Achmad Solikan, Petani Muda Melawan Zaman
Achmad Solikan terus berguru dan tak bosan mencoba. Di usia muda, Solikan menjadi penggerak pertanian ramah lingkungan.
Tahun 2018, banyak petani cabai di lereng Pegunungan Menoreh, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, mengalami puso atau gagal panen akibat serangan virus Gemini. Para petani, yang biasanya menjual cabai berkarung-karung, harus gigit jari karena panenan menyusut.
Laporan ke dinas pertanian dan pangan setempat langsung disampaikan. Sayangnya, tidak ada tanggapan, dan petugas penyuluh pertanian lapangan (PPL) jarang kelihatan.
Penasaran dengan kondisi paceklik di desanya, Achmad Solikan (35) pun keliling desa. Ia coba mencabut tanaman-tanaman cabai yang pucuk daunnya menguning dan mengerut.
”Setiap menemukan tanaman yang terserang virus, saya minta izin ke petani untuk mengeceknya. Begitu saya cabut, akarnya ternyata tidak berkembang. Pantas saja, panenan yang dulunya berkarung-karung, kini hanya tinggal beberapa bungkus tas keresek,” ucapnya saat ditemui di Desa Giritengah, Kabupaten Magelang, Senin (4/12/2023).
Solikan kemudian berkonsultasi dengan salah satu temannya yang bekerja di sebuah perusahaan benih tanaman. Ia diberi masukan untuk mengecek tingkat keasaman dan kebasaan tanah di beberapa lahan yang mengalami gagal panen.
Begitu dicek menggunakan pH meter, ternyata tanah-tanah tersebut memiliki tingkat keasaman tinggi dengan pH kurang dari 3 hingga maksimal 4,5. Hal inilah yang menyebabkan pertumbuhan tanaman cabai buruk dan rawan terserang virus.
Untuk mengembalikan kondisi keasaman tanah agar siap tanam, para petani harus memberikan kapur dolomit di lahan persawahan. Namun, dibutuhkan berton-ton kapur dolomit untuk setiap hektar lahan.
Baca juga: ”Api Perlawanan” dari Bukit Menoreh
Solikan pun berupaya mencari solusi yang lebih praktis dan efektif. Terlintas di pikirannya untuk mencoba penggunaan pupuk organik yang lebih ramah lingkungan.
Upaya mencari jawaban itu berlanjut ketika Solikan bekerja sama dengan sebuah perusahaan. Ia dipercaya menggarap lahan seluas 1 hektar di daerah Magelang untuk ditanami pohon pepaya.
Dari ribuan pohon pepaya di lahan seluas 1 hektar tersebut, ia mencoba memberikan pupuk organik kepada 100 batang pohon pepaya sebagai sampling. Ternyata, tanaman yang diberi pupuk organik lebih subur, buahnya lebih manis, berbobot, dan umurnya panjang.
Memasuki musim hujan, Solikan pulang kampung halaman. Ia melanjutkan ”riset” pribadinya untuk mengembangkan pupuk organik di sawah milik Takim (67), bapaknya.
Sungkan karena bau
Di akhir 2018, Solikan mengumpulkan sedikit rezeki untuk membeli telepon pintar. Dari situlah, ia berselancar dan belajar membuat pupuk organik. Tanaman-tanaman yang bisa dibuat pupuk ia kumpulkan.
”Di desa kami ada tanaman gathakanyang biasa digunakan untuk menyembuhkan luka. Setelah kami cek, ternyata nama lain tanaman itu adalahkirinyuh yang bisa digunakan untuk bahan pupuk organik,” paparnya.
Untuk membuat pupuk organik dari daun kirinyuh(Chromolaena odorata), Solikan merajangnya, lalu difermentasi dengan molase, air cucian beras, serta rumen atau jeroan kambing. Awalnya, bapak dan simboknya (panggilan untuk ibu di Jawa) tidak mau karena bau. Tapi, ketika dicoba di sawah dan hasilnya membaik, bapaknya perlahan-lahan terbuka pemikirannya.
”Simbok akhirnya juga ikut mendukung. Setiap hari, ia selalu menyiapkan air leri (cucian beras) untuk membuat pupuk sendiri,” ungkap Solikan.
Proses uji coba pembuatan pupuk organik yang kadang memunculkan bau kurang sedap tak membuat Solikan putus asa. Saat beberapa mahasiswa berkunjung ke rumahnya, awal Desember 2023, bau fermentasi memang menguar di ruang tamunya.
Aneka macam bahan pupuk organik ia siapkan, mulai dari kunyit, lengkuas, brotowali, daun mimba, daun serai, gadung, hingga jantung pisang. Para peserta Festival Kampung Tani Desa Giritengah yang didukung Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan (PPK), Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi mendengarkan kesaksian Solikan tentang pengalamannya mengembangkan pertanian ramah lingkungan.
Selain belajar dari internet dan jurnal ilmiah, Solikan juga tak ragu berguru pada siapa pun. Ia belajar menanam cabai dari para petani di Pantai Trisik, Kulon Progo, hingga para petani di lereng Gunung Merapi, Merbabu, dan Sumbing.
Di kampungnya di Desa Giritengah, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jateng, Solikan sering sowan kepada simbah-simbah pemain kesenian Gatholoco untuk belajar tentang kearifan lokal dalam membaca pranata mangsa. ”Sejak dahulu, simbok-simbok di desa selalu menggendong daun bambu ke sawah. Rupanya, daun bambu bisa menggemburkan tanah sehingga lahan mudah dicangkul,” katanya.
Dalam membuat pupuk organik, awalnya Solikan hanya membuat untuk kebutuhan sendiri. Namun, lambat laun warga di sekitarnya mulai tertarik.
Baca juga: Gatholoco Bangkit dari ”Mati”
Ia pun memberikan sampel pupuk agar warga bisa membuat sendiri di rumah. ”Kita bisa membikin pupuk organik sendiri, jadi kenapa harus beli? Dalam sebulan, kita bisa menghasilkan pupuk organik sampai 100 liter,” papar Solikan.
Ketika dipraktikkan langsung di lapangan, ternyata dampak penggunaan pupuk organik luar biasa. Sebagai contoh, sejak usia tanam 90 hari, tanaman cabai yang diberi pupuk kimia bisa dipetik antara 15-20 kali. Sementara tanaman cabai yang dipupuk organik bisa dipetik hingga 30 kali.
Tumpang sari
Mayoritas warga Desa Giritengah menjalankan pola tanam tumpang sari. Dengan cara ini, mereka tak pernah kehabisan hasil panen untuk dijual atau dikonsumsi sendiri.
Solikan dan ayahnya menanam paling sedikit lima jenis tanaman selain cabai, di antaranya sawi, mentimun, buncis, pepaya, dan jahe. Di bagian pojok-pojok lahan sawah, mereka kadang juga menanam singkong.
November 2023, Solikan mulai menanam cabai yang dibarengi dengan sawi, mentimun, buncis, dan pepaya. Pada hari ke-25, sawi bisa dipanen dan 10 hari kemudian, pada hari ke-35, gantian ia memanen mentimun.
Memasuki hari ke-45, giliran sayuran buncis yang bisa dipanen. Lalu, pada hari ke-90, cabai mulai bisa dipetik. Memasuki Januari nanti, batang-batang bibit singkong ditanam. Sembari menunggu singkong tumbuh, pada bulan Maret buah pepaya siap dipanen.
Di sela-sela waktu tersebut, tanaman cabai yang dipupuk menggunakan pupuk organik terus-menerus berbuah sampai memasuki musim kemarau. Pada saat kemarau, ketika pasokan air menipis, Solikan dan para petani tumpang sari masih bisa memanen jahe dan singkong.
Atas keseriusannya mendalami seluk-beluk pertanian ramah lingkungan, Solikan dilibatkan oleh Pemerintah Kabupaten Magelang dalam penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Cadangan Pangan Daerah 2023 mewakili unsur petani. Tahun 2022, ia juga dipercaya menjadi narasumber Direktorat PPK, Ditjen Kebudayaan, Kemendikbudristek untuk memaparkan gerakannya dalam bidang pertanian organik.
Di sela-sela bercocok tanam, ia juga mewakafkan diri sebagai anggota Taruna Siaga Bencana (Tagana) Sulfatara Kabupaten Magelang. Setiap kali muncul bencana alam, ia siap ditugaskan di mana pun, termasuk di luar Jawa.
Tak dimungkiri, upaya Solikan di tengah hegemoni pupuk kimia pabrikan sering mendapat cibiran. Meski demikian, ia tidak patah arang menjadi petani muda yang berani melawan zaman.
Achmad Solikan
Lahir : Magelang, 26 Desember 1988
Pendidikan :
- SD Giritengah 2 (lulus 2001)
- SMPN 2 Borobudur (lulus 2004)
- SMK Muhammadiyah 2 Borobudur (lulus 2007)
Pengalaman :
- Kerja di perusahaan kayu lapis di Malaysia (2008-2010)
- Kerja menjadi montir di bengkel (2010-2015)
- Kerja di peternakan ayam broiler di Sleman (2016-2017)
- Menggarap lahan perkebunan pepaya Pemkab Magelang (2017-2018)
Kegiatan : Anggota Taruna Siaga Bencana (Tagana) Sulfatara Kabupaten Magelang