Tidak semua anak muda peduli pada seni tradisi dan adat budaya. Namun, di tangan anak-anak muda Desa Kemiren, Banyuwangi, teknologi digital dipakai untuk ”menyelamatkan” seni tradisi agar tidak punah termakan zaman.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·4 menit baca
Adalah Edy dan Fikri, dua tokoh generasi muda di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Mereka menjadi motor penggerak keterlibatan anak-anak muda Kemiren dalam pelestarian seni budaya. Edy adalah Daya Desa, sedangkan Fikri adalah Daya Warga. Keduanya diberi amanah oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menjadi penggerak budaya di desanya sejak tahun 2021.
Daya Desa dan Daya Warga adalah penggerak pemajuan kebudayaan di desa pada level desa dan warga. Pada tahun pertama, keduanya bertugas memetakan seni budaya potensial di desanya. Saat itu terpilih seni angklung paglak Kemiren. Angklung paglak adalah musik sejenis angklung yang dimainkan di atas gubuk bambu setinggi 3-4 meter.
Pemetaan di sini adalah mencari seniman sekaligus memetakan gending dan berbagai hal terkait seni angklung paglak. Setelah dirasa cukup, Edy dan Fikri pada tahun 2021 itu juga merekam pentas angklung paglak, baik secara audio maupun video.
”Ketakutan kami waktu itu untuk segera merekam angklung paglak adalah kalau tidak direkam dan tak ada yang meneruskan, seni budaya ini bisa punah. Karena senimannya sudah mulai sepuh-sepuh. Harapannya, setelah direkam dan didokumentasikan, kesenian ini nanti bisa diajarkan kepada anak-anak Kemiren,” kata Edy.
Masih di tahun yang sama, generasi penerus Desa Kemiren itu juga merekam tabuhan bonang dan gandrung Kemiren. Mereka berhasil mendata dan mendokumentasikan 40 pelaku seni budaya di Kemiren. Semua direkam secara audio dan visual.
Selama dua bulan pandemi, mereka akhirnya bisa ”menyelamatkan” 20 gending angklung paglak, 9 gending tabuhan bonang, dan gandrung Kemiren. ”Harusnya masih banyak lagi gending-gendingnya, tapi saat itu yang bisa kami dokumentasikan itu,” kata Edy yang mengaku mereka mendatangi satu per satu rumah pelaku seni budaya di Kemiren untuk bisa mendokumentasikan mereka.
Kemudian, pada tahun 2022, dengan proses yang tidak jauh berbeda, mereka berhasil mendokumentasikan barong. Satu per satu seni budaya Kemiren pun tersimpan secara digital.
”Dari dokumentasi itu, kami bisa menjadikannya bahan belajar. Kini, di barong ada tiga anak muda yang bisa meneruskan bermain. Di angklung paglak ada tiga orang. Ketiganya adalah pelaku-pelaku kunci. Di gandrung belum ada. Semoga nanti semua ada penerusnya,” kata Edy yang juga bermain alat musik saron.
Anak-anak muda pun mulai menyebarkan kegiatan mereka belajar seni budaya Kemiren di akun-akun media sosial. Bahkan, tiap ada kegiatan seni budaya di Kemiren, banyak youtuber dari luar desa turut datang memanfaatkannya untuk dijadikan konten. Akhirnya, budaya Kemiren sebagai bagian dari budaya Banyuwangi semakin dikenal luas.
Selain mendokumentasikan seni budaya Kemiren, anak-anak muda itu juga membuat paket-paket wisata memanfaatkan potensi di Kemiren. Tujuannya satu, desa mereka kian dikenal dan masyarakat bisa mendapatkan manfaat dari sana.
Tentu saja hal itu mudah dilakukan karena Edy, Fikri, dan anak-anak muda lain yang terlibat berada dalam satu kelompok sadar wisata (pokdarwis), yaitu Pokdarwis Kencana.
Beberapa paket wisata dibuat, misalnya paket diarak barong, minum teh dan makanan tradisional, hingga cerita Kemiren. Ada juga paket sambutan barong, gandrung, jaran goyang, dan makan kuliner khas pecel pitik. Untuk wisatawan mancanegara, biasanya mereka menyukai paket wisata kelas memasak, belajar menari, dan lainnya. Tentu saja, mereka tidak akan melewatkan mempromosikan kegiatan utama di Kemiren, yaitu ider bumi dan tumpeng sewu.
”Dalam acara-acara ini, anak-anak muda berusaha dilibatkan jadi panitia. Agar mereka ada rasa bangga dan tidak malu dengan adat tradisi mereka sendiri. Jika dahulu kami mungkin masih malu-malu dan tidak PD (percaya diri) mengenakan baju adat dan udeng (ikat kepala), kini semua bangga mengenakan baju adat itu. Semua bangga bahwa adat budaya Kemiren yang luar biasa ini bisa diakui banyak orang,” kata Fikri menambahkan.
Kerja keras pokdarwis untuk memopulerkan seni budaya Osing Kemiren tidak sia-sia. Tahun 2023, mulai Januari-September, omzet untuk pokdarwis di sana mencapai Rp 500 juta. Untuk desa seluas 177 hektar, dengan warga berjumlah 1.100 keluarga (sekitar 3.000 orang), nilai tersebut cukup besar.
”Saya percaya bahwa jika digarap serius, desa ini bisa memberikan masa depan cerah bagi warganya. Anak-anak muda tidak perlu mencari kerja di luar, tapi bisa hidup di sini. Namun, memang semua butuh proses dan kerja keras bersama,” kata Edy menimpali.
Edy dan Fikri berharap masyarakat Kemiren bisa menjadi raja/pangeran di desanya sendiri. Bisa memanfaatkan potensi di sini untuk hidup ke depan.
”Tantangannya kami lihat dari internal sendiri. Bagaimana kami mewujudkan tata kelola di desa dengan lebih baik, mewujudkan kerja sama yang baik, dan manajemen lintas institusi. Tidak bisa anak muda jalan sendiri tanpa aturan dan meninggalkan pemerintah desa. Begitu pun, tak bisa desa memaksakan keinginannya sendiri. Tidak bisa maju dengan jalan sendiri-sendiri. Mau maju bersama, ya harus jalan bareng, mencapai tujuan bersama-sama. Bekerja sama dan koordinasi dengan baik,” kata Edy.