Suhaimi, Menjaga Adat Osing Sambil Merangkul Zaman
Bagi Suhaimi, kemajuan zaman harus diikuti. Jika tidak, orang Osing Kemiren senantiasa ketinggalan.
Suhaimi sadar benar, modernitas tidak bisa dihindari, tetapi modernitas perlu dikelola agar tidak menggerus tradisi budaya yang telah lama mengakar. Sesepuh komunitas Osing Kemiren itu mengambil jalan tengah: menjaga tradisi sekaligus merangkul tuntutan zaman.
”Sifat masyarakat Osing Kemiren itu lentur. Kami menjaga adat, tetapi juga adaptif dengan perubahan yang membawa kebaikan," tutur Suhaimi (64) yang menjabat Ketua Lembaga Adat Osing Kemiren, Desa Kemiren, Banyuwangi, Jawa Timur, Jumat (17/11/2023).
Malam itu, ia baru saja selesai memimpin ritual selamatan. Ketika doa selesai didaraskan dan aneka menu selamatan habis disantap, ia mulai bercerita. Selamatan itu bagian penting dari kehidupan orang Osing. ”Setiap warga yang punya keinginan atau hajatan selalu mengawalinya dengan slametan. Kami percaya dengan doa dan slametan apa yang diharapkan bisa terwujud. Slametan juga menjadi wujud dari sedekah dan berbagi kepada sesama,” ujarnya.
Sebagai ketua lembaga adat, Suhaimi bertanggung jawab memimpin pelaksanaanselamatan dan aneka ritual adat. Yang utama adalah ritual tahunan ider bumi. ”Hampir setiap hari saya keliling untuk memimpin slametan di desa ini.”
Tidak hanya memimpin ritual, ia juga mesti menjelaskan filosofi hidup orang Kemiren pada generasi yang lebih muda. Dengan begitu, pengetahuan tentang adat bisa diturunkan secara lisan. ”Sekarang saya meminta anak-anak muda untuk menuliskan semua pengetahuan itu. Saya khawatir jika nanti tidak ada yang bisa menjelaskannya lagi (secara lisan), pengetahuan itu akan hilang,” ujarnya.
Secara garis besar, lanjut Suhaimi, konsep hidup orang Osing bertumpu pada keselarasan hubungan antara manusia, alam, dan Tuhan. Hubungan antara manusia dan Tuhan diwujudkan dalam bentuk rasa syukur atas kehidupan yang diberikan.
Hubungan antarmanusia diwujudkan dengan konsep tolong menolong atau lung-lungan. Di Kemiren, pasangan suami-istri yang tidak punya anak biasanya mengambil anak dari saudara. Contoh lain, jika warga mengadakan hajatan, tetangga pasti membantu. ”Di sini, orang bisa hajatan dengan modal 20 kilogram beras. Selesai hajatan malah bisa dapat berton-ton beras,” tambah Suhaimi.
Baca juga: Sejumput Makanan dan Ketenangan Hidup Orang Osing
Sementara itu, hubungan dengan alam diwujudkan dengan menjaga kelestarian lingkungan. Di Kemiren, warga menanam hampir semua kebutuhan yang mereka makan sehari-hari di kebun, pekarangan, dan sawah. Hanya sedikit yang dibeli dari pasar.
Suhaimi berani mengatakan, hampir tidak ada warga yang kelaparan di Kemiren. Tidak pula hidup berlebihan. ”Yang kekurangan pasti dibantu. Yang penting buat orang Kemiren itu ketenangan dan ketenteraman,” ujar Suhaimi.
Konsep hidup orang Kemiren disimbolisasikan dalam banyak hal, termasuk lewat menu-menu ritual dan selamatan seperti tumpeng serakat, pecel pithik, nasi golong, dan jenang abang. Pengetahuan tentang bahan-bahan, prosesi masak, dan cara penyajian menu-menu ritual dikuasai kaum ibu. Sementara, kaum laki-laki menguasai tata laksana ritual dan filosofinya.
Wisata budaya
Suhaimi diangkat sebagai Ketua Lembaga Adat Desa Kemiren sejak 2015. Saat itu, pariwisata mulai digalakkan di desa yang luasnya sekitar 177 hektar itu. Pada saat yang sama, Desa Kemiren mulai sering diteliti dan diobservasi.
Sesepuh Desa Kemiren pun bingung harus mengarahkan para peneliti kepada siapa. Akhirnya dibentuk lembaga adat dan seorang ketua yang memahami adat istiadat Osing Kemiren dan filosofinya.
Seiring berkembangnya pariwisata, lembaga adat punya peran tambahan, yakni memastikan kegiatan pariwisata tidak menggerus adat dan tradisi budaya Osing Kemiren. ”Kami menerima pariwisata asalkan mengikuti aturan (adat),” ujar Suhaimi yang sehari-hari mencari penghasilan dari usaha batik kemiren.
Oleh karena itu, pariwisata yang dikembangkan di Kemiren adalah pariwisata berbasis tradisi budaya. Dengan begitu, pariwisata tidak akan merusak tradisi, melainkan memperkuat. Tradisi yang hampir punah bahkan bisa dihidupkan lagi berkat adanya pariwisata.
Kami sadar Kemiren itu tidak punya destinasi wisata, tapi punya tradisi budaya kuat, yang tidak ada di tempat lain. Orang bisa mengalaminya di sini
”Kami sadar Kemiren itu tidak punya destinasi wisata, tapi punya tradisi budaya kuat, yang tidak ada di tempat lain. Orang bisa mengalaminya di sini," tambah Suhaimi yang pernah bekerja sebagai pembuat mebel.
Meski begitu, adat kadang mesti berhadapan dengan tuntutan kegiatan pariwisata. Banyak tamu, misalnya, penasaran ingin mencicipi pecel pithik. Padahal, menu itu hanya disajikan saat ritual atauselamatan. Lembaga adat, lanjut Suhaimi, akhirnya memberi jalan keluar: pecel pithik boleh dijadikan menu di luar untuk kepentingan ritual asalkan prosesi memasak dan cara penyajiannya dibedakan.
Pecel pithik untuk keperluan ritual, sesuai pakem, harus dimasak oleh perempuan yang telah menopause. Ketika memasak, tidak boleh dicicipi. Ayam harus dimasak dalam bentuk ingkung (utuh). Kemudian disajikan utuh dalam ritual dan didoakan. Setelah doa selesai didaraskan, ingkung baru boleh dipotong-potong dan disantap bersama.
Baca juga: Anak muda menjaga budaya Kemiren
Untuk kebutuhan sehari-hari, ayam tidak boleh disajikan utuh, melainkan harus dipotong-potong terlebih dahulu. Yang memasak boleh siapa saja. Begitulah cara orang Kemiren menjaga adat sekaligus merangkul tuntutan pariwisata.
Suhaimi sadar benar, kemajuan zaman harus diikuti. Jika tidak, orang Osing Kemiren yang berpenduduk sekitar 3.000 jiwa itu akan ketinggalan. Ia mencontohkan, sejak tahun 1980-1990-an, kaum perempuan didorong untuk sekolah seperti laki-laki. Hasilnya, kini banyak perempuan Kemiren yang pendidikannya tinggi.
Sebagai ketua adat sepuh, Suhaimi menyerahkan urusan pelestarian adat dan kegiatan pariwisata kepada anak-anak muda Kemiren, termasuk dengan memanfaatkan teknologi digital. Ia percaya sepenuhnya kepada anak muda karena mereka masih menjalankan adat dan takut pada karma.
”Saya ingin desa ini maju sebagai desa wisata, tapi jangan meninggalkan adat. Saya selalu katakan, adat jangan sekadar jadi tontonan, tetapi tuntutan," katanya.
Suhaimi lantas mengutip pesan-pesan leluhur dalam bahasa Osing, "Isun sing njaluk balesan teko anak putu isun. Mung isun pengen anak putu njogo tinggalan isun termasuk budaya, tanduran (saya tidak meminta balasan pada anak cucuku, tapi saya ingin anak cucu menjaga peninggalan saya termasuk budaya, tanaman/alam."
Suhaimi
Lahir: Kemiren, 30 Oktober 1959
Pendidikan: lulusan SMA
Jabatan: Ketua Lembaga Adat Osing Kemiren