Jalan Oscar Motuloh Memperpanjang Ingatan
Beragam dimensi Oscar menjadi cara dia untuk memelihara ingatan. Buku, musik, dan fotografi memudahkan dia ingat detail.
Ungkapan ”selembar foto melebihi 1.000 kata” dihayati fotografer Oscar Motuloh (64) melebihi apa pun. Dalam setiap lembar foto terkandung citra, kata, bahkan irama yang memperkaya cerita dalam foto tersebut. Pemahaman dan laku ini memberinya gelar Empu Ageng—setara doktor honoris causa—bidang Fotografi Jurnalistik dari kampus ISI Yogyakarta.
Dua pekan berlalu sejak Indonesia memilih presiden kedelapan. Obrolan tentang iklim demokrasi pascapemilu masih hangat. Belum lama pula seorang fotografer senior berkomentar miring tentang aksi Kamisan yang rutin digelar di depan Istana Presiden sejak 2007 menuntut penuntasan kasus kejahatan berat hak asasi manusia.
Oscar tak mengikuti ribut-ribut di jagat maya itu. Dia memang menjaga jarak dengan perangkat ponsel dan segala rupa media sosial. Melalui kawan-kawan di sekitarnya, keriuhan itu sampai juga di telinganya, yang terselip di antara helai-helai rambut panjangnya. Keriuhan itu, kata Oscar, buntut dari ingatan pendek yang menjangkiti orang-orang sekarang ini.
”Semua (informasi) yang dibutuhkan hadir secara instan di sini (mengangkat ponselnya). Karena mudah didapat, informasi itu tidak (benar-benar) menempel di memori. Dampaknya, kejadian besar cepat dilupakan. Reformasi itu, kan, baru terjadi sekitar 25 tahun lalu,” kata Oscar pada Rabu (28/2/2024) di ruang perpustakaan Yayasan Matawaktu, Jakarta Selatan.
Ruangan itu dipenuhi sekitar 4.000 judul buku aneka topik: mulai dari biografi, sejarah, musik, hingga komik. Terpampang tulisan besar-besar kutipan dari Proklamator Mohammad Hatta, ”Dengan buku aku bebas.” Obrolan pada sore di bangunan kompleks pertokoan bilangan Fatmawati itu pun mengalir bebas.
Obrolan iklim politik Indonesia tahu-tahu berbelok ke cerita masa silam di Chile tahun 1973. Saat itu, terjadi kudeta berdarah yang dilakukan rezim militer Augusto Pinochet pada pemerintah Salvador Allende. Oscar menuturkan, kudeta itu bernama operasi ”The Jakarta Method”. Penamaan itu, kata dia, merujuk pada metode perebutan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto yang berlumur darah pada periode 1965-1966.
Oscar mempelajari kisah itu dari buku berjudul The Jakarta Method: Washington’s Anticommunist Crusade and the Mass Murder Program that Shaped Our World (2020). Buku tebal bernuansa merah yang disusun mantan koresponden Washington Post di Indonesia, Vincent Bevins, itu tergeletak di hadapannya ketika dia bercerita. Kopi hitam menghangatkan obrolan.
Oscar juga memutar lagu ”They Dance Alone” dari Sting yang bercerita tentang para ibu di Chile yang kehilangan suami dan anak dalam masa pergolakan itu. Kisah lagu itu dekat dengan Aksi Kamisan yang digerakkan Sumarsih, ibu dari Bernardinus Realino Norma Irawan, mahasiswa yang tewas tertembak dalam Tragedi Semanggi tahun 1998.
”Wartawan foto ada di garis depan saat peristiwa-peristiwa besar itu terjadi. Mereka ibarat tiang dekat gawang. Kepekaan para jurnalis foto memengaruhi cerita yang mereka laporkan dari garis depan. Cerita pada foto jadi pemantik yang mengingatkan pada peristiwa tertentu,” kata Oscar.
Kembali ke buku
Buku adalah salah satu sumber mempertajam kepekaan jurnalis foto dan, tentu saja, jurnalis pada umumnya. Ketika dia masih menjadi penanggung jawab dan kurator Galeri Foto Jurnalistik Antara, Oscar menyediakan buku referensi. Pembukaan pameran pun diiringi dengan pertunjukan musik, yang menurut Oscar perlu untuk memperkaya horizon pewarta foto.
Dalam dua tahun terakhir, ketika purnatugas, Oscar melanjutkan pola itu pada Yayasan Matawaktu, yang dia dirikan dan jalankan bersama sejumlah temannya. Yayasan ini adalah organisasi nirlaba yang mengemban misi pengarsipan, penelitian, dan publikasi terkait seni visual, khususnya fotografi.
Ketika didatangi di ujung Februari itu, Matawaktu sedang menggelar pameran buku-buku foto bertajuk Pentas Buku Foto. Kuratornya empat perempuan fotografer. Mereka memajang buku-buku foto di lantai dasar. Sebagian buku yang dipajang dicetak mandiri.
”Gue mengampanyekan kembali ke buku. Seniman visual, khususnya fotografi, itu merekam waktu, peristiwa dari detik ke detik. Peristiwa ini jadi pengetahuan, yang nanti akan menjadi sejarah. Rangkuman cerita melalui foto akan menjadi catatan sejarah,” kata Oscar yang sore itu berkaus The Godfather, film yang diangkat dari novel karya Mario Puzzo.
Kantor yayasan itu juga menjadi ruang diskusi topik-topik terkini yang berhubungan dengan fotografi. Di akhir pekan sebelumnya, Matawaktu membedah perspektif fotografi dari pelaku yang berada di masing-masing pasangan kandidat presiden. Cerita-cerita ”di balik punggung” kandidat bergulir tanpa penghakiman instan—berkebalikan dengan kolom komentar di media sosial.
Kantor Matawaktu yang mengontrak unit ruko di ITC Fatmawati itu, kata Oscar, tak hanya mewadahi disiplin fotografi saja. Beberapa waktu silam, mereka pernah memamerkan karya ilustrasi. April mendatang, bulan yang dikaitkan dengan perayaan Record Store Day di seluruh dunia, mereka juga berencana memajang karya-karya penting ranah musik Indonesia.
Landasan musik
Selain fotografi, musik adalah unsur penting dalam hidup Oscar. Dia mewarisi banyak koleksi piringan hitam dari ayahnya, yang mantan karyawan PT Pos Indonesia. Bukan sekadar mengumpulkan, Oscar juga menyusunnya dalam kategori spesifik. Penyimpanannya tak cuma dipisahkan berdasarkan genre, tetapi juga tahun perilisan dan asal musisinya. Dengan begitu, Oscar jadi tahu konteks peristiwa dan tempat apa dari sebuah album.
Album-album musik itu tersimpan di lantai tiga bangunan itu, ruangan yang tidak dibuka untuk umum. Jumlahnya tak terkira. Ada yang disimpan di rak, ada yang ditumpuk di lantai. Perlu hati-hati melangkah di sana. Ada pula rak kaca yang menyimpan patung-patung kecil musisi kawakan, seperti Slash dan Michael Jackson. Logo Rolling Sone dan Pink Floyd ada di beberapa tempat, termasuk di klosetnya.
”Jaman gue SD, bokap mengajak kami mendengar lagu dari piringan hitam. Kami selalu punya ruangan mendengar musik. Gue juga sempet lihat, tuh, bokap ngajak nyokap dansa diiringi irama waltz,” kata Oscar yang semasa kecil hidup berpindah-pindah kota mengikuti penempatan dinas sang ayah.
Jalan hidupnya tak pernah lepas dari musik. Catatan pengantar album (liner notes) di sampul piringan hitam biasa jadi referensi baginya ketika menulis artikel. Ketika menjadi wartawan, pemutar musik dan album tak pernah ketinggalan setiap berpergian. Ingatan pada lagu memberinya imajinasi ketika memotret.
”Kalau memotret pasar yang riuh, misalnya, gue ingat lagu-lagu karya Pat Metheny Trio,” kata dia yang bisa main gitar ini. Beberapa perjalanan panjang yang pernah ia lakoni lekat memorinya dengan referensi musik. Pat Metheny Trio itu, khususnya album Bright Size Life, misalnya, adalah salah satu yang mengiringinya ke Oslo, Norwegia, pada 2002.
Saat meliput tragedi di Dili, (saat itu) Timor Timur pada 1991, Oscar diiringi Sting album Dream of the BlueTurtles dan Nothing Like the Sun; Rolling Stones (Sticky Fingers), serta Santana (Abraxas dan Caravanserai). Jadinya, sentimentil Sting berkelindan dengan kenakalan Rolling Stone, dan geliat latin dari Santana.
Adapun perjalanan ke tanah spiritual Golan, Jerusalem, pada 2000 ditemani album Brain Salad Surgery dari Emerson, Lake & Palmer; Ravi Shankar dan Phillip Glass (Passages), The Beatles (Revolver dan Abbey Road); serta Metallica dan Michael Kamen (S & M).
Foto-foto dari perjalanan itu seperti punya dimensi lain: tak sekadar gambar dua dimensi. Setiap foto seperti punya nada; ada kesan puitik yang menjadikannya lebih dari laporan pandangan mata jurnalistik. Kebiasaan itu masih dilakukan sampai sekarang. Oscar membawa pemutar CD jinjing, atau pelantang Bluetooth. Album yang nyaris selalu diangkut, misalnya, Kind of Blue dari Miles Davis, Dark Side of the Moon dari Pink Floyd, dan Nothing Like the Sun dari Sting. Di atas semua itu, Bob Marley wajib ada.
Ketika mengasuh Galeri Foto Jurnalistik Antara, Oscar sering mengundang band untuk tampil di pameran. ”Selain berjejaring, gue mau jurnalis foto menjadikan musik sebagai referensi untuk merangsang imajinasi,” ucapnya.
Gaya jurnalistik
Karier Oscar di Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara bermula dari tahun 1988. Setelah mengikuti pendidikan jurnalistik selama setahun, Oscar diterima sebagai pekerja magang sebagai wartawan tulis. Pada 1990, atasannya meminta dia menjadi fotografer meski dia mengaku tak punya dasar fotografi. ”Asal tunjuk aja itu,” katanya terkekeh.
Teknik fotografi ia pelajari sembari menjalani tugas barunya. Namun, kepekaan pada karya visual telah dipupuk sejak kecil dari banyak menonton film. Saat menonton di bioskop, Oscar mencatat adegan menarik, juga istilah-istilah perfilman. Dia mempelajari ciri khas gambar dan cara bertutur sutradara ternama, seperti Francis Ford Coppola, Martin Scorsese, atau Stephen Spielberg.
Selain dari bioskop, referensi tontonan dia dapat dari koleksi perpustakaan Kedutaan Besar AS, karena dia menjadi anggota di situ semasa kuliah di Akademi Hubungan Internasional, Jakarta. Buku dan komik juga dia lahap. Khasanahnya teks dan visualnya jadi lengkap. Musik memperkuatnya.
Maka, ketika bertugas sebagai fotografer Antara, Oscar memberi warna baru. Foto-foto yang dihasilkan tak melulu dokumentasi seremonial. Dia membubuhkan cita rasa seni. Foto jurnalistik jadi bersemiotika. Gaya ini dia kembangkan dan ia jadikan sebagai kurikulum di program pendidikan foto jurnalistik Antara mulai 1993.
”Sejak itu, calon fotografer Antara harus mengkuti dua brevet pendidikan sebelum diangkat. Mereka wajib ikut pelatihan jadi wartawan tulis, baru belajar jadi wartawan foto,” katanya. Sejak menjadi divisi sendiri bernama Antara Foto pada 2005, karya foto esai banyak dihasilkan pewarta foto Antara.
Kiprah puluhan tahun Oscar di foto jurnalistik mendapat pengakuan akademis dari Institut Seni Indonesia Yogyakarta pada September 2019, menjelang masa purnatugasnya di Antara. Gelar setara doktor honoris causa itu dianugerahkan berkat perannya mengembangkan foto jurnalistik di Indonesia.
Pengetahuan, pengalaman, dan keakraban yang tercurah selama bekerja di Antara diteruskan di Yayasan Matawaktu. Penikmat fotografi, tak terbatas pada jurnalis saja, berinteraksi di sana. Jangan mencari Oscar di Instagram, apalagi Tiktok. ”Gue realita person. Gue bukan insan dunia maya,” katanya.
Mampir saja ke Matawaktu. BO, alias Bang Oscar—panggilan dari para yuniornya—akan menyambut dengan senyum dan jabat erat sebelum ”air kata-kata” mengalir sambil memutarkan lagu yang asyik-asyik.
OSCAR MOTULOH
Lahir: Surabaya, 17 Agustus 1959
Beberapa pameran tunggal:
- Voice of Angkor (1995)
- Art of Dying (1997)
- Soulscape Road (2007)
Beberapa penghargaan:
- Empu Ageng Foto Jurnalistik dari ISI Yogyakarta (2019)
- Lifetime Achievement Anugerah Pewarta Foto Indonesia (2018)
- Pelopor Fotografi Jurnalistik dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2015)
- 30 Most Influential Photographers in Asia dari Asia Invisible Photographer Asia (2014)