Ari Bayuaji: Menenun Seni, Memaknai Kolaborasi
Perupa Ari Bayuaji menggerakkan komunitas di Bali untuk menciptakan karya tenun menggunakan sampah plastik.
Ari Bayuaji (49) melihat seni sebagai jalan spiritual. Hasil karyanya mengekspresikan keyakinannya akan hidup yang harus saling memberi dan bermanfaat bagi orang lain. Perupa kelahiran Mojokerto, Jawa Timur, ini memberi roh kolaborasi pada karya-karyanya.
Dua karya Ari yang berjudul ”The Storm in the Golden Afternoon” dan ”The Sparkling Waves under the Full Moon” membetot perhatian kolektor dan penikmat seni di dalam perhelatan Art SG di Marina Bay Sands Expo & Convention Centre, Singapura, 17-21 Januari 2024. Pengunjung pameran seni internasional yang digelar untuk kedua kalinya itu kerap tak memercayai dua karya yang menyerupai tenun kain itu dibuat dengan benang plastik.
Dua karya tenun (woven) itu dipajang di booth pameran milik Mizuma Gallery, salah satu galeri asal Jepang yang memiliki kantor di Singapura, Tokyo, dan New York. Sekilas, dua karya tenun yang digantung itu seperti kain pada umumnya. Namun, tekstur plastik kemudian terasa saat meraba hamparan tenun tersebut. Simpul-simpul ikatan benang plastik yang menonjol seperti bundelan benang yang tersisa di akhir jahitan membawa kesadaran bahwa karya itu tak sepenuhnya digerakkan oleh alat tenun.
”Untuk menyambung benang-benang plastik ini, kami ikat satu per satu dengan tangan. Jadi, ada titik-titik seperti bundelan ini, sebelum kami gulung di botol plastik bekas dan dimasukkan ke dalam alat tenun,” ucap Ari saat ditemui di area pameran, Kamis (18/1/2024).
Gradasi warna yang dihasilkan dari benang-benang plastik itu sangat lembut. Terlihat sebuah pola menyerupai ombak dengan latar belakang pergeseran warna yang bergantian antara hijau gelap dan hijau yang lebih muda. ”Terkadang, saya harus menyisipkan benang plastik dengan tangan karena tidak mungkin mengerjakannya semua dengan alat tenun,” katanya.
Baca juga: Seni Berakar Kuat, Menembus Sekat
Ari sendiri yang harus mengombinasikan warna-warna dalam karyanya agar membentuk sebuah pola. Ia juga yang memotong satu per satu benang plastik itu dan mengikatnya. Namun, untuk dapat menjadi satu karya seni yang utuh, Ari berkolaborasi dengan banyak warga Bali.
Melalui proyeknya, Weaving the Ocean, Ari secara khusus mengajak petenun lokal, nelayan, dan warga lokal lain yang terpukul dampak pandemi. Banyak dari mereka yang kehilangan pekerjaan dan harus berjuang untuk menghidupi keluarga.
Kala itu, Ari tidak dapat beranjak dari Bali karena pembatasan mobilitas saat pandemi. Ia harus menunda rencananya kembali ke Kanada, tempat ia bertahun-tahun berkarier di bidang seni rupa dan sebelumnya mengenyam sekolah seni rupa di Concordia University (2005-2010).
Tak berdiam diri, Ari terinspirasi dari problem lingkungan yang membelit Bali. Persoalan sampah mengganggu batinnya. Begitu juga dengan persoalan sosial yang nyata di hadapannya.
”Awal 2020, saya memulai proyek saya dengan menggandeng Ibu Desak, salah satu petenun di Sanur. Saya berusaha memanfaatkan sampah-sampah plastik dari tali plastik yang biasa digunakan mengikat kapal dan nelayan. Ibu Desak adalah satu-satunya asisten saya yang membantu saya menenun benang-benang itu,” ucapnya mengenang proyek pertamanya.
Baca juga: Seniman Indonesia Dapat Tempat di Art Stage Singapura
Warga lokal lainnya, termasuk sejumlah nelayan, juga membantunya untuk mengumpulkan tali-tali plastik dari pantai. Mereka diberi imbalan dari uang pribadi Ari. ”Saat itu, yang saya pikirkan adalah bagaimana membantu orang-orang ini,” ucap jebolan teknik sipil Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang ini.
Benang-benang plastik dari pantai yang telah dibersihkan kemudian ditenun dengan benang katun. Bagian vertikal dari tenun itu menggunakan benang katun, sedangkan bagian horizontal menggunakan benang plastik. Kombinasi itu ternyata berhasil menghasilkan karya seni yang unik. Warna-warna yang kaya muncul dari tali tampar yang diuraikan. ”Di dalam tali tampar itu ternyata banyak sekali warna bagus,” ujarnya.
Usahanya ini membuahkan hasil. Ia mendapatkan dukungan dari Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI untuk membuat video dokumenter tentang proyek seninya. Video itu mengundang perhatian koleganya di berbagai negara. Salah satu karyanya bahkan dikoleksi oleh Kennedy Center di Amerika Serikat.
Ketika pandemi mulai mereda, kesempatan pameran pun tiba. Ia membawa berbagai karya hasil kolaborasinya itu pameran ke sejumlah negara, seperti Taiwan, Thailand, dan Kanada. Di negara-negara itu, karyanya diapresiasi tinggi. Salah satu karyanya dikoleksi oleh Contemporary Art Museum di Montreal, Kanada. Banyak karyanya juga dibeli oleh Pemerintah Kanada.
Keuntungan dari karya-karyanya itu selalu dibagi dengan komunitas yang mendukungnya. Ari menyadari, proyeknya menggabungkan antara seni tenun tradisional yang hampir punah di Bali dan konsep seni yang mendapatkan inspirasi dari persoalan kontemporer saat ini di Bali, yakni problem lingkungan. Ia ingin berbagi dengan komunitas tempat karya itu dilahirkan.
Baca juga: Sejenak Becermin ke Singapura
Pelajaran dari ibu
Semangat berbagi itu lahir dari kenangan akan ibundanya. ”Ibu saya selalu mengajari saya untuk bermanfaat bagi orang lain. Menjadi seniman adalah pekerjaan yang terkait dengan spiritual. Seperti profesi lain, seniman juga dapat seperti guru, dokter, insinyur yang harus memberikan manfaat bagi orang lain,” ujarnya.
Lahir dari pasangan guru dan instruktur aerobik, Ari beruntung orangtuanya memiliki kepekaan sosial. Keluarganya menyekolahkan sejumlah anak tak mampu di lingkungannya semasa ia kecil. Semangat berbagi inilah yang mengilhami karya-karyanya.
Ia juga tak ingin menyia-nyiakan pendidikannya di Concordia University. Kedua orangtuanya mulanya tidak setuju dengan pilihan Ari yang banting setir dari insinyur teknik sipil menjadi seniman. Namun, panggilan menjadi seniman itu tak tertahankan.
Ia membawa berbagai karya hasil kolaborasinya itu pameran ke sejumlah negara, seperti Taiwan, Thailand, dan Kanada. Di negara-negara itu, karyanya diapresiasi tinggi. Salah satu karyanya dikoleksi oleh Contemporary Art Museum di Montreal, Kanada. Banyak karyanya juga dibeli oleh Pemerintah Kanada.
Ari pernah menjadi teknisi sipil dalam pembangunan sebuah vila di Bali. Namun, pekerjaan itu ditinggalkannya karena ia merasa bebannya terlalu berat. Ia lalu mengambil kursus menggambar di Jerman. Hanya sebentar di Jerman, ia pulang karena merasa tak menemukan masa depan di sana. Kesempatan menjadi seniman itu tiba saat ia diterima di Concordia University, Kanada, 2005.
Di negara Amerika Utara itu, Ari mengisi waktunya, antara lain, dengan menjadi sukarelawan di Redpath Museum di McGill University. Di museum itu, ia mengidentifikasi berbagai barang antik dan purbakala berupa keris, batik, patung, dan temuan lain di abad ke-19, yang di antaranya banyak berasal dari Indonesia. Beruntung, orangtuanya juga mengoleksi sejumlah barang antik. Ayah ibunya memiliki sejumlah buku tentang barang antik dan purbakala. Berbekal koleksi buku itulah Ari mengidentifikasi berbagai barang antik dan purbakala di museum tersebut.
Jalannya menjadi seniman kian terbuka ketika ia menjalani residensi di Montreal Museum of Fine Art. Dalam residensi itu, ekspresi seni pertamanya berupa artefak yang aneh, yakni gabungan dari barang-barang temuan lama ataupun baru dari Indonesia dan barang-barang baru dari Kanada. ”Hasilnya terlihat seperti artefak yang aneh. Padahal, itu kombinasi dari barang-barang temuan saya. Tetapi, menurut saya, itu pantas untuk ditaruh di museum,” ujarnya.
Sejak 2011, Ari sepenuhnya berkecimpung di dunia seni. Ia tinggal di Bali dan Kanada. Ekspresi seninya mula-mula banyak dituangkan dalam bentuk patung yang dibuat dari barang-barang daur ulang. Misalnya, bekas-bekas kayu rumah yang tua atau ukiran tua yang ia jadikan karya baru dengan bentuk arsitektural.
Namun, setelah pengalamannya dalam proyek Weaving the Ocean, Ari memiliki lanskap ekspresi baru, yakni tenun. Ia berharap apresiasi tinggi dari penikmat seni internasional terhadap karyanya turut menggugah kesadaran warga dunia untuk menjaga lingkungan dan berbagi dengan mereka yang terpinggirkan.
Ari Bayuaji
Lahir: Mojokerto, 12 Januari 1975
Pendidikan: Teknik Sipil Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang (1993-1998), Concordia University di bidang Seni Rupa (2005-2010).
Pameran solo antara lain di:
- Pierre-Francois Ouellette art contemporain Montréal Qc, Kanada, 27 Mei-5 Agustus 2023
- Redbase Gallery Sydney, Australia, 8 November-16 Desember 2022
- Parkhaus im Malkastenpark Dusseldorf, Jerman, 2019
- Theatre by The Bay Singapore, 2019
- NUNU Fine Art Taipei, Taiwan, 2018
- Maison du Conseil des Arts de Montreal, 2018