ia juga menekankan pentingnya riset konsumen dan penggunaan data empiris dalam marketing. ”Kalian punya social media strategist, video viral, apps yang lucu-lucu, itu tuh di ujung. Marketing itu ada perjalanannya di belakang layar, yang sering enggak keliatan, padahal ini penting buat brand. Diskusi strategi, segmentasi konsumen, positioning brand, kemudian four Ps of marketing, yaitu product, place, price, promo,” ungkapnya.
Riset dan penggunaan data empiris ini juga selalu digunakannya ketika menulis, termasuk pada buku barunya. Bahkan ia kerap memunculkan survei mandiri sebagai salah satu langkahnya memetakan perilaku manusia, seperti Survei Khawatir Nasional di Filosofi Teras atau Survei Menyebalkan Nasional di 7 Kebiasaan Orang yang Nyebelin Banget. Kendati demikian, ia selalu memberikan pernyataan di awal bahwa hasil surveinya tidak bisa dianggap mewakili keseluruhan populasi karena metodenya disebar secara daring dan organik di media sosial.
Tumbuh ”online”
Berbicara media sosial, Henry mau tidak mau harus mengakrabinya. Terlebih profesinya di bidang marketing membuatnya patut melek pada perkembangan yang terjadi di berbagai kalangan. Perkembangan teknologi dengan media sosialnyalah yang kemudian disebutnya sebagai salah satu laboratorium untuk menjalankan observasi terhadap perilaku manusia.
Kejeliannya dan keaktifannya di berbagai media sosial berbuah banyaknya pengikut yang berinteraksi dengannya. Tak hanya berguna bagi pekerjaannya, obrolan para warganet ini rupanya mampu memantik kreativitas Henry untuk melahirkan buku. ”Dari kecil, saya sudah suka menulis. Kalau SD dapat tugas mengarang, saya menulisnya lebih banyak daripada yang diminta guru,” kata Henry.
Ketika era blog melejit, Henry rutin menulis dan membagikannya. Hingga pada suatu hari, Penerbit Buku Kompas tertarik membukukan tulisannya yang kemudian diterbitkan dengan judul Cinta (Tidak Harus) Mati yang rilis pada 2012 sebagai buku pertama. Disusul buku 7 Kebiasaan Orang yang Nyebelin Banget pada 2014 dan The Alpha Girl’s Guide pada 2015.
Uniknya, di buku ketiga ini, Henry tetiba mengambil tema mengenai pemberdayaan perempuan. Bukan tanpa penyebab, lagi-lagi jejaring sosial menjadi pemicunya. Kala itu, Ask.fm cukup diminati anak muda medio 2014-2015. Henry yang akrab disapa OmPiring di media sosial ikut serta dalam keriuhan media tanya jawab itu.
Pada suatu ketika, muncul satu pertanyaan kepadanya apakah penting perempuan sekolah tinggi kalau ujung-ujungnya di dapur. ”Enggak tahu kenapa, saya kesel banget lho waktu itu, padahal belum punya anak saat itu. Tapi jadi kepikiran kalau suatu hari saya punya anak perempuan, kalau bisa dia jadi PhD, terbang setinggi-tingginya. Lagian tahun segini, kok, bisa ada pertanyaan itu. Murka saya,” tuturnya.
Henry yang merasa seperti sedang berpetuah pada anak perempuannya menjawab pertanyaan warganet itu yang intinya perempuan tetap harus mandiri dan sebaiknya tak bergantung sepenuhnya pada pasangan karena masa depan tak pernah ada yang tahu. Tak diduga, jawaban itu viral.
Baca juga: Kanti W Janis, Pemberontak Kutu Buku
Makin lama, makin bermunculan pertanyaan bernada mirip. Bahkan ada yang bercerita dilarang mencalonkan diri sebagai ketua OSIS oleh guru di sekolahnya karena dia perempuan. ”Di tahun 2015, di era internet, di era smartphone, ada sekolah yang gurunya kayak gitu. Saya nyap-nyap di situ. Eh, makin rame. Akhirnya, ada follower yang ngasih usul, daripada saya jawab ngulang-ulang kenapa enggak dibukuin. Iya juga, kan. Jadi, kadang ide buku datang dari follower juga,” ungkapnya.
Belakangan pada 2022, Henry dikejutkan dengan lonjakan penjualan dan permintaan buku The Alpha Girl’s Guide ini. Sebab, ketika awal dirilis pada 2015, diakuinya tak terlalu laku. Setelah ditelusuri, buku ini menjadi tinggi peminat seusai diulas oleh seorang generasi Z di Tiktok. Berbeda dengan Filosofi Teras yang naiknya cukup cepat dan kian melejit ketika pandemi.
”Pertama terbit, kan, belum ada Tiktok, tuh. Ngetop tiba-tiba. Saya penulisnya bingung, penerbitnya juga. Ha-ha-ha. Ya itu misteri tentang dunia buku ya. Kadang lihat di awal, kok, penerimaannya hangat-hangat kuku, kita enggak pernah tahu umurnya kapan dia naik,” tuturnya.
Diri dan literasi
Buku yang bercerita tentang seluk-beluk stoikisme dengan implementasinya ini sangat relevan di tengah masyarakat, terutama saat kekhawatiran memuncak di tengah pandemi yang mencekam. Semula buku ini bagi Henry semacam pengobatan terapeutik setelah dirinya didiagnosis major depressive disorder oleh psikiater sekitar 2017.
Ia pun berkisah, gejalanya sudah dirasakan cukup lama sebelum akhirnya memutuskan ke profesional atas saran sang istri. ”Itu pentingnya punya pasangan yang mengerti. Dia yang menyarankan kalau saya butuh bantuan profesional dan untungnya saya mau, ya. Karena banyak orang mentok soalnya merasa ada stigma kalau ke psikiater itu artinya gila. Kesannya negatif. Alasan saya nulis Filosofi Teras, salah satunya juga mengurangi stigma itu,” tutur Henry.
Dalam menjalani pengobatan itu, Henry bertemu dengan buku stoikisme. Sebagai orang yang hobi membaca, ia melahap buku itu dengan lekas dan malah memunculkan ide untuk menulis. Persinggungan dengan stoikisme dan kegemarannya menulis ini menjadi remedi yang mujarab.
”Dari kecil suka baca. Dulu orangtua saya jarang beli mainan. Tapi kalau pergi ke Pasar Baru dan saya pilih buku gitu, langsung dibayar. Buku Lima Sekawan, buku Agatha Christie itu langsung ke kasir ayah saya,” kenang Henry yang merasa bersyukur karena kebiasaan membaca ini turut membantu mempertajam tulisannya.
Di rumahnya kini, rak buku di ruang depan dan ruang kerjanya penuh buku berjajar. Yang mencuri perhatian selain deretan buku adalah potret Bung Karno di samping piano. Ada tiga potret hitam putih Bung Karno yang tengah membuka pelaksanaan Pemberantasan Buta Huruf di Yogyakarta pada 14 Maret 1948 terpajang di situ. Henry mengaku merasa cocok dengan nuansa yang dihadirkan dalam potret itu karena berkaitan dengan literasi, sesuatu yang terus digalinya. Sama sekali bukan politis.
Walakin mengenai politik, Henry menuangkan imajinasinya lewat fiksi pertamanya, yaitu Hitam 2045, bernuansa distopia dan kondisi Indonesia yang kembali dipimpin oleh rezim otoriter. Seperti nubuat, kalau kata orang-orang yang telah membacanya.
Baca juga: Jalan Oscar Motuloh Memperpanjang Ingatan
Meski diakuinya tak mudah menulis fiksi, Henry telah berencana kembali melahirkan karya fiksi. Apalagi ia kini sudah secara penuh memutuskan menulis. Baginya yang juga gemar menonton film, fiksi ini seperti membuat film, tapi lewat tulisan. Theatre of mind katanya.
”Bukan keputusan yang mudah (menjadi penulis penuh waktu). Karena menjadi profesi penulis itu berat. Ya royalti, ya pembajakan, plus tingkat literasi kita, kan. Dulu belum beranilah. Sekarang, rasanya bisalah jadi sumber penghidupan walau pressure juga ya,” ujarnya.
Namun, apa,pun yang membawa Henry, muaranya pada satu titik tetap pada literasi untuk jalan pulang ke diri.
Henry Manampiring
Lahir: 17 Agustus
Pendidikan terakhir: Master of Business Administration, Melbourne Business School, Australia
Penghargaan:
- Book of the Year 2019 untuk Filosofi Teras-International Indonesia Book Fair
- Influencer Award the Future is Here, Kemendikbud, 2019
- Linkedin Power Profiles 2017