Keresahan Usilina Epa pada Romantisasi Kuliner Lokal Papua
Pangan lokal Papua tidak bisa hanya menjadi simbol identitas daerah, tetapi perlu dikembalikan sebagai konsumsi harian.
”Kita jangan terus-terusan meromantisasi kuliner lokal dan hanya memunculkannya saat ada hajatan besar. Seharusnya, kuliner khas Papua kembali menjadi menu makan utama dalam keseharian”.
Demikian ungkapan keresahan dari seorang pengusaha kuliner asal Jayapura, Usilina Epa (38) atau Ulin, pada eksistensi kuliner lokal Papua. Pergeseran pola konsumsi masyarakat membuat pangan lokal yang menjadi hidangan turun-temurun masyarakat mulai ditinggalkan oleh generasi muda.
Keberadaan kuliner khas daerah seolah hanya bergairah ketika ada hajatan atau acara besar yang dilaksanakan di Papua. Digaungkan pada momen sesaat, tetapi kemudian dikesampingkan dalam kehidupan sehari-hari.
Baca juga: Siasat Menjaga Pangan Lokal Papua melalui UMKM
”Ironi sekali dengan keadaan sekarang. Dalam rumah tangga semakin jarang pemanfaatan pangan lokal, sementara usaha kuliner lokal juga sulit ditemui,” tutur Ulin di Restoran Isasai miliknya yang berada di pinggir Danau Sentani, tepatnya di Kelurahan Waena, Distrik Heram, Kota Jayapura, Papua, Minggu (31/3/2024).
Sore itu, Ulin turut menunjukkan pemandangan kampung-kampung masyarakat suku asli Jayapura di pesisir Danau Sentani. Kampung-kampung tersebut merupakan penghasil berbagai komoditas lokal, seperti sagu, umbi-umbian, dan sayuran.
Namun, melimpahnya pangan lokal ini tidak serta merta mempertahankan eksistensi makanan Papua. Saat ini, kata Ulin, cukup sulit menemukan restoran yang menjual papeda, sinole, dadar sagu, dan kuliner olahan sagu lainnya.
Baca juga: Menyantap Papeda dan Sinole, Kenyang dengan Nikmat Khas Papua
”Aneh rasanya, makanan lokal kami asing di rumahnya sendiri,” kata Ulin.
Padahal, menurut Ulin, hal ini tidak hanya berkaitan dengan identitas daerah, tetapi juga eksistensi para petani lokal. Memaksimalkan pangan lokal berarti turut memberdayakan para petani asli Papua.
Di sisi lain, pengolahan pangan lokal dari petani lokal dengan cara tradisional untuk menjaga kualitas terus dipertahankan secara turun-temurun. Dengan demikian, komoditas pangan yang didapatkan langsung dari petani merupakan kualitas terbaik.
”Hal yang perlu ditakutkan, ketika permintaan pangan lokal semakin berkurang, petani lokal akan beralih menanam dan menjual komoditas lain. Jangan sampai pangan lokal ini menjadi hilang,” ujar Ulin.
Baca juga: Origenes Monim, Menjaga Daya Hidup Kebudayaan Sentani
Resah sejak kuliah
Ulin bercerita, keresahan pada eksistensi kuliner kuliner lokal sudah dimulai sejak dirinya mengenyam pendidikan S-1 Hubungan Internasional di Universitas Padjadjaran, Jawa Barat. Selama berkuliah pada periode 2005-2010 dan berkeliling Kota Bandung, ia begitu mudah menemukan kuliner khas Sunda. Hal yang tidak ia temukan ketika kembali ke Jayapura.
Makanan-makanan yang bisa dijangkau masyarakat justru mayoritas merupakan kuliner dari luar Papua. ”Bisa dilihat sepanjang jalan di Jayapura, ada berapa banyak yang menjual makanan lokal? Sangat sedikit,” kata Ulin.
Hal yang perlu ditakutkan, ketika permintaan pangan lokal semakin berkurang, petani lokal akan beralih menanam dan menjual komoditas lain. Jangan sampai pangan lokal ini menjadi hilang.
Saat Ulin melanjutkan studi S-2 di jurusan yang sama di Universitas New South Wales di Sydney, Australia, ia semakin tertarik pada isu pengembangan pangan lokal. Selama menempuh studi pada 2012-2014, ia sering bersentuhan langsung dengan pembahasan tentang isu lingkungan, masyarakat adat, dan identitas daerah.
Ulin berpandangan, fokus pemberdayaan pangan lokal dan sumber daya manusia merupakan isu yang krusial. Pergeseran pola konsumsi dan sistem tanam masyarakat bisa menghadirkan potensi krisis pangan.
Ia pun menyinggung beberapa kejadian musibah kelaparan di Papua. Alih fungsi lahan perkebunan lokal membuat masyarakat justru menggantungkan makanan pokok pada pangan lain yang tidak bisa didapatkan di lingkungan mereka.
Hal ini menjadi refleksi dirinya untuk tidak hanya berbicara pada temuan fenomena di lapangan. Namun, menurut Ulin, perlu ada aksi nyata untuk mengatasi permasalahan krusial yang banyak terjadi di berbagai tempat, termasuk di daerahnya.
”Apa yang saya pelajari selama saya kuliah itu sangat berkaitan dengan kondisi saat ini di Papua. Langkah selanjutnya, bergerak pada aksi nyata,” ucapnya.
Baca juga: John Wona, Dedikasi Merawat Batik Papua di Pesisir Jayapura
Memulai ikhtiar
Pada 2017, Ulin memulai sebuah usaha kafe yang menghadirkan makanan lokal sebagai sajian utama. Ini menjadi ikhtiar awal dalam menjalankan misi menyerap potensi pangan lokal yang berdampak langsung kepada petani Papua.
Saat itu, kuliner sinole menjadi sajian lokal awal yang dikembangkan. Makanan yang terbuat dari sari pati sagu dengan cara disangrai tersebut menjadi hidangan simpel yang juga digemari berbagai kalangan. Seiring berjalannya waktu, permintaan akan makanan khas Papua yang terbuat dari pangan lokal semakin meningkat.
”Kemudian pada Mei 2022, kami mendirikan Restoran Isasai. Ini bisa dibilang sebagai tempat untuk menjalankan misi kami memaksimalkan pangan dan sumber daya lokal Papua,” tutur Ulin.
Di restoran Isasai, ia menghadirkan banyak makanan khas Papua, khususnya kuliner khas masyarakat Sentani. Ada papeda, sinole, dadar sagu, makanan dari umbi-umbian, serta berbagai olahan ikan gabus yang banyak ditemui di Danau Sentani.
Ulin juga mempekerjakan anak-anak muda yang datang dari sejumlah daerah Papua, seperti Jayapura, Yahukimo, hingga Lanny Jaya. ”Ada harapan ketika mereka tidak di sini lagi dan kembali ke daerah, mereka bisa menerapkan apa yang sudah didapatkan di sini,” katanya.
Baca juga: Tidak Ada Beras, Biar Sagu yang Membereskan
Aksi swadaya
Selain aktif sebagai pebisnis bidang kuliner, Ulin juga turut aktif dalam berbagai gerakan lembaga swadaya masyarakat (LSM), khususnya dalam gerakan ketahanan pangan lokal Papua.
Pada tahun 2019-2022, ia pernah turut ambil bagian pada program Ekonomi Hijau dari Inggris, United Kingdom Climate Change Unit (UKCCU) yang berpusat di Kabupaten Jayapura. Program tersebut berfokus pada peningkatan produktivitas dan kualitas komoditas melalui bantuan bantuan teknis, pelatihan dan teknologi/alat tepat guna.
”Sampai sekarang, selain urus bisnis, saya tetap bergerak sebagai konsultan dalam berbagai kegiatan LSM, termasuk dalam pemberdayaan pangan lokal,” ujarnya.
Bagi Ulin, sangat penting menjaga potensi pangan lokal. Ia khawatir dengan usia petani lokal yang semakin tua, sementara generasi muda yang masih produktif enggan memaksimalkan potensi yang ada di daerahnya.
”Sangat ironi membayangkan kondisi di masa depan, melihat pergeseran yang semakin masif. Padahal, pangan lokal adalah kekayaan yang diwariskan dan telah kita nikmati. Seharusnya terus dijaga,” ucapnya.
Usilina Epa
Lahir: Jayapura, 25 Agustus 1986
Suami: Fredik Bartholomeus (39)
Pendidikan:
- S-1 Hubungan Internasional, Universitas Padjadjaran, Jawa Barat (2005-2010)
- S-2 Hubungan Internasional, Universitas New South Wales, Sydney, Australia (2012-2014)