Eko Hardoyo, Berjuang Menghidupkan Nilai-nilai Lokal Tuban
Dia ingin agar nilai-nilai lokal tetap hidup sebagai identitas warga dan benteng kehidupan.
Oleh
MOHAMMAD HILMI FAIQ
·5 menit baca
Eko Hardoyo (56) berjuang menghidupkan kembali tradisi lama sebagai jalan konservasi alam. Dia ingin nilai-nilai lama itu meresap kembali di tengah warga sehingga lebih bijak dalam memperlakukan alam yang kian merana. Eko menggunakan festival budaya sebagai pintu masuk perjuangan Eko Kasmo, panggilan akrab Eko Hardoyo.
Desa Sukorejo, Kecamatan Parengan, Kabupaten Tuban, Jawa Timur, menjadi salah satu dari tiga desa yang menjadi ukuran keberhasilan pengelolaan kebudayaan oleh Pemerintah Kabupaten Tuban. Hingga akhir Januari 2024, proses pembangunan gazebo budaya masih berlangsung. Bangunan ini sebagai salah satu titik keberhasilan bangunan narasi Desa Sukorejo sebagai desa budaya. Penggerak utamanya adalah Eko.
Dia menguraikan bahwa Desa Sukorejo sudah lama memiliki materi atau syarat sebagai desa budaya. Sebab, peristiwa-peristiwa kebudayaan masih amat kental di sini, seperti ritual menjelang tanam dan panen padi atau gelaran kebudayaan di saat peringatan hari ulang tahun (HUT) RI. Eko mengingat, pada tahun 2017 jadwal peringatan HUT RI sangat padat dan campur aduk antara pertunjukan budaya atau seni tradisi dan olahraga. Dia dan kelompok sadar wisata (pokdarwis) kemudian mengusulkan agar dipisah antara gelaran olahraga dan seni tradisi itu. Di sini bisa dibilang sebagai titik munculnya gerakan desa budaya.
Maka, di bulan Agustus diadakan gelaran olahraga, sementara di bulan September gelaran seni tradisi dengan sistem sambatan atau gratisan. Maksdunya, di bulan September yang waktu itu berbarengan dengan bulan Suro, banyak pemilik alat karawitan, jaranan, dan tata suara libur tanggapan. Nah, mereka mudah dimintai bantuan untuk ikut tampil tanpa bayaran. Yang terlibat bisa sampai ratusan orang dengan penonton ribuan orang. Festival ini antara lain menampilkan tari tradisional secara kolosal, pencak dor, dan kelompok rebana.
Acara ini menggerakkan perekonomian desa karena mampu menghadirkan pasar. Adapun usaha mikro, kecil, dan menegah (UMKM) dari 23 RT didorong untuk menyediakan dagangan mulai dari makanan, minuman, hingga mainan anak. Di luar itu, puluhan pedagang dari luar desa turut menikmati perputaran uang selama festival berlangsung selama empat hingga enam hari itu.
”Penontonnya bukan hanya dari Desa Sukorejo, tapi juga dari Desa Kemlaten dan Mergoasri. Sekarang memasuki festival keenam, setiap penjual sudah menandai bulannya,” kata Eko.
Acara ini semula murni festival budaya, ditambah dengan lokakarya pembuatan film oleh dosen Institut Kesenian Jakarta yang kebetulan kenalan Eko. Anak muda dia gerakkan untuk memahami cara menarasikan budaya desa dalam bentuk visual.
Lewat festival tersebut, Eko ingin lebih jauh mengenalkan nilai-nilai lama yang tersisa di desa sebagai benteng jati diri dan ekologi. Dia mencontohkan, di Desa Sukorejo masih tertanam kebiasaan membuat sesaji di pojok sawah sebagai doa kepada Sang Kuasa agar terhindar dari hama. Begitu juga saat padi mulai bunting dan saat panen. Bahkan, penentuan hari panen harus dihitung secara rigid. Tujuannya untuk menghormati alam yang telah memehuni kebutuhan manusia.
Padi hasil panen pertama tersebut disisiri sambal, lalu dibacakan mantra atau doa kebaikan dan diluluri minyak wangi, selanjutnya disimpan di tempat istimewa dan kelak dijadikan sebagai bibit saat musim panen tiba. Pesan dari ritual ini adalah bahwa jika tumbuhan diperlakukan dengan baik, dia akan membawa kebaikan juga.
Contoh lain, dulu orang-orang takut pada pohon besar yang ada di sawah karena diyakini ada penunggunya. Namun, ajaran itu perlahan hilang. Oleh karena tidak ada ketakutan lagi, orang-orang bebas menebang pohon dan akhirnya alam rusak. Di Desa Sukorejo, di setiap musim kemarau selalu kesulitan mendapatkan air. ”Padahal, dulu tidak ada cerita itu. Kami selalu cukup air,” kata Eko yang lahir dan tumbuh di Desa Sukorejo ini.
Selain kerusakan lingkungan di hulu, juga perlakuan terhadap sungai yang jauh dari ideal. Sungai Kening, yang menjadi sumber air persawahan Desa Sukorejo, menjadi tempat sampah. Plastik, pembalut, sampai kasur dibuang ke sini. Terjadilah kekeruhan dan pendangkalan.
Oleh karena itu, Eko menggagas Festival Sungai Kening. Konsepnya adalah memuliakan sungai sebagai sumber kehidupan. Aksi nyatanya berupa pembersihan sungai hingga pemeliharaan ikan.
Ini upaya mengondisikan sungai agar tidak jadi tempat sampah. Festival ini akan diikuti dengan festival pascapanen yang antara lain berisi cara pengolahan pupuk organik dari kotoran hewan ternak sampai pertunjukan penggilingan padi secara tradisional menggunakan lesung.
Dari rahim tradisi
Eko lahir dan tumbuh dalam lingkup tradisi. Buyut, kakek, dan ayahnya seorang dalang. Ketika usia sekolah dasar, dia kerap ikut ayahnya mendalang. Dia menabuh balungan, salah satu instrumen musik dalam karawitan. Tak jarang, Eko tertidur sampai subuh ketika wayang baru usai. Setiap hendak ikut pentas wayang, ayah Eko pamit kepada guru Eko agar diizinkan untuk tidak masuk sekolah dan pihak sekolah selalu mengizinkannya karena hal itu dianggap bagian dari pendidikan.
Ayah Eko juga memiliki Sanggar Seni Ngripto Laras yang kemudian diubah menjadi Ngripto Raras demi kemudahan mendapatkan izin. Sanggar ini menampung anak-anak desa untuk berlatih kesenian tradisi, Eko termasuk di dalamnya. Lulus SMA PGRI 1 Bojonegoro, dia melanjutkan kuliah di STSI (sekarang ISI) Surakarta, lalu pulang kampung sebagai aparatur sipil negara sambal mengelola sanggar warisan ayahnya. Setiap hari, dia harus menempuh perjalanan sekitar 108 kilometer pergi pulang dari Sukorejo ke Kota Tuban tempatnya berdinas.
”Untuk menjaga agar sanggar tetap hidup,” kata Eko yang sejak akhir 2023 dipindah ke Kantor Kecamatan Parengan sebagai Kepala Penyelenggaraan Layanan Ketentraman dan Ketertiban Umum serta Perlindungan Masyarakat (Trantibumlinmas).
Oleh karena kantornya hanya berjarak 2 kilometer dari Desa Sukorejo, Eko kini bisa lebih maksimal membangun desanya. Selain menggerakkan anak-anak muda dalam festival budaya dan desa budaya, Eko juga mengelola sanggar ayahnya. Setiap Senin malam, Rabu malam, dan Jumat malam ada latihan karawitan. Lalu setiap Minggu pagi sampai sore digelar latihan tari yang melibatkan anak-anak usia prasekolah hingga sekolah menengah pertama.
Selama berada di sanggar, anak-anak dipancing untuk berkomunikasi dalam bahasa Jawa kromo untuk mengimbangi bahasa Indonesia dan bahasa Inggris di sekolah. Banyak guru di sekolah merasa terbantu dengan metode ini. Eko akan terus menghidupkan nilai-nilai lokal untuk memperkuat jati diri desa.
Eko Hardoyo alias Eko Kasmo
Lahir: Tuban, 11 Maret 1968
Pendidikan: STSI Surakarta
Prestasi antara lain
Penghargaan kategori kreator musik tradisi dari Gubernur Jawa Timur Sukarwo (2018)