Sejak belia, Imran Kudus (40) telah jatuh cinta dengan sejarah dan budaya tanah kelahirannya, tanah Buton.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·5 menit baca
Tumbuh di lingkungan Keraton Buton, Sulawesi Tenggara, membuat Imran Kudus (40) karib dengan budaya dan sejarah. Kegelisahan membawanya tekun mencatat dan membukukan berbagai dimensi kesejarahan, mulai dari tradisi, falsafah, hingga kuliner. Semua ia lakukan agar pengetahuan tetap terjaga dan generasi bisa semakin cinta budaya.
Duduk bersila di balai lawanalanto atau pintu gerbang utama Benteng Keraton Buton, Imran mengamati masakan yang disajikan. Rekannya, sang Chef Musdalifah (40) atau karib disapa Mama Aldo, mengambil piring satu per satu untuk disajikan di atas talam. Penyajian itu bagian dari dokumentasi kuliner yang diadakan ekspedisi Pusaka Rasa Nusantara.
”Dalam setiap haroa atau upacara peringatan hari keagamaan, cara penyajiannya pertama nasi ditaruh di tengah depan. Lalu, ayam nasu wolio masing-masing ditaruh di bagian kiri dan kanan. Ini untuk makan dua orang. Kalau satu orang beda lagi,” katanya di siang yang gerah di Baubau, Sulawesi Tenggara, Rabu (22/11/2023).
Pisang dan ubi goreng lalu diletakkan. Setelahnya adalah sejumlah kue manis dengan jumlah yang telah ditentukan. Sebelumnya, tidak lupa air minum dan air cuci tangan yang diletakkan dengan alas masing-masing. Tradisi makan ini dilakukan saat perayaan kebahagiaan. Saat perayaan duka, posisi makanan kembali berubah, termasuk jumlah dan jenis makanan.
Pada intinya, ia menjelaskan, penyajian santapan diletakkan di atas talam dari kuningan atau tala koeae. Untuk penyajian satu orang, makanan utamanya berbeda jumlah, juga penganan lainnya. Penyajian satu orang dikhususkan bagi pejabat tinggi di lingkungan keraton.
”Cara makannya juga harus sesuai urutan. Yang pertama adalah makanan berat dulu, baru kemudian makanan penganan, termasuk kue. Kalau ada masakan lain, itu sebagai pelengkap dan tidak masuk di dalam satu talam khusus tadi,” katanya.
Menurut Imran, tradisi ini masih terus dijaga dan diteruskan hingga saat ini, utamanya di lingkungan Keraton Buton. Hal ini menjadi upaya untuk menjaga kelestarian budaya dari sisi kuliner dan tradisi.
Akademisi dari Universitas Muhammadiyah Buton ini fasih menjelaskan tata cara makan dalam acara adat di Kesultanan Buton. Tidak hanya itu, ia paham akan sejarah, pembuatan makanan, dan detail kecil dalam prosesi adat. Bahkan, ia mampu menjelaskan resep makanan dengan tuntas.
Sejak beberapa tahun lalu, ia memang melakukan pencatatan resep tradisional Buton. Ia mendatangi para tetua, menyalin dengan tekun, mendengarkan sejarah dan cerita, serta mencatatnya secara lengkap. Ia juga mendatangi orang yang tahu akan resep dan cara memasak, lalu memintanya menunjukkan proses memasak.
Semua hal itu ia catatkan dalam buku Kuliner Tradisional Buton yang bekerja sama dengan Pemerintah Kota Baubau. Dalam buku tersebut, tersaji puluhan resep masakan, aneka makanan pokok, berbagai macam bumbu, dan penganan. Buku tersebut juga menceritakan proses dan tata cara penyajian.
Tidak mengherankan ia bisa menuturkan berbagai macam resep hingga bumbu masakan secara lancar, termasuk juga karakter masakan serta pertautannya dengan sejarah panjang Kesultanan Buton. Masakan tradisional Buton secara garis besar kental dengan rasa gurih kelapa dan asam. Hampir setiap masakan utama di wilayah ini memakai kelapa sangrai.
Nasu wolio, misalnya, yang wajib dalam setiap acara, menampilkan bau harum kelapa dan sedikit asam sehingga membuat bau masakan ini tidak begitu menyengat. Namun, saat disantap, gurih kelapa membaur dengan bumbu sederhana. Ayam kampung muda yang telah dibakar sebelum dimasak membawa nuansa rasa tersendiri.
Kelapa sangrai serupa biang bumbu untuk berbagai masakan utama. Rasa kelapa yang khas dan hangus memberi ”nyawa” dalam makanan. Hampir setiap masakan, baik untuk upacara adat maupun yang diwariskan bergenerasi, memakai kelapa tersebut.
Sementara itu, rasa asam diperoleh dari berbagai bumbu. Mulai dari asam jawa yang disebut asam keraton. Sebab, asam ini tumbuh di lingkungan keraton dan dianggap memiliki rasa asam yang sedikit berbeda. Juga ada katapi (kecapi), tangkurera atau belimbing wuluh, jeruk nipis, hingga rasa asam dari mangga.
”Karakter masakan di Buton sederhana dan tidak banyak menggunakan rempah. Meski wilayah ini jalur pelintasan perdagangan rempah, masyarakat tetap mengandalkan tanaman yang banyak tumbuh di sekitar dan mengolahnya menjadi makanan,” ujarnya.
Giat mencatat
Upaya mencatat dan mendokumentasikan sejarah dan budaya tanah kelahirannya tidak muncul tiba-tiba. Imran bercerita, sejak kecil ia rutin mendengarkan cerita, melakoni prosesi adat, memakan masakan dari nenek dan orangtua, memakai pakaian adat, serta hidup di lingkungan Keraton Buton. Semua itu membentuknya hingga saat ini.
Keresahannya mulai muncul saat ia kesulitan menemukan literatur terkait beberapa aspek kesejarahan Buton. Ia pun mulai mencatat dengan tekun dan mewawancara banyak orang. Kebiasaan mendokumentasikan detail itu bahkan telah ia lakukan sejak duduk di bangku kuliah.
”Saya memang kuliahnya eksakta. Sampai sekarang juga mengajarnya fisika. Namun, kecintaan terhadap budaya dan sejarah itu tidak akan hilang,” ujarnya.
Suasana kompleks utama Keraton Buton, Baubau, Sulawesi Tenggara, difoto dari udara pada Sabtu (28/5/2022). Keraton Buton yang menyimpan nilai sejarah tinggi dan menjadi lokasi wisata utama di kota ini.
Buku kuliner hanya satu dari sekian karya dari Imran. Sebelumnya, ia telah membuat buku terkait pakaian tradisional Buton pada 2016. Beberapa tahun setelahnya, pada 2019, ia kembali mencatat terkait kerajinan tradisional Buton. Terakhir, pada 2021, ia menerbitkan buku tradisi adat kasambu-sambu.
”Tahun lalu kami riset terkait rumah tradisional Buton. Rencananya paling lambat tahun depan sudah terbit bukunya,” katanya semringah.
Lebih jauh lagi, buku pertamanya terbit pada 2013. Saat itu, ia menulis buku berjudul Kota Baubau Sepenggal Negeri Seribu Benteng. Total ia telah menulis 11 buku yang semuanya berlatar budaya dan sejarah Buton. Dua buku dalam penerbitan.
Menurut Imran, keinginannya untuk mencatat dan menulis terus tumbuh sebagai wujud pelestarian dan dokumentasi budaya. Hal itu menjadi hal yang terus diwariskan kepada generasi selanjutnya.
Tidak hanya itu, saat ini ia telah melihat banyak pergeseran budaya dan tradisi di masyarakat. Melalui dokumentasi dan pencatatan, berbagai pergeseran yang terjadi bisa dikembalikan pada prosesi adat yang diwariskan.