Taylor Swift Tak Terhentikan
Dalam sejarah Grammy, belum ada artis yang menandingi Swift dalam urusan penerima anugerah album terbaik.
Malam penganugerahan Piala Grammy ke-66 pada pekan lalu adalah penanda penting dalam karier Taylor Swift. Dia menorehkan rekor baru di ajang itu: artis pertama yang empat kali dapat piala untuk kategori Album of the Year. Sanjungan atas album Midnights belum usai, Swift mengumumkan album barunya yang segera keluar di tahun ini. Entah anugerah apa lagi yang bakal mengampirinya.
Taylor Swift (34) mendapat enam nominasi untuk Piala Grammy yang berlangsung pada Minggu (4/2/2024) di Los Angeles, AS. Dua di antaranya berbuah piala gramafon emas, yakni di kategori Best Pop Vocal Album dan Album of The Year. Dua-duanya dianugerahkan untuk album studio kesepuluhnya, Midnights, yang dirilis pada Oktober 2022.
Dua piala itu menambah koleksi Piala Grammy yang telah dia bawa pulang menjadi 14 piala. Empat di antara 14 piala itu berasal dari kategori bergengsi Album of The Year. Artinya jelas, empat dari 10 album Swift digelari album terbaik oleh institusi Grammy, yaitu album Fearless (menang pada 2010), 1989 (2016), Folklore (2021), dan Midnights (2024).
Dalam sejarah Grammy, belum ada artis yang menandingi Swift dalam urusan penerima anugerah album terbaik. Dia yang terbanyak. Swift mengungguli tiga penyanyi pria dengan maisng-masing perolehan tiga piala, yakni Frank Sinatra, Stevie Wonder, dan Paul Simon. Rasanya rekor Swift sulit tergusur dalam waktu dekat.
Dalam pidato penerimaan piala album terbaik, Swift mengungkapkan kebahagiaannya. ”Aku harus mengakui bahwa ini momen terbaik dalam hidupku. Kebahagiaan ini setara dengan ketika menyelesaikan sebuah lagu, atau berhasil menemukan bridge dalam lagu, atau berlatih dengan penari dan bandku, atau berkonser ke Tokyo. Bagiku, piala ini bagian dari kerja,” kata Swift dalam balutan gaun putih berkombinasi hitam.
Malam ini akan menjadi malam yang akan aku ceritakan berulang-ulang kelak kepada anak-cucu bahwa pada 2010, aku menang piala album terbaik di Grammy.
Jejak Swift di ajang Piala Grammy terentang panjang, sama panjang dengan karier bernyanyinya. Berdasarkan catatan di Grammy.com, Swift pertama kali menorehkan namanya di ajang itu pada 2007. Pada sebuah pagi di Desember tahun itu, Swift terkejut-kejut namanya disebut sebagai salah satu nomine artis pendatang baru. Usianya masih 17 tahun, dan baru melepas album perdana bertitel namanya sendiri pada 2006.
Dia menghadiri acara Grammy pertamanya pada 10 Februari 2008. Swift rela tak datang di pesta dansa akhir tahun sekolahnya demi acara penting ini. Sebagai remaja, dia girang bukan kepalang. Ketika diwawancara CBS, Swift bilang senang sekali bisa bertemu di ruangan yang sama dengan band kesukaannya, Foo Fighters, dan rapper Kanye West. Malam itu, piala artis pendatang baru bukan miliknya, melainkan mendiang Amy Winehouse yang memenangi lima dari enam kategori. Tapi namanya selalu ada di perhelatan Grammy tahun-tahun berikutnya; baik sebagai pembaca kategori, pemenang piala, atau penampil.
Pada perhelatan tahun 2009, misalnya, Swift berduet dengan Miley Cyrus membawakan lagu ”Fifteen” yang sendu. Ketika itu, sejumlah media menilai penampilan mereka tak membutuhkan aneka gimik untuk menguasai panggung megah.
Lewat album Fearless (keluaran 2008), nama Swift makin berkibar. Dia mendapat delapan nominasi Grammy, dan membawa pulang empat di antaranya pada perhelatan ke-52 di tahun 2010. Tiga piala berasal dari kategori musik country, sementara satu piala lainnya adalah Album of the Year. Kala itu, dia jadi artis termuda yang pernah memenangi kategori prestisius ini—rekor yang dipatahkan Billie Eilish 10 tahun kemudian.
”Malam ini akan menjadi malam yang akan aku ceritakan berulang-ulang kelak kepada anak-cucu bahwa pada 2010, aku menang piala album terbaik di Grammy,” kata Swift penuh kegirangan dalam pidato penerimaan piala.
Penyelamat industri musik
Malam itu makin sempurna bagi Swift dengan tampil bersama penyanyi legendaris Stevie Nicks membawakan lagu ”Rhiannon” dan ”You Belong with Me”. Kepada NME, Nicks, yang pernah besar bersama grup Fleetwood Mac itu berujar betapa aura kebintangan Swift berpendar sehingga sulit untuk menampik ajakan tampil bareng.
”Taylor menulis lagu untuk laki dan perempuan yang ingin mengenal dirinya. Kancah penyanyi/penulis lagu rock-country perempuan hidup lagi berkat Taylor Swift. Dan perempuan seperti dia yang akan menyelamatkan industri musik,” puji Stevie Nicks. Ucapan itu seperti ramalan yang jadi kenyataan.
Popularitas Swift meroket tinggi. Racikan musiknya lebih berbalut pop di album Red (2014) dan Reputation (2017). Formula baru itu berhasil. Lagu ”Shake It Off” sempat jadi yang ”lagu kebangsaan” para Swifties. Lagu ini juga dinominasikan sebagai Record of the Year dan Song of the Year di ajang Grammy ke-57 tahun 2015. Meski tak menang, ”Shake It Off” bergaung di mana-mana.
Nama Swift kembali berkibar kencang selepas album 1989. Album ini kembali dapat piala Album of The Year pada perhelatan Grammy ke-58 tahun 2016. Dua piala lain yang diperoleh Swift dari kategori Best Pop Vocal Album, dan Best Music Video untuk lagu ”Bad Blood”.
Pada titik ini, Swift sadar ada nilai yang perlu dia tularkan kepada pendengarnya, terutama perempuan belia. Maka dalam pidatonya, Swift memberi semangat moral pada mereka. ”Akan ada orang-orang yang berusaha menghambat atau mengklaim kesuksesanmu. Jangan biarkan orang seperti ini merusak fokusmu. Kelak kau akan menyadarai bahwa dirimu sendirilah yang membawamu pada titik kesuksesan itu. Itu akan menjadi perasaan terbaik yang pernah kau rasakan,” ujarnya.
Swift dan para pendengarnya, yang sering disebut Swiftes seolah-olah punya ikatan magis. Apa pun yang Swift lantunkan pada lagunya kerap beresonansi dengan pendengar. Cerita hidup Swift adalah representasi kisah orang-orang biasa; kesepian, dikhianati, hingga turbulensi mental. Dia telah menjadi ikon budaya pop.
Perempuan kelahiran Pennsylvania, AS, ini seperti punya banyak cerita di kepalanya. Cerita itu lugas terlantun dalam lagu-lagunya. Corak musiknya boleh berubah, tapi tuturannya selalu mengena di sanubari pendengar. Ini, misalnya, terasa betul di masa pandemi Covid-19. Album Folklore (2020) lahir dari perasaan terasing di masa karantina. Terasing adalah perasaan kolektif di masa itu.
”Dalam isolasi, imajinasi saya menjadi liar dan album ini adalah hasil dari kumpulan lagu dan cerita yang mengalir seperti aliran kesadaran,” tulisnya di media sosial Twitter kala itu. Dalam lirik lagu, imajinasi itu berkelindan dengan metafora, yang menemukan pendengarnya.
Pada lagu ”Epiphany”, misalnya, Swift menuliskan kisah perjuangan kakeknya di Perang Dunia II. Melalui suara lembut dan penuh empati, Swift menjadikan perang sebagai metafora dari pandemi yang membuat banyak orang kehilangan kerabat.
Di tahun itu pula, di masa penuh ketidakpastian, Swift justru panen kreativitas. Setelah mengeluarkan album Folklore di bulan Juli, album berikutnya, Evermore, keluar lima bulan kemudian. Swift bersama produser Jack Antonoff dan Aaron Dessner berkolaborasi di masa karantina. Dua album ini menemani para Swifties keluar dari kesusahan era pandemi.
Karya tumpuan
Bagi Swift, dua album ”bersaudari” itu menjadi tumpuan karya berikutnya. Berbalut nuansa sendu dan reflektif, Swift mengeluarkan album Midnights (2022), karya yang lahir dari ide kreatif selepas tengah malam. Album ini laris manis. Di hari peluncurannya, lagu ”Anti-Hero” diputar sebanyak 17,5 juta kali di pelantar Spotify saja. Format piringan hitamnya saja dikeluarkan hingga empat versi.
Lirik-lirik di album ini lebih personal lagi, menguatkan ikatannya dengan pendengar. ”(Album ini) untuk kita yang telah berjuang dan menjaga lentera menyala mencari sebuah harapan. Saat waktu menunjukkan pukul 12 malam, kita bertemu dengan diri sendiri,” kata Swift kepada Billboard.
Lewat album yang banyak ditulis bareng Antonoff ini, Swift tak terhentikan. Apa pun yang berasosiasi dengan namanya punya taji. Tur dunianya, Eras Tour, menghasilkan pendapatan paling tinggi dalam sejarah industri musik dunia. Menurut Billboard, setiap pertunjukannya menghasilkan pendapatan sekitar 14 juta dolar AS. Kedatangannya di setiap kota mendongkrak pendapatan domestik.
Seperti fusi nuklir, dia melepaskan energi besar dan terbesar sepanjang sejarah. Prestasi Swift sebagai seorang seniman budaya, kritis, dan komersial tak perlu diperdebatkan lagi.
Desember lalu, majalah Time menggelari Swift sebagai Person of the Year, mengungguli kandidat lain, seperti Raja Charles III, CEO OpenAI Sam Altman, dan Barbie. Karier sebagai penyanyi yang terus melesat dan menjadi corong suara bagi pendengarnya jadi pertimbangan.
”Seperti fusi nuklir, dia melepaskan energi besar dan terbesar sepanjang sejarah. Prestasi Swift sebagai seorang seniman budaya, kritis, dan komersial tak perlu diperdebatkan lagi,” tulis Time yang dikutip Kompas.id.
”Fusi” itu sepertinya belum sepenuhnya meledak. Ketika dia menerima piala album terbaik di panggung Grammy, Swift mengumumkan ”amunisi” barunya berupa album baru bertitel The Tortured Poets Department. ”Aku selalu ingin meneruskan melakukan ini, hal-hal yang kusenangi,” katanya. April nanti, saat peluncuran album, efek Swift rasanya akan kembali menggelombang. (GRAMMY.COM/TIME/BBC)
Taylor Swift
Lahir: 13 Desember 1989, West Reading, Pennsylvania, AS
Album Studio:
- Taylor Swift (2006)
- Fearless (2008)
- Speak Now (2010)
- Red (2012)
- 1989 (2014)
- Reputation (2017)
- Lover (2019)
- Folklore (2020)
- Evermore (2020)
- Midnights (2022)