Saat buku ini terbit pada 2008, Muhlis tak menyangka publik akan sangat antusias. Sebanyak 4.000 cetakan pertama buku itu ludes hanya dalam waktu sekitar dua pekan. Toko-toko buku di Makassar, Sulawesi Selatan, tak ketinggalan memesan ratusan eksemplar buku itu. Pihak penerbit, Penerbit Inninawa, memutuskan untuk mencetak buku itu dua kali pada 2008.
Pengetahuan tentang persetubuhan orang Bugis rupanya memantik rasa penasaran publik. Maklum, dulu pengetahuan ini tak banyak beredar. Proses transfer ilmu terjadi secara terbatas dan privat. Pada masanya, persetubuhan bukan topik yang bisa didiskusikan kapan saja dan di mana saja.
Assikalaibineng itu mengajarkan konsep relasi antara suami dan istri dengan pemuliaan. Assikalaibineng juga menata perilaku manusia lewat etik dan moral.
Pengetahuan yang tertera di naskah kuno Assikalaibineng ini biasanya dipelajari laki-laki yang akan menikah. Ia biasanya berguru ke orang lain atau sanak saudara yang memiliki pengetahuan itu.
Dalam naskah Assikalaibineng, persetubuhan dipandang sebagai hal yang anggun dan memuliakan manusia. Persetubuhan bukan melulu soal berahi, melainkan dilakukan dengan penuh kesadaran (mindfulness), pengertian terhadap pasangan, dan dilakukan sembari mengingat Allah.
”Assikalaibineng itu mengajarkan konsep relasi antara suami dan istri dengan pemuliaan. Assikalaibineng juga menata perilaku manusia lewat etik dan moral,” ucap Muhlis pada Rabu (6/3/2024). ”Assikalaibineng juga mengajarkan menata hati, pikiran, ucapan, perilaku, sampai menata imaji suami-istri. Sebab, itu berdampak ke anak yang dilahirkan,” ujarnya menambahkan.
Mengkondisikan hati dan pikiran yang positif itu akan menjadi doa untuk melahirkan generasi yang positif dan berkualitas.
Satu ujaran di naskah itu meminta agar suami tidak membangunkan istri yang tidur untuk bersetubuh. Jika tetap dilakukan, sang suami berarti memperlakukan istrinya seperti budak.
Naskah tersebut juga mengajarkan tiga tahap dalam persetubuhan suami dan istri. Salah satunya ialah tahap bermain atau pemanasan (foreplay) untuk membangkitkan gairah istri. Dikatakan lagi dalam naskah itu, janganlah sekali-sekali suami memasuki pintu yang belum terbuka.
Suami dan istri pun diingatkan agar tidak memutuskan hati dan pikiran dengan Allah ketika bersetubuh. Selain berdoa dan berzikir, naskah ini juga mengajarkan tentang konsentrasi, serta pentingnya mengatur pernapasan dan menenangkan hati.
”Mengondisikan hati dan pikiran yang positif itu akan menjadi doa untuk melahirkan generasi yang positif dan berkualitas,” tutur Muslih yang juga Guru Besar Filologi Universitas Hasanuddin.
Keinginan meneliti Assikalaibineng muncul setelah Muhlis melihat serial India di televisi yang diangkat dari naskah kuno. Ia juga tahu ada film Kama Sutra (1996) yang rilis. Tayangan dan film itu membuat Muhlis penasaran: apa bahasan soal seksualitas di naskah kuno Indonesia? Pertanyaannya terjawab saat menemukan satu naskah.
Penemuan satu naskah menuntunnya ke naskah-naskah lain. Hingga kini, ia menemukan 48 naskah yang kemudian dipelajari dan dibandingkan satu sama lain dengan metode filologi.
”Setelah saya baca, saya pikir, Wah, ini menarik. Setiap hari tambah lagi naskahnya, jadi saya putuskan untuk dijadikan tesis saja sekalian. Jika di India ada Kama Sutra, di Bugis ada Assikalaibineng,” tutur Muhlis.
Hasil penelitian Muhlis di tahun 1999, 2001, dan tesisnya kemudian disusun menjadi buku Assikalaibineng: Kitab Persetubuhan Bugis. Buku ini masih populer sampai sekarang. Cetakan keenam dijadwalkan tersedia tahun ini. Di cetakan terbaru, Muhlis berencana menambah temuan barunya dari naskah koleksi Istana Bantaeng.
”Selama ini kitab atau naskah beredar di istana, tapi sepertinya ada naskah yang beredar di kalangan umum. Ini tampak dari penggunaan kosakata yang lugu, lebih polos. Selama ini, teks istana begitu simbolik, misalnya menyebut—maaf—kelamin perempuan sebagai pintu atau gerbang. Namun, di naskah ini langsung disebut,” tutur Muhlis.
Naskah tersebut diperoleh dari keturunan raja terdahulu. Muhlis beruntung bisa mengakses naskah itu. Sebelumnya, ia meneliti naskah dengan mendatangi banyak tempat, termasuk Museum Nasional, Arsip Nasional RI, hingga mendatangi warga yang memiliki naskah kuno hasil warisan.
Naskah tersebar
Kenyataannya, sebagian naskah kuno Nusantara tersebar dan kondisinya tak terawat. Selain museum dan perpustakaan, naskah kuno bisa ditemukan di tempat keagamaan, seperti masjid dan biara. Sebagian naskah juga dimiliki warga.
Muhlis pernah ke Majene setelah mendapat kabar bahwa ada naskah tak terawat di rumah salah satu warga. Setelah pendekatan, Muhlis minta izin untuk membersihkan naskah itu. Warga mengizinkan.
Ia langsung membersihkan lembar demi lembar naskah dari debu dengan kuas. Sarung pembungkus naskah yang sudah lusuh diganti dengan yang baru. Lemari penyimpanan naskah juga dibersihkan, diberi semprotan antirayap, dan ditaburi kapur barus.
”Saya juga bilang ke mereka bahwa kalau ada orang mau minta atau beli naskah ini, mohon jangan dikasih. Ini warisan bapak ibu. Kalau dijual, sama saja menjual neneknya. Dokumen ini agar dipelihara dan jangan berpindah tangan ke orang yang tak berhak,” katanya.
Naskah kuno memuat informasi dan pengetahuan yang luar biasa penting serta menarik.
Muhlis meyakini bahwa naskah kuno memuat informasi dan pengetahuan yang luar biasa penting serta menarik. Ia mencontohkan bahwa naskah kronik Bone yang berasal dari abad ke-16 telah mengajarkan demokrasi. Pengangkatan raja di Bone dilakukan dengan konsensus antara raja dan dewan adat. Raja punya mandat menjaga rakyat, serta memberi dan menghormati hak masyarakat sipil.
Penerus raja yang wafat tak ditentukan lewat garis keturunan. Sebaliknya, dewan adat bakal turun ke kampung untuk mencari orang yang memenuhi syarat sebagai raja. Syarat itu mencakup jujur, berpendirian teguh, rela membagi diri untuk kepentingan umum, serta beriman.
”Melihat masa kini, mungkin ada yang salah dengan pembangunan negara karena terpisah dengan potongan sejarah. Itu karena kita tidak menggali khazanah kita sendiri,” tutur Muhlis.