Yuliana Bte Hendrik, Kisah Dedikasi Apoteker di Kaki Gunung Lewotobi
Lima belas tahun sudah Yuliana mengabdikan diri bagi masyarakat di bawah kaki Gunung Lewotobi yang kini sedang erupsi.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Di dalam ruangan 16 meter persegi itu, Yuliana Bte Hendrik (41) menyortir lalu mengemas setiap jenis obat-obatan untuk para pengungsi erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Kendati usia kehamilannya sudah lebih dari delapan bulan, ia masih tetap berdinas.
Sendirian di gedung obat Puskesmas Ile Bura, Sabtu (6/1/2024) pagi, ia tampak tenang bekerja dengan kecepatan tinggi dan berada di bawah tekanan. Telepon genggamnya yang berulang kali berdering ia ladeni. Siap, oke, dan segera meluncur. Begitu respons singkat sambil tangannya terus memasukkan obat ke dalam kardus.
Panggilan telepon datang dari petugas medis di sejumlah pos pengungsian yang meminta pengiriman obat dipercepat menyusul membeludaknya pasien yang terserang penyakit akibat abu vulkanik letusan gunung. Belum lagi ia menjawab pertanyaan atasannya yang terus mengawasinya dari jauh.
Yuliana tetap bekerja sejak erupsi hari pertama pada Sabtu (23/12/2023). Dampak erupsi berupa hujan abu vulkanik yang mengguyur dua kecamatan, yakni Wulanggitang dan Ile Bura. Belum lagi luncuran lava serta banjir lahar hujan yang mengancam permukiman di bawahnya. Lebih dari 5.000 orang mengungsi.
Banyak tenaga kesehatan ikut terdampak sehingga untuk sementara mereka tidak berdinas. ”Saya diminta tinggal di rumah karena abu vulkanik sudah sampai di sini, tetapi saya merasa tidak tega melihat kondisi ini. Selama masih bisa kerja, saya tetap berdinas,” kata Yuliana.
Tapak kaki Yuliana kini membengkak, pertanda tidak lama lagi ia akan menjalani persalinan. Ia memilih bersalin di Puskesmas Ile Bura agar masih bisa melayani hingga hari persalinan nanti. Padahal, keluarganya menyarankan ia ke Larantuka atau ke Pulau Adonara agar jauh dari bencana erupsi.
Selama masih bisa kerja, saya tetap berdinas.
Lima belas tahun
Keterlibatan Yuliana dalam penanggulangan bencana erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki merupakan bagian dari dedikasi dirinya terhadap masyarakat di tempat tugas. Selama sekitar 15 tahun bertugas di tempat itu, ia telah melayani lebih kurang 10.000 jiwa yang tersebar di tujuh desa.
Setelah lulus menjadi pegawai negeri sipil tahun 2009, Yuliana ditugaskan di Puskesmas Ile Bura sampai hari ini. Puskesmas tersebut berada sekitar 67 kilometer (km) dari Larantuka, Ibu Kota Kabupaten Flores Timur. Puskesmas tersebut waktu itu baru pertama kali dibuka setelah Kecamatan Ile Bura dimekarkan dari kecamatan induk.
Dulu, jalanan menuju Ile Bura sekitar 18 km dalam kondisi rusak berat. Sebagian ruas bak kubangan dan ada titik yang tidak ada aspal. Angkutan umum terbatas. Bagi aparatur sipil negara kala itu, Ile Bura distigma sebagai tempat buangan. Banyak dari mereka yang menghindari. Kini, infrastruktur sudah mulai dibangun.
Tak ada rumah dinas, Yuliana yang kala itu sudah berkeluarga tinggal di rumah tuan tanah. Terbatas kamar, ia menempati bagian dapur. ”Saat itu, anak saya baru umur dua bulan. Kami tinggal di situ selama satu tahun,” ucapnya. Selepas itu, ia menempati bekas puskesmas pembantu hingga saat ini.
Di awal tugas, Yuliana mendapati banyak penyalahgunaan obat medis. Warga mengonsumsi obat tanpa resep dokter. Mereka membelinya dari warung. Pengelola warung memborong dari apotek di kota. Saat itu belum ada aturan pembatasan obat.
Yuliana mendapati seorang warga mengonsumsi obat penggemuk badan selama sembilan tahun. Kelebihan konsumsi obat, orang itu menderita keropos tulang. ”Kondisinya sudah tidak bisa tertolong lagi. Orang itu meninggal,” katanya.
Di kalangan anak muda yang suka minuman beralkohol, mereka sering menambahkan obat tertentu ke dalam minuman. Tujuan mereka untuk mendapat efek seperti mengonsumsi narkoba. Banyak yang kemudian sakit berat hingga mengalami gangguan mental.
Kampung ke kampung
Mendapati kejadian semacam itu di masa tugasnya, Yuliana berkomitmen membuat terobosan. Caranya, setiap ada kesempatan di tengah waktu yang terbatas, ia pergi dari kampung ke kampung untuk sosialisasi. Ini di luar jadwal posyandu yang rutin setiap bulan.
Waktunya memang terbatas lantaran selama lebih kurang 13 tahun ia menjadi satu-satunya apoteker di Puskesmas Ile Bura. Tambahan dua tenaga baru mulai bekerja tahun lalu. Pekerjaan apoteker tak hanya membagi obat sesuai resep, tetapi juga meraciknya sesuai dosis jika tidak tersedia formula yang dibutuhkan.
Ia juga rutin mengajar warga untuk membudidayakan obat herbal di pekarangan rumah atau kebun. Sebagai contoh, bagi yang mengalami gangguan lambung bisa mengonsumsi kunyit putih. Bagi yang mengalami gatal-gatal pada kulit bisa menggunakan daun nimba.
Komunikasi yang baik serta pelayanan yang memuaskan kepada masyarakat membuat warga sangat percaya kepada Yuliana. Kediamannya sering didatangi warga yang membutuhkan obat. Bak apotek 24 jam, ia pun siaga. Ia punya cadangan obat yang dibagi gratis ke masyarakat.
”Kami percaya kalau obat yang diambil dari tangan Ibu Yuliana akan membawa kesembuhan bagi kami. Walaupun obat itu bisa kami dapat dari tempat lain,” tutur Pankrasius Blolon (46), warga Desa Lewotobi.
Saya anggap setiap pasien itu seperti keluarga kandung saya. Pasti mereka akan senang ketika menerima obat dari saya.
Yuliana menuturkan, ketertarikannya pada dunia farmasi sejak ia menemani ayahnya dirawat di sejumlah rumah sakit mulai dari NTT hingga Surabaya, Jawa Timur. Namun, ayahnya yang sakit menahun sejak menjadi buruh migran di Malaysia itu akhirnya meninggal. Waktu itu, Yuliana masih duduk di bangku sekolah menengah atas.
Selama proses perawatan ayahnya, ia punya kesan bahwa seorang apoteker punya peran besar dalam kesembuhan pasien. Ia lalu tertarik mendalami bidang itu dengan melanjutkan pendidikan farmasi pada Universitas Setia Budi, di Surakarta, Jawa Tengah. Ia lulus tahun 2007.
Menurut dia, pelayanan yang diberikan dengan penuh cinta dan ketulusan akan menambah khasiat dalam obat. Caranya, menyapa pasien secara personal dan memberikan mereka motivasi. Haruslah meyakinkan pasien bahwa mereka bisa sembuh.
”Saya anggap setiap pasien itu seperti keluarga kandung saya. Pasti mereka akan senang ketika menerima obat dari saya. Makanya, kalau mereka tidak sembuh, saya merasa tidak tenang. Saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk membantu,” tutur Yuliana.
Oktavianus Kwuta, Kepala Puskesmas Ile Bura, atasan Yuliana, mengatakan, Yuliana adalah salah satu tenaga kesehatan yang menjadi panutan mereka. Ia menunjukkan dedikasi yang tinggi dalam pelayanan. Seperti saat ini, dalam usia kehamilan tua, ia terus melayani kebutuhan obat bagi para pengungsi.
Yuliana Bte Hendrik
Lahir: Malaysia, 29 Oktober 1982
Pendidikan: Diploma III Farmasi Universitas Setia Budi Surakarta