Demokratisasi Alas Kaki Ala Andrey dan Aditya
Andrey Noelfry Tarigan dan Anugrah Aditya adalah sosok penting di balik Jakarta Sneaker Day (JSD). Seperti apa mereka?
Kamus Besar Bahasa Indonesia menjabarkan demokrasi sebagai gagasan yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara. Andrey Noelfry Tarigan (34) dan Anugrah Aditya (41) menerapkan prinsip kesetaraan itu pada obyek kesukaan mereka. Lahirlah Jakarta Sneaker Day.
Mendung membayangi gedung Infia Corp HQ di Bintaro, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Selasa (30/1/2024). Kantor itu belum tertata, bahkan masih berdebu. Akan tetapi, tempat itu merupakan rumah baru dari berbagai kekayaan intelektual, media, dan acara komunitas, termasuk Jakarta Sneaker Day (JSD).
”Kantor baru baru jadi, titik GPS-nya belum akurat. Pakai titik PD Henky Jaya Bintaro aja,” kata Andrey merujuk tempat usaha kayu seberang gedung.
Andrey dan Aditya baru menyelesaikan sesi foto. Kedua laki-laki ini tampil senada dengan paduan warna hitam dan putih. Sepatu sneaker kesayangan sudah menempel di kaki masing-masing. Andrey mengenakan New Balance 990 V6 yang terlihat nyaman, sedangkan Aditya memakai Converse x Fear of God Essentials 70s Chuck Taylor High yang kasual.
Setelah beberapa kali batal, akhirnya Andrey dan Aditya bisa meluangkan waktu bertemu. Andrey sedang sibuk dengan peran perdana sebagai ayah. Aditya juga sempat keluar kota sebentar. Saatnya menggali kisah kedua pencinta sneaker atau sneakerhead ini sebagai sosok penting di balik JSD.
Para sneakerhead pasti familiar dengan JSD, sebuah platform media dan acara yang fokus pada sneaker dan subkultur yang berhubungan. Akar JSD tumbuh sejak akhir tahun 2016 ketika Andrey bersama rekannya, Muhammad Triangga atau Angga dari Umbre, melihat tren sneaker yang semakin ”wah”. Orang banyak berburu sneaker, antara lain Adidas NMD dan Yeezy.
”Sepatu-sepatu itu lumayan mengubah skena, ya, kalau pakai bahasa sekarang. Orang sampai mengantre, padahal itu juga sepatu yang nilainya beda seperti Jordan. Kami melihatnya sebagai sepatu yang tidak ada nilai historis, tapi gila hype-nya,” ujar Andrey.
Andrey dan Angga tertarik melakukan riset acara Sole Superior di Singapura pada November 2016. Ini adalah sebuah acara konvensi sepatu sneaker dan streetwear sejak 2013. Acaranya ramai, tetapi tempatnya di semacam bar. Banyak orang Indonesia ke sana. Di situ mereka berkenalan dengan Aditya.
Baca juga: Ratih Kumala, Penulis yang ”Ngidak Bumi”
Kebetulan, sudah beberapa bulan Aditya sebagai pemengaruh mulai menjajal konten sneaker. Aditya lalu mendengar ide soal JSD dari Andrey dan Angga. Awalnya Aditya ditawari menjadi kreator konten untuk JSD. Lama-kelamaan, dia diajak bergabung untuk ikut mengurus acara ini sampai sekarang.
JSD pertama berlangsung pada 2017 di mal Senayan City, Jakarta. Tiket ludes terjual. ”Kami kira ini bakal jadi event biasa untuk memfasilitasi hype sneakers masa itu. Ternyata luar biasa. Tahun segitu, bisa dibilang acara sneaker yang besar dan layak, ya, JSD yang pertama. Nggak lama mulai banyak event-event sneaker muncul di mal lain,” tutur Aditya.
Di acara JSD kedua tahun 2018, Presiden Joko Widodo hadir bersama keluarga. Perhelatan JSD berlanjut ke tahun 2019, tetapi kemudian tertunda selama dua tahun akibat pandemi. Pada 2022, JSD kembali hadir. Setahun kemudian, JSD 2023 berlangsung dengan tema ”Solebration”, yang menggabungkan kata sole (tapak sepatu) dan celebration (perayaan).
Untuk semua
Sudah tujuh tahun JSD berjalan. Saat ini, JSD mempunyai tim inti 15-20 orang, tetapi bisa menggerakkan sekitar 100 orang kalau acara sedang berjalan. Animo sneakerhead pada JSD tidak usah ditanya lagi. Perhelatan JSD pertama menarik 15.000 pengunjung, dua kali lipat dari proyeksi awal. Pada 2023, sekitar 48.000 pengunjung meramaikan JSD 2023, melebihi ekspektasi 40.000 orang. ”Bahkan waktu JSD pertama, tim JSD sampai menutup pintu karena tempatnya sudah nggak muat,” kata Aditya.
Antusiasme itu sejalan dengan semangat JSD, yakni ”Sneaker untuk Semua”. JSD ingin agar semua hal yang menyangkut budaya sneaker, termasuk produk, informasi, dan komunitas, bisa diakses oleh semua orang. Maklum, industri semacam ini bisa membuat terintimidasi orang awam.
Tidak hanya untuk memuaskan dahaga sneakerhead, JSD juga memberi ruang aktivasi brand bagi jenama luar dan lokal. Bibit itu mulai tumbuh ketika Presiden Jokowi saat menghadiri JSD meminta agar JSD menampilkan sepatu lokal dalam acaranya.
Setahun kemudian, impian itu terwujud. Di JSD 2019, untuk pertama kali antrean panjang untuk sepatu lokal terjadi pada jenama asal Bandung, Compass, yang berdiri sejak 1998. Sepatu Compass Bravo yang merupakan hasil kolaborasi dengan Brian Notodihardjo habis dalam waktu 1,5 jam.
Nama Compass ikut melambung. Di tahun yang sama, setelah acara JSD, popularitas jenama ini merembet saat hadir di acara Urban Sneaker Society (USS) 2019. Pengunjung USS bahkan mengantre sejak subuh demi mendapatkan sepatu Compass.
”Itu menunjukkan bahwa sepatu lokal sudah mulai bersaing dari segi kenyamanan, desain, dan lainnya. Daripada sepatu KW, sepatu lokal itu bagus-bagus, kok, kalau budgetnya belum sampai ke sepatu retail harga Rp 2 jutaan ke atas,” kata Andrey.
Selama tujuh tahun ini, JSD telah mendatangkan lebih dari 100 jenama untuk acara luring. Sekitar 50 persen merupakan jenama lokal yang bergerak di bidang sepatu, pakaian, kaus kaki, dan produk pendukung sneaker lainnya, sebutlah Compass, Kanky, Pijakbumi, Never Too Lavish, dan Ortuseight. Dengan banyaknya opsi tersebut, orang sekarang bisa membeli sneaker yang mereka suka dan butuh.
”Perkembangan sepatu lokal sekarang bagus banget dan masyarakatnya juga mendukung produk lokal. Secara harga juga brand lokal lebih unggul dari brand luar karena lebih murah karena efek bahan baku dan distribusi logistik. Namun, kita memang secara teknologi belum bisa mengejar. Tapi, kami senang menjadi bagian dari perjalanan industri sepatu lokal,” ucap Aditya.
Awal kecintaan
Kecintaan Andrey pada sneaker mengakar tiga dekade silam. ”Dulu aku ngikutin komik Harlem Beat dan Slam Dunk. Sama kecintaan sama basket juga, kayak Michael Jordan, zaman kami lihat dia sebagai pahlawan seperti bapak-bapak kalau lihat Pelé atau Maradona,” ujarnya. Andrey jadi familiar dengan jenama sneaker semacam Nike Air Jordan, Asics, dan New Balance. Waktu masih SMP, Andrey bocah bahkan memaksa sang ayah memberi kado Natal berupa sepatu New Balance. Belum banyak yang tahu soal sepatu jenama ini pada masa itu.
Beranjak dewasa dan berduit, ia ketagihan melakukan riset dan mengoleksi sepatu, dimulai dengan Nike Air Max dan Adidas ZX. Sekarang, dia punya enam pasang Nike Air Max 1 dan beberapa Air Max lainnya.
Berbeda dari Andrey, Aditya tertarik sneaker sekitar tahun 2012, beberapa tahun setelah dia berkarier sebagai musisi. Namanya anak band, penampilan kece yang nyaman pasti jadi perhatian. Ia jadi sering memilih sneaker yang sedang hit, salah satunya Converse Jack Purcell. Ia mulai mengoleksi sepatu tersebut untuk manggung.
”Dari situ, aku memperhatikan sneaker sebagai fashion item. Aku suka baca-baca majalah luar untuk styling, kayak padukan baju rapi dengan sneaker untuk nyaman bergerak. Jadi jatuh cinta pertama sama Converse,” kata ayah dua anak ini.
Aditya makin tertarik dengan sneaker karena melihat alas kaki ini sebagai teknologi yang dapat dipakai (wearable technology). Sama seperti gawai, sneaker mempunyai teknologi di keempukan sol sepatunya, contohnya ketika Adidas mengeluarkan Adidas Ultraboost pada 2015. Kolaborasi jenama sepatu ini dengan artis ternama, seperti Kanye West, juga membuatnya makin tertarik.
Baca juga: Militansi Para ”Sneakerhead”
Lama-lama Aditya semangat berburu sepatu, bahkan sampai ke Jepang. ”Dan aku buat jadi konten. Ternyata punya satu, dua, kurang ya, pengen punya sneaker model lain. Jadi, aku kecebur Jordan juga,” ujarnya seraya tertawa.
Sederhananya, JSD lahir gara-gara hobi para pendiri. Pendirian JSD juga membuat mereka punya akses privilese tentang sepatu terbaru dari penjual retail. Sampai sekarang, Andrey dan Aditya masih mengoleksi sepatu walaupun lebih terukur.
”Dulu aku koleksi bisa sampai 100-an pasang sepatu. Sekarang aku manage total di angka 40-an pasang, termasuk sepatu lokal. Karena sepatu kan juga ada umurnya, kalau nyimpen-nya nggak benar ya bisa rusak,” tutur Aditya yang juga dikenal dengan nama Adityalogi.
Sementara itu, Andrey mengatur koleksinya di sekitar angka 70 pasang. Namun, ia mengaku, umur tak bisa bohong. ”Kalau aku pribadi ada beberapa Jordan yang tidak lagi terpakai. Sekarang aku carinya sepatu yang nyaman aja,” ujarnya diiringi tawa.
Sepanjang perjalanannya, nilai sneaker telah bertambah sebagai alas kaki yang menjadi bagian dari gaya hidup, aset, dan sejarah. Bagi Andrey dan Aditya, sneaker turut menjadi penanda identitas. Setiap pilihan sneaker bisa menunjukkan sekelebat diri pemakainya.
Andrey Noelfry Tarigan
Lahir: Bandung, Jawa Barat, 11 November 1989
Pendidikan terakhir: S-1 Jurusan Periklanan Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta
Pekerjaan: Co-founder/Chief Commercial Infia Group dan pendiri bersama JSD
Anugrah Aditya
Lahir: Jakarta, 12 Mei 1982
Pendidikan terakhir: S-1 Fakultas Hukum Universitas Katolik Atmajaya
Pekerjaan: Kreator konten di AdityalogyTV, musisi, pendiri SOBOYOW WRLD, dan pendiri bersama JSD
Catatan: Artikel ini mengalami perubahan pada bagian judul. Perubahan dilakukan Minggu (18/2/2024) pukul 19.54