Atom Egoyan Tak Lelah Mencintai Film
Bagaimana bisa bertahan di dunia film independen? Atom Egoyan punya resepnya.
Perjalanan karier sutradara Atom Egoyan (63) tak selalu mulus. Banyak pelajaran yang diperoleh untuk tak menyerah dan tetap bersiasat sehingga mampu bertahan di industri film global selama empat dekade. Baginya, kegigihan merupakan kunci agar tak berhenti berkarya.
Egoyan mengungkapkan hal itu ketika mengisi kelas terakhir di Qumra 2024 yang diselenggarakan di Museum of Islamic Arts, Doha, Qatar, pada Rabu (6/3/2024). Pria berdarah Armenia, Mesir, dan Arab ini bercerita tentang film besutannya yang memperoleh ulasan buruk setelah diputar di Festival Film Cannes pada 2014.
Film berjudul The Captive (2014) yang dibintangi Ryan Reynolds itu disebut sejumlah media, seperti Variety dan The Guardian, sebagai film gagal dari Egoyan. Masuknya film tersebut untuk berkompetisi meraih Palme d’Or pada Festival Film Cannes 2014 kemudian dipertanyakan.
Premis yang ditawarkan berupa sindikat perdagangan anak memang terdengar memikat. Namun, rupanya banyak celah dalam penggarapan ceritanya sehingga berbagai ulasan justru menyebutnya eksploitatif dan hanya bermain dengan fantasi.
”Itu adalah ulasan terburuk yang pernah kudapat sepanjang membuat film. Sejak itu, aku tidak pernah ke Cannes lagi membawa filmku. Bahkan, sempat memutuskan ingin berhenti membuat film,” ungkap Egoyan.
Baca juga: Agung Dwi Pratama, Kegagalan Berbuah ”Maggot”
Ia mengaku trauma dengan respons saat itu. Walakin, dukungan dari keluarga dan sekitar menguatkannya. Ia kembali berkarya setahun setelahnya. Film-film selanjutnya, yaitu Remember (2015), Guest of Honour (2019), dan Seven Veils (2023), akhirnya dilabuhkannya ke Festival Film Venice, Festival Film Berlin, dan Festival Film Toronto.
Untuk film Remember, Egoyan berhasil memenangi penghargaan Vittorio Veneto di Venice. Sementara Guest of Honour dinominasikan meraih Golden Lion di Venice. Film Seven Veils yang dibintangi aktris Amanda Seyfried juga terbilang sukses dan masuk film Canada’s Top Ten dari kurasi Festival Film Toronto.
Sejak mengawali kariernya di dunia film pada 1984, Egoyan dikenal tangguh berkelana dari berbagai festival film. Ia kemudian dikenal dengan karyanya yang identik dengan jati diri, kesendirian, pengungsi, hingga dampak media dan teknologi di kehidupan modern.
Sejumlah penghargaan dan kemenangan pun diperolehnya. Film pertamanya, Next of Kin (1984), langsung meraih Gold Ducat di Festival Film Mannheim, Jerman. Film keduanya, Family Viewing (1987), juga mencuri perhatian di Festival Film Locarno dan memperoleh Prize of The Ecumenical Jury.
Penjelahannya ke banyak festival dan beragam kompetisi film adalah upaya untuk bisa terus produktif berkarya. ”Biaya pembuatan film tidak murah. Salah satu caranya, memutar uang dari uang juara. Sampai suatu hari ada kejadian tak terlupakan dan akhirnya kami harus tetap jalan dengan dana seadanya,” kata Egoyan.
Kala itu, filmnya yang berjudul The Adjuster (1991) menang di Festival Film Internasional Moskwa ke-17. Egoyan sudah membayangkan menggunakan hasil kemenangannya untuk menggarap film selanjutnya.
”Ternyata saat 1991 itu Soviet pecah. Kondisi negaranya tidak menentu. Mata uangnya jatuh. Ya, mau bagaimana, kami tidak bisa apa-apa, kan,” ungkapnya.
Akan tetapi, filmnya tetap berjalan, yaitu Calendar (1993), yang dibintangi istrinya, aktris Lebanon Arsinee Khanjian. Baru setelah itu, tujuh film yang disutradarainya berturut-turut bertanding di Festival Film Cannes dan mendapat apresiasi yang apik hingga kejadian pada 2014 itu.
Bahkan, Egoyan memenangi Grand Prize of The Jury pada Cannes 1997 melalui filmnya, The Sweet Hereafter, yang juga masuk nominasi Academy Awards untuk kategori sutradara terbaik dan naskah adaptasi terbaik. Egoyan juga pernah didapuk sebagai President of Cinefondation and Short Films Jury untuk Festival Film Cannes pada 2010.
Kemanusiaan
Semula, semasa kuliah di Jurusan Hubungan Internasional Trinity College, Toronto, Kanada, Egoyan lebih tertarik pada dunia teater. Setelah lulus, ia aktif menulis naskah dan menyutradarai pementasan untuk komunitas drama di sana. Sembari sibuk menyiapkan pementasan, Egoyan yang saat itu masih berusia 20-an sering membantu pembuatan film pendek yang belakangan memantiknya membuat film panjang.
Baca juga: Yesaya Kacili, Jalan Teologi untuk Ekologi
Di masa kuliah ini pula, ia mendalami akar dirinya sebagai seseorang yang memiliki darah, Armenia tapi kemudian menjalani kehidupan sebagai orang Kanada. Harold Nahabedian, pendeta Anglikan di Trinity College yang merupakan keturunan Armenia dan Kanada, membantu Egoyan mengenal sejarah dari etnisnya, juga mengajarkan sastra.
Egoyan mengaku kerap merasa sulit beradaptasi dengan lingkungan di Kanada ketika kecil dan remaja. Tampilan fisiknya membuatnya sering kesulitan bersosialisasi. Namun, saat itu ia tak terlalu paham alasannya. Maklum, Egoyan dan adiknya dibawa pindah ke British Columbia, Kanada, oleh kedua orangtuanya ketika berusia tiga tahun.
Seiring berjalannya waktu, ia memahami mengapa keluarganya harus bermigrasi. Film kemudian dirasanya menjadi medium yang tempat untuk bercerita dan menyibak tabir identitas diri personal ataupun kelompok. Salah satunya ia tuangkan melalui Ararat (2002) yang menceritakan genosida di Armenia pada 1915 dan hingga kini di sana masih terjadi berbagai tekanan. Pada September 2023, lebih dari 20.000 orang Armenia terpaksa mengungsi.
”Saat aku menyampaikan cerita mereka melalui film, aku mendalami apa yang mereka alami. Akan tetapi, filmku bukan bertujuan menyembuhkan. Tapi, yang menarik, ada saja tiba-tiba bertemu dengan orang yang mengungkapkan perasaan lega setelah menonton film yang kubuat. Itu cukup berarti buatku,” ujar Egoyan.
Saat aku menyampaikan cerita mereka melalui film, aku mendalami apa yang mereka alami.
Film Ararat memperoleh gelar film terbaik terkait hak asasi manusia dari Komunitas Film Politik Hollywood dan mendapat penghargaan kebebasan berekspresi dari National Board of Review di New York. Egoyan memang lebih memilih cara subtil untuk mengungkapkan sikap dan pandangan dalam filmnya. Di Ararat, ia baru secara gamblang bersuara.
Ia pun menyinggung keadaan di Palestina yang juga pernah dialami penduduk Armenia. ”Apa yang kita lihat di Palestina sekarang sulit dibayangkan, tapi itu nyata dan makin memburuk dari hari ke hari. Kita tidak bisa merenungkan hal ini karena kita berada di tengah-tengahnya dan dampak besar yang ditimbulkannya tidak akan hilang begitu saja,” ujar peraih gelar penghargaan dari Pemerintah Kanada dan juga Perancis karena pencapaian di bidang seni ini.
Melalui Ego Film Arts, rumah produksi miliknya, ia masuk ke sekolah-sekolah untuk memperkenalkan film dan mengajarkan cara membuat film secara independen. Tidak tanggung-tanggung, ia juga membuka peluang pendanaan bagi film yang layak dari para pembuat film muda.
”Film independen memberikan kebebasan untuk bereksplorasi, memilih momen mana yang ajaib, dan memberi hadiah yang tidak terduga. Karena itu, perlu keberanian dan dukungan yang kuat. Ini cara lain untuk bisa bertahan juga buatku, yaitu tetap berbagi pengalaman,” kata pria yang tetap memproduksi pementasan opera dan musik klasik ini lewat rumah produksinya.
Pada akhirnya, pengalaman sejatinya memang guru terbaik. Dan berhenti, bagi seorang Egoyan, tampaknya bukan solusinya.
Baca juga: Claire Denis, Gugah Kemanusiaan lewat Film
Atom Egoyan
Lahir: Kairo, 19 Juli 1960
Pendidikan: Trinity College, University of Toronto