Regina Handoko, Cinta Mati pada Seriosa
Karunia suara berirama klasik pernah membuatnya heran lantaran dalam keluarga intinya tak ada yang menjadi penyanyi.
Cinta mati Regina Handoko (46) pada genre seriosa membuat ia berjaya di jalur yang sepi peminat itu. Hari-hari Regina kini diisi dengan sering manggung, baik sebagai soprano maupun pemain harpa.
Sebelum namanya berkibar sebagai soprano dan pemain harpa, perjalanan Nana, panggilan akrab Regina, cukup panjang dan berliku. Awalnya, orangtuanya tak mengizinkan dia memilih profesi sebagai penyanyi. Untungnya, pelan-pelan jalan terbuka.
Ketika namanya mulai dikenal publik, mertuanya pernah meminta Nana berhenti menyanyi agar bisa konsentrasi mengurus anak-anaknya. Lagi-lagi, cinta luar biasa Nana pada seriosa membuat pintu berkarier sebagai penyanyi klasik terbuka dengan sendirinya. Bahkan, orangtua dan mertua Nana akhirnya memberi dukungan penuh kepadanya. Setiap kali Nana tampil, mereka menjadi penonton setia ibu tiga anak tersebut.
Bakat menyanyi yang ada pada Nana mulai muncul sejak ia kanak-kanak. Awalnya ia hanya tampil di depan ibu dan ayahnya, Theresia Wihardja dan almarhum Peter Hasan HW. Namun, baik Nana maupun orangtuanya tidak sadar bahwa setiap kali menyanyi, vibra suaranya selalu keluar. Yang penting bagi orangtuanya, suara Nana bagus dan tidak fals.
”Aku sendiri merasa aneh. Kok, bisa ya? Mami pernah cerita, dulu waktu kecil aku nyanyi lagu ’Cicak-cicak di Dinding’ dengan suara klasik. Jadi, aku sendiri tak tahu kalau nyanyinya dalam irama seriosa,” ujar Nana pada Rabu (21/2/2024) di Jakarta.
Ia lalu menyanyikan penggalan lagu itu dalam versi lagu klasik. Suaranya mengalun indah dan terdengar unik walau ia kemudian tertawa terbahak mengenang kejadian puluhan tahun lalu tersebut.
Karunia punya suara berirama klasik pernah membuatnya heran lantaran dalam keluarga intinya tak ada yang menjadi penyanyi. Ayahnya dokter, ibunya sarjana kedokteran yang tak melanjutkan kuliah menjadi dokter karena keburu menikah, kakaknya dokter dan anggota staf di rumah sakit. Adiknya juga tak suka menyanyi. Ia berpikir karunia itu menurun dari opanya yang seorang musisi dan tantenya yang menjadi penyanyi.
Saat belajar di SMP, Nana mengikuti les vokal. Sang pelatih langsung mengarahkan agar Nana menjadi soprano. Sejak itu, ia rajin belajar menyanyi lagu seriosa secara serius. Untuk mengetahui perkembangan kemampuan bernyanyi, Nana ikut lomba Bintang Radio dan Televisi (BRTV) tingkat remaja kategori seriosa di tingkat DKI Jakarta tahun 1993. Ia langsung menjadi juara pertama. Di BRTV nasional ia juara keempat.
Hampir setiap ada BRTV tingkat remaja ia ikut lomba. Terakhir, ia menjadi juara BRTV remaja kategori penyanyi seriosa pada 1997. Ia kecewa karena setelah itu hingga sekarang BRTV tak diadakan lagi. ”Mengapa ya, padahal saya melihat dari situ muncul penyanyi bagus dan dari berbagai genre. Delon dan Rio Febrian juga pernah ikut BRTV kategori musik pop,” ungkap Nana.
Ia berterus terang, setelah tahun 1997, sebenarnya dirinya sudah bisa ikut BRTV usia dewasa. ”Tapi aku enggak bisa ikut lomba lagi karena memang lombanya enggak ada lagi. Saya berharap semoga ada lomba menyanyi paling tidak untuk kategori pop, keroncong, dan seriosa sebab dari situ kita juga sekalian belajar, umpamanya menyanyi keroncong yang benar itu seperti apa? Susah, loh, menyanyi keroncong. Saya tidak bisa melakukannya,” kata Nana.
Saya berharap semoga ada lomba menyanyi paling tidak untuk kategori pop, keroncong, dan seriosa sebab dari situ kita juga sekalian belajar, umpamanya menyanyi keroncong yang benar itu seperti apa?
Tidak diizinkan
Tiadanya lomba menyanyi itu berbarengan dengan Nana lulus SMA. Keinginannya melanjutkan sekolah musik di Jerman batal karena orangtua tidak mengizinkan Nana menjadi penyanyi. Sepertinya mami-papinya trauma melihat kehidupan orangtuanya yang kekurangan karena memilih menjadi musisi.
”Aku emang enggak pernah nanya, kenapa enggak boleh jadi penyanyi. Tapi aku tahu, kayaknya Papi trauma karena ayahnya yang menjadi musisi di Sumatera jadi miskin. Anak-anaknya jadi ikut bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan hidup. Aku tidak melawan, aku turuti saja,” tutur Nana.
Sekalipun sangat ingin menyanyi, ia berserah kepada kehendak Sang Pemberi Hidup. Jika menyanyi itu jadi jalan hidupnya, Tuhan akan memberikan jalan. Jika tidak, mungkin memang bukan di situ jalan hidupnya. Begitu keyakinannya yang membuat ia menerima halangan berkarier tanpa komplain. Namun, Nana tetap tak berhenti menyanyi.
Sembari kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, ia tetap rajin menyanyi untuk urusan gereja ataupun acara lain yang ia lakukan sejak masih bersekolah di SMP. ”Dulu, awalnya ikut kakak kor, dari anak bawang malah diminta jadi solois. Ya sudah, aku ikut saja, yang penting bisa menyanyi,” kata Nana yang juga mahir main piano tersebut.
Lulus kuliah, ia langsung mendapat pekerjaan yang bagus. Pelayanannya di acara keagamaan dan lainnya membuat ia dimintai bantuan kawannya untuk mencarikan alat musik atau penyanyinya. Jadilah ia kemudian membentuk event organizer bersama kawan kuliahnya sambil menerima pekerjaan menyanyi di acara pernikahan atau acara lain.
Baca juga: Demokratisasi Alas Kaki ala Andrey dan Aditya
Tanpa ia sadari, itulah jalan pembuka untuk menekuni profesinya. Mulailah ia sibuk luar biasa dengan ”pekerjaan” barunya. Sampai suatu kali ia merasa penghasilannya sebagai pegawai kantoran yang bekerja pukul 08.00-17.00 kalah jauh dari usaha event organizer dan pekerjaan menyanyi.
Ia memberanikan minta izin kepada ayahnya untuk berhenti bekerja guna menekuni bisnis itu. ”Papi mengizinkan karena, kan, sudah ada bisnis kecilnya. Aku bersyukur sekali,” ucap Nana.
Ketika ia berpacaran dengan Adrian Handoko, sejak awal ia sudah wanti-wanti bahwa menyanyi adalah hidupnya. Adri yang kadang bermain saksofon dan piano memahami minat calon istrinya itu. Tetapi, ketika menikah, mertuanya melarang Nana menyanyi agar bisa konsentrasi mengurus keluarga. Nana pun menurut dan ia mengumumkan dirinya berhenti menyanyi, terutama kepada sesama musisi harpa.
Namun, nasib baik tetap berpihak kepadanya. Ketika anak keduanya baru berusia empat bulan, soprano Binu Sukaman menghubunginya. Ada sutradara dari Inggris yang sedang mencari pemeran Cinderella untuk opera berbahasa Perancis berjudul Cinderelon, yang diadakan di Jakarta tahun 2010.
Akhirnya aku sowan ke mertua, minta izin, boleh enggak menyanyi di opera itu. Eh, boleh.
Diam-diam Nana ikut audisi dan diterima. ”Aku senang sekali dan kaget karena bayarannya gede banget,” ucap Nana, yang saat itu tetap gundah karena larangan mertuanya.
”Akhirnya aku sowan ke mertua, minta izin, boleh enggak menyanyi di opera itu. Eh, boleh. Aduh, terima kasih, seneng banget aku,” katanya dengan mata berbinar.
Prioritas utama
Celia, anak keduanya, dibawanya ke tempat latihan. Ia menyusui dan memompa ASI untuk Celia di sela latihan. Pokoknya, anak menjadi prioritas utamanya walau ia sendiri harus menghafal naskah yang tebal, lalu belajar menyanyikannya.
Sejak itu, dua tahun sekali ia selalu dipanggil sang sutradara untuk berperan di opera yang ia buat. Sebenarnya, tahun 2019, ia seharusnya tampil di opera yang dimainkan di Pulau Jeju, Korea Selatan, tetapi pandemi membatalkannya.
Meski kesibukannya di rumah menyita waktu, Nana tetap bisa memenuhi undangan menyanyi dan ikut lomba menyanyi di luar negeri, bahkan menjadi juara. Suaminyalah yang mencarikan lomba di Singapura, London, dan New York yang sesuai untuk istrinya. Nana pun mengurus ketiga anaknya dan rumah agar semua tetap berjalan baik.
Pada masa pandemi, ia memang tak bisa menyanyi secara langsung, tetapi banyak pihak memintanya menjadi pembicara untuk berbagi pengalaman sebagai ibu rumah tangga dan penyanyi profesional. Banyak sekolah swasta dan komunitas meminta ia membagikan pengalaman dan mengenalkan musik klasik.
Ia menyanggupinya di sela-sela mengerjakan pekerjaan di rumah dan momong anak. ”Sebelum acara di Zoom mulai, aku masak dulu, nyuapin anak-anak, lalu tampil di acara. Selesai acara gitu lagi, ya lipat baju-baju, masak. Suamiku bantu nyapu, ngepel, dan nyuci baju,” kata Nana menguraikan situasi rumah tangganya yang tanpa asisten.
Baca juga: Taylor Swift Tak Terhentikan
Berjibaku seperti itu terus ia lakukan ketika anak pertamanya, Celine, sejak tahun 2012 les harpa. Ia pun ikut les menemani sekaligus menuruti keinginan hatinya untuk bisa memainkan musik yang memunculkan suara mendamaikan hati itu. Ia sudah lulus diploma sekolah harpa dan anaknya akan menyusul dalam waktu dekat.
Nana bersyukur anak-anak dan suami sangat mendukungnya dalam berkarya. ”Setelah lulus sekolah harpa, saya baru tahu, anak saya suka enggak bisa tidur karena saya harus latihan memainkan harpa atau latihan menyanyi untuk manggung. Aduh, mereka selama ini tak pernah komplain,” tutur Nana.
Hari-hari menjadi pemain harpa pun sebenarnya tak mudah ia lalui. Memainkan harpa yang punya senar tebal kerap membuat jarinya melepuh, kulit tangannya pun kerap terluka sehingga saat hendak keramas ia harus menggunakan kaus tangan plastik agar tak membuat jarinya perih. Akan tetapi, Nana rela melakukannya. Ia begitu cinta harpa dan menyanyi seriosa.
Regina Handoko
Lahir: Jakarta, Januari 1978
Suami: Adrian Handoko
Prestasi, antara lain:
- Pemenang III kategori Professional Classical Vocal di London International Music Competition 2022
- Pemenang II kategori Senior Classical Vocal pada New York Golden Classical Music Awards International Competition 2020 dan tampil di Carnegie Hall, New York
- Juara kategori Classical Vocal pada Vienna Grand Prize Virtuozo International Music Competition 2019 dan tampil di Wiener Musikverein Concert Hall, Austria
- Pemenang II Bintang Radio dan Televisi tingkat nasional kategori Seriosa 1997