Rojai, Petani dan Peternak Unggul dari Cirebon
Rojai mengembangkan sistem pertanian dan peternakan organik untuk menyejahterakan petani serta menjaga lingkungan.
Di tangan Rojai (49), urine dan kotoran sapi disulap menjadi uang jutaan rupiah. Petani sekaligus peternak di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, ini, mengembangkan pupuk dan pestisida organik. Ia tidak hanya menerapkan pertanian ramah lingkungan, tetapi juga berjuang memandirikan petani.
”Alhamdulillah, dapat pesanan (pupuk kompos) lagi dari dinas (pertanian), 9-10 ton,” ucap Rojai, Selasa (16/4/2024). Dengan harga Rp 2.000 per kilogram, ia bisa meraup Rp 18 juta dari permintaan itu. Jumlah itu tujuh kali lipat dari upah minimum Cirebon, Rp 2,4 juta per bulan.
Menariknya, uang jutaan rupiah itu berasal dari kandang sapi miliknya di Desa Tegalkarang, Kecamatan Palimanan, Cirebon. Di tempat dengan instalasi pengolahan limbah itu, terdapat 10 sapi yang mengeluarkan kotoran dan urine. Dari sampah berbau itulah, cuan berdatangan.
Akhir Februari lalu, misalnya, ia menunjukkan drum biru berisi 100 liter urine sapi yang telah difermentasi di kandang tersebut. Saat tutupnya dibuka, aroma urine yang menyengat menguar dengan gelembung di atasnya.
”Ini kalau dijual, harganya Rp 2 juta,” ucap Rojai tersenyum.
Urine itu menjadi bahan utama pupuk organik cair (POC). Dengan harga Rp 20.000 per liter, POC itu dapat membantu pertumbuhan tanaman. Itu lebih murah dari pupuk cair kimia yang berkisar Rp 60.000-Rp 90.000 per liter. Meski demikian, POC buatannya bukan murahan.
Sawah yang disemprot POC, batang dan daun padinya hijau. Tanahnya mudah ditanami, subur. Kebutuhan POC minimal 5 liter per hektar.
”Urine sapi itu mengandung pestisida. Jadi, enggak usah beli obat (pestisida kimia) lagi, larang (mahal),” ucap Ketua Kelompok Ternak Jaya ini.
Ditertawakan
Perjumpaan Rojai dengan pertanian organik bermula tahun 2016. Saat itu, pemilik 120 sapi dan 50 kambing ini menjadi peternak terbaik tingkat Kabupaten Cirebon. Ia pun mendapatkan program unit pengelolaan pupuk organik dari dinas pertanian setempat.
Melalui program itu, ia mulai mengolah limbah ternak menjadi pupuk dan pestisida organik. Rojai juga mengikuti berbagai pelatihan dari peternak di Lembang, Bandung, hingga peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Ia pun tak keberatan merogoh dompetnya.
”Saya pelatihan di Bogor (Jabar), habis Rp 5 juta. Saya diketawain sama orang dinas (karena ikut pelatihan berbayar),” kenangnya. Orang dinas, kata Rojai, terkejut karena baru mendapati petani yang belajar pertanian organik dengan biaya sendiri. Biasanya, petani hanya ikut jika diundang.
Namun, bagi bapak enam anak ini, biaya dan waktu yang ia gunakan untuk belajar pertanian organik merupakan investasi. Ia, misalnya, memahami bahwa kesuburan tanah bergantung pada organisme, seperti banyaknya bakteri di dalamnya. Bakteri itu ada jika memakai bahan organik.
Baca juga: Hendrik Nurwanto, Rezeki Mengalir dari Kebun Gedong Gincu
”Petani kita dibalik. Yang dibanyakin pestisida (kimia). Padahal, itu yang membunuh bakteri,” ucapnya. Menurut Rojai, pupuk kimia diperlukan cukup untuk starter pertumbuhan tanaman saja. Selebihnya, katanya, pupuk dan pestisida organik lebih baik dan lebih murah bagi petani.
Pupuk kompos sangat membantu di tengah berkurangnya alokasi pupuk bersubsidi dari pemerintah. Petani, misalnya, hanya dijatah 70 kg per satu jenis pupuk per satu hektar sawah. Padahal, biasanya petani mendapat lebih dari 1 kuintal per jenis pupuk bersubsidi.
Petani pun membeli pupuk nonsubsidi dengan harga bisa Rp 1 juta per kuintal. Ketika banyak petani kekurangan pupuk bersubsidi, ia santai saja.
”Dari 2017, saya enggak pernah bergantung sama pupuk dan pestisida kimia,” ucap Ketua Kelompok Tani Makmur Desa Tegalkarang ini.
Setelah bertahun-tahun menggunakan bahan organik, padinya kerap tumbuh hijau dan menguning. Ia mengklaim, salah satu perusahaan pupuk pernah mengukur kadar pH sawahnya.
”Hasil pH-nya normal, sekitar 7. Padahal, di mana-mana, pH-nya paling 5,” ungkap Rojai.
Ia mengklaim, hasil panen musim gadu (tanam kedua) tahun lalu mencapai 10,3 ton gabah basah per hektar. Padahal, petani biasanya hanya memanen 6-7 ton gabah per hektar.
Tidak hanya itu, rendemennya juga lebih tinggi. ”Kalau padi, biasanya rendemennya saat digiling jadi beras 62-65 persen. Kalau hasil panen saya, rendemennya bisa 70 persen,” ucapnya.
Tidak mengherankan, pupuk buatannya yang dikemas dengan merek Supersonik itu sudah digunakan sejumlah petani setempat. Dinas pertanian bahkan sebelumnya pernah memesan 18 ton pupuk dan 160 liter POC untuk menjadi bahan pelatihan pertanian organik di Cirebon.
Laboratorium
Tidak hanya mengolah pupuk kompos, Rojai juga punya laboratorium agen pengendali hayati (APH). Bekerja sama dengan Pengendali Organisme Pengganggu Tanaman (POPT) Indramayu, ia membangun Laboratorium APH pada 2023. Di sanalah, ia belajar menangani serangan hama.
Di dalamnya berjejer tabung reaksi berisi Trichoderma sp, mikroorganisme tanaman, hingga bakteri Paenibacillus. Tabung yang tertutup kapas itu disimpan di dalam kulkas.
”Trichoderma bisa menangkal jamur di daun. Kalau Paenibacillus mengatasi kresek daun,” ucapnya.
Baca juga: Biaya Produksi Tinggi, Petani Cirebon Berharap Harga Gabah Tak Anjlok
Terbaru, Rojai tengah meramu cairan untuk mengatasi serangan hama tikus. Cairan itu berbahan belerang, garam, hingga soda api. Belerang selama ini dipakai petani mengatasi tikus. Namun, ia butuh waktu menguji temuannya tersebut.
Lulusan madrasah aliyah ini turut mengembangkan ekoenzim, larutan zat organik dari fermentasi kulit aneka buah dan sayur. Bahan ini mendorong pertumbuhan padi pada usia 35 hari.
”Ini juga bisa untuk wajah. Wong wadon (perempuan yang pakai) glowing (cerah),” katanya tersenyum.
Tidak hanya dalam pertanian, sistem organik juga ia terapkan di peternakan. Pakan sapi, misalnya, berasal dari jerami sisa panen di sawah hingga ampas tebu.
Rojai bahkan membangun pusat pelatihan pertanian perdesaan secara swadaya di tanahnya.
”Jamu untuk sapi bikin sendiri. Saya tidak pernah pakai antibiotik dan vitamin dari pabrik,” ucap Rojai.
Bahannya dari kunyit, temulawak, bawang putih, kencur, hingga lengkuas. Didampingi sejumlah dosen dari Universitas Muhammadiyah Cirebon, ia pernah melakukan uji laboratorium untuk khasiat jamu buatannya.
”Kata dosen itu, hasil uji lab, dalaman sapi saya bagus,” ucapnya.
Dengan memadukan pertanian dan peternakan secara organik itu, ia turut menjaga lingkungan. Penggunaan pupuk dan pestisida kimia berlebih dapat mendegradasi kesuburan tanah. Kotoran ternak yang tidak diolah juga menghasilkan gas metana, yang turut memicu pemanasan global.
Paling penting, lanjutnya, pola itu dapat memandirikan petani. Sebab, petani tidak lagi bergantung pada pupuk dan pestisida pabrikan. Mereka cukup memanfaatkan kotoran ternak. ”Petani yang enggak beternak itu rugi,” ucap Rojai yang memproduksi yoghurt dari susu sapi.
Tidak ingin ”sukses sendiri”, ia kerap membagi ilmunya kepada petani dan peternak lainnya. Rojai selalu memenuhi undangan menjadi narasumber pelatihan di dalam dan luar Cirebon. Ia bahkan membangun pusat pelatihan pertanian perdesaan secara swadaya di tanahnya.
”Orang (dinas) pertanian nanya, bapak enggak rugi? Saya bilang, untung. Untungnya apa? Banyak tamu, banyak rezeki,” katanya tersenyum. Di tempat itulah, ia kerap menerima kunjungan dari petani, anak sekolah, hingga polisi yang ingin belajar soal pertanian organik.
Baginya, berbagi ilmu bisa memupuk amal sekaligus mendatangkan rezeki. Pernah ia melatih warga beternak di Kecamatan Ciwaringin, Cirebon. Tidak lama setelah itu, seorang warga memesan sapi untuk kurban saat Idul Adha. Setelah itu, giliran tetangga warga itu yang pesan.
Nasi basi
Rojai selalu berharap agar petani bisa mandiri dan sejahtera. Anak kedua dari lima bersaudara ini belajar pahit getirnya menjadi petani dari orangtuanya. Ayahnya merupakan sopir bajaj di Jakarta, sedangkan ibunya menjadi buruh tani. Ia merasakan sulitnya makan nasi.
”Sampai nasi yang sudah basi dijemur, dikeringkan, terus dikukus lagi,” kenangnya sambil meneteskan air mata.
Rojai pun meminta orangtuanya agar punya sawah sendiri. Dari hasil tabungan, keluarganya bisa membeli sepetak sawah. Mereka juga mulai beternak.
Hidup keluarganya perlahan membaik. Rojai bahkan bisa membuka pabrik tahu skala kecil. Namun, setelah hampir 20 tahun, ia menutup usahanya karena selalu bergantung pada bahan baku kedelai impor yang semakin mahal. Kini, ia fokus bertani dan beternak secara mandiri.
”Penginnya sih jadi petani dan peternak sampai mati dan diteruskan anak-anak. Kalau libur sekolah, mereka saya ajak ngarit dan ke kandang,” katanya. Rojai juga tetap membuka pintunya untuk petani yang ingin belajar membuat pupuk dan pestisida organik.
Anami (60), petani di Tegalkarang, misalnya, telah menggunakan POC dari Rojai dalam dua tahun terakhir. Ia belum sepenuhnya memakai pupuk kompos karena lahan garapannya seluas 0,7 hektar kadang pengolahnya berbeda. Namun, ia mengakui, bahan organik berdampak bagus.
Ia pun merasa beruntung karena Rojai kerap menjadi tempat konsultasi masalah pertanian dan peternakan. ”Pak Rojai selalu berbagi ilmu,” ucap Anami.
Baca juga: Ironi Negeri Agraris, Petani Padi Mengantre Beras Murah
Rojai
Istri: Salamah
Pendidikan :
- SDN 1 Tegalkarang Cirebon
- MTsN Arjawinangun Cirebon
- MAN 1 Kabupaten Cirebon