Thresia Mareta, Sekeping Hati Berhias Batik
Thresia sadar, para artisan batik itu bersedia diajak karena alasan ekonomi, namun mereka tidak punya cukup kuasa ketika diperlakukan secara tak seharusnya.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F30%2F0f9294ef-f8b4-4964-a52e-fb2ca91eec46_jpg.jpg)
Thresia Mareta
Batik adalah kenangan indah bagi Thresia Mareta. Batik kemudian hinggap di hatinya dan menjadi motif atas kreasinya belakangan ini lewat Lakon Indonesia dan Pintu Incubator. Dia membayangkan perajin alias artisan batik sejahtera dan budaya Nusantara dikenal dunia.
Hari menjelang sore dan kemacetan Jakarta sedang aduhai. Ini yang membuat pertemuan kami tertunda hampir satu jam. Thresia muncul berbaju batik garis merah putih dengan aksen garis tipis hitam. Senyumnya mempermanis busananya.
Kami mengobrol di pojok sebuah kafe sambil mengudap singkong goreng dan lumpia. Thresia membuka percakapan dengan mengungkapkan kesibukannya hari-hari ini. Obrolan yang hangat karena banyak tawa, tetapi kadang serius dan adakalanya menjebak kami dalam sedu sedan.
Thresia sedang sibuk menyiapkan empat jenama untuk dikirim ke Paris guna mengikuti Trade Show di Premiere Classe, Jardin des Tuileries. Ini merupakan gelaran sampingan dari Paris Fashion Week. Meski demikian, gengsi dan gaungnya cukup menjanjikan. Misalnya, pada Trade Show sebelumnya, lima jenama yang diusung Thresia dan kawan-kawan lewat Pintu Incubator dapat memasarkan produk mereka bersama dengan 350 jenama lain dari seluruh dunia di Paris. Pembelinya pun dari banyak negara, seperti Belanda, Jerman, Jepang, dan Korea Selatan.
Baca juga : Lakon Indonesia Menembus Jantung Mode Dunia
Perwakilan dari empat jenama kali ini juga telah melewati kurasi dan seleksi ketat di Pintu Incubator. Maklum, dia salah satu pendiri Pintu Incubator, program yang digagas Kedutaan Besar Perancis melalui Institut Francais d’Indonesie (IFI), JF3, dan Lakon Indonesia. Bisa dibilang, ini program bilateral untuk mewadahi anak-anak muda kreatif, baik Indonesia maupun Perancis. Harapannya, lewat Pintu Incubator, jenama-jenama Tanah Air bisa berkibar di kancah internasional.
Secara singkat, upaya Thresia ini sebentuk langkah membangun ekosistem batik. Dia merawat wilayah hulu dan mengembangkan sampai hilir, yakni para pembeli.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F30%2F92442808-d70a-4f9c-a711-30750055a259_jpg.jpg)
Thresia Mareta
Sebagai pencinta batik berikut budaya dan penggeraknya, Thresia tak bisa melakukannya sendiri. Oleh karena itu, dia membuka pintu selebar-lebarnya kepada pemilik jenama-jenama lain yang seide untuk bergerak bersama.
Pendirian Pintu Incubator, kata Thresia, antara lain dipicu oleh kebiasaan orang Indonesia yang kurang membangun. Dia memberi gambaran orang-orang Indonesia lebih memberi panggung kepada orang-orang yang lihai dari sisi pemasaran dan bicara, tetapi tak pernah mengecek bukti nyata dari yang dipasarkan atau diomongkan itu. Tak satu dua yang begitu dicek betulan ternyata zonk alias ada unsur pemutarbalikan atau pemalsuan fakta. Ini lantas memunculkan ketidakpercayaan publik, terutama publik global.
”Makanya dunia luar itu, setelah kami jalani, banyak pintu terbuka karena kami bisa dipercaya dan pembuktiannya ada. Konsistennya ada,” ujarnya.
Di Pintu Incubator, yang ditekankan antara lain pentingnya kesinambungan dan kesiapan dalam membuat produk. Mereka harus siap memenuhi kapasitas order. Selain itu, identitas keindonesiaan dan gaya (style) yang menjadi ciri khas. Mereka juga didorong untuk menampung komoditas hasil karya tangan perajin, baik wastra secara umum maupun batik secara khusus.
Nah, batik menjadi titik berangkat untuk manggung di Paris karena daya tariknya besar. ”Kalau ke luar negeri, identitas paling legit kan batik, enggak dimiliki negara lain,” katanya.
Pemberdayaan
Namun, sebenarnya ada alasan yang lebih mendasar daripada itu. Thresia berkisah, pada suatu hari dia mendapat kabar tentang para perempuan pembatik yang mengalami rabun dan beberapa di antaranya nyaris tak bisa melihat setelah perempuan sekampung itu dikirim ke negara lain untuk mengerjakan batik. Kabar yang Thresia terima, mereka dipekerjakan dari pagi sampai malam tanpa penerangan yang cukup sehingga merusak mata.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F30%2F3f5abed5-0749-419a-b6f6-18f0209fedc2_jpg.jpg)
Thresia Mareta
Thresia sadar, para artisan batik itu bersedia diajak karena alasan ekonomi, tetapi mereka tak punya cukup kuasa ketika diperlakukan secara tak semestinya. ”Sebagai orang Indonesia, saya merasa terhina. Itu keterlaluan,” kata Thresia dengan suara bergetar dan mata berkaca-kaca.
Cerita itu mendorong Thresia untuk berbuat sesuatu yang kemudian melahirkan jenama Lakon Indonesia. Tujuan utamanya adalah memberdayakan perempuan-perempuan pembatik di kampung-kampung di Indonesia. Dia menyusuri gang-gang di Cirebon, Garut, Klaten, Pekalongan, Yogyakarta, Surabaya, sampai Madura untuk mencari pembatik. Dia menemui dan melihat cara kerja mereka langsung sehingga dia tahu betul kondisi rumah dan kampung para artisan batik itu. Dari tangan-tangan terampil perempuan desa yang rumahnya sulit bahkan tak bisa dilacak Google Maps, itu, karya-karya Lakon Indonesia tercipta. Thresia menghindari mencari pembatik yang sudah punya toko karena tujuannya memberdayakan artisan yang sulit cari pasar.
Baca juga : Program Inkubasi Mode Pintu Mencari Talenta Baru
Sekarang setidaknya sudah ada 300 artisan batik dalam jejaring Lakon Indonesia. Mereka bekerja dalam kelompok-kelompok berbeda dan dikoordinasi oleh ketua 15 kelompok. Thresia bersama timnya tidak sekadar memberi saluran distribusi bagi batik-batik itu. Dia juga mengajari mereka manajemen keuangan, cara menghadapi klien, sampai tentang sopan santun.
Suatu hari ada salah satu artisan batik menanyakan alasan pemotongan bayarannya lewat Whatsapp. ”Sopan santun di mana? Enggak pakai selamat pagi, selamat siang,” balas Thresia.
”Maaf, Bu. Selamat siang,” jawab artisan batik itu.
Lewat peristiwa kecil itu, Thresia ingin mengajarkan tentang etika berbisnis dan menjaga relasi. Lebih jauh, dia berusaha menawarkan penguatan mental. Sebab, selama ini mereka menilai diri sebagai orang miskin yang tak punya keahlian lain selain membatik dengan bayaran tak seberapa.
Thresia memberi kesadaran bahwa keterampilan membatik itu mahal dan karena itu harus bangga. Lewat pemberdayaan ini, Thresia bermimpi para artisan batik mendapatkan penghasilan yang layak dan akhirnya terbangun persepsi bahwa membatik itu menyejahterakan sehingga generasi muda tak perlu mencari uang ke kota atau negeri orang. Cukup di rumah.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F30%2Fb770a8a1-890d-4384-8e4c-130832022bdc_jpg.jpg)
Thresia Mareta
Thresia amat bahagia ketika ada salah satu ketua kelompok pembatik menanyakan cara membeli tanah. Dia telah menerapkan manajemen keuangan yang diajarkan Thresia. Biasanya, mereka rajin sekali menghabiskan uang begitu bayaran. Kali ini mereka mulai menabung. Bagi Thresia, ini sebuah keberhasilan awal yang kelak menular kepada yang lain.
Berbelok
Thresia seorang arsitek yang kemudian menggeluti dunia ritel dengan posisi amat nyaman. Dia mengurus pusat perbelanjaan sejak tahun 2014. Namun, dia memilih berbelok ke batik dan membela para artisan batik yang sebagian besar adalah perempuan itu. Pertama, karena dia melihat tantangan di toko terlalu kecil, hasilnya mudah ditebak. Kedua, sejak belia dia sebenarnya ingin menggeluti fashion.
Waktu duduk di bangku sekolah dasar, Thresia sudah punya baju untuk boneka Barbie-nya. Baju itu dia buat sendiri. Ibunya yang seorang penjahit turut memberi pengaruh terhadap kecintaan Thresia pada rancangan baju ini.
Ketika duduk di kelas III sekolah dasar, pas pelajaran agama bagian sejarah, Thresia malah sibuk menggambar dan menempeli buku tulisnya dengan aneka gambar baju mungil yang dia bawa dari rumah. Dia tidak mencatat karena merasa cukup bagus mengingat cerita gurunya itu.
Asyik menggambar, gurunya datang dan mendapatinya tidak mencatat. Bisa ditebak, Thresia dihukum berdiri sambil pegang kuping di depan kelas. Baginya, itu pengalaman lucu yang juga menggambarkan betapa pada usia sedini itu dia sudah suka rancangan baju dan batik.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F30%2F80d25e37-c0eb-4867-9e57-fa7368d28c50_jpg.jpg)
Thresia Mareta
Kecintaan terhadap batik itu pun lahir dari kebiasaan orangtuanya. Papanya kerap tiba-tiba mengajak sekeluarga untuk jalan-jalan ke luar kota, seperti Yogyakarta, Sukabumi, Bali, dan Lampung, serta kerap kali mampir di pasar batik atau sentra-sentra pembatik. ”Saya jadi lihat perjalanan itu, enggak tahu gimana, sejak kecil saya seneng cium bau batik,” ungkap Thresia mengenang masa-masa awal jatuh cinta dengan batik.
Dia juga diajak masuk ke gang-gang di Solo dan Yogyakarta untuk melihat para artisan batik bekerja. Di sana dia menyaksikan proses dari awal sampai akhir. Semua proses itu berikut aroma dan suasana kampung batik terekam sebagai jejak perjalanan hidup penuh cinta.
Dari situ dia bisa membedakan kualitas batik karena pernah mendapatkan penjelasan atau menangkap dengar penjelasan itu ketika pedagang batik menjelaskannya kepada calon pembeli. Pelan-pelan batik menguasai hatinya dan menjadi cinta. Bisa diibaratkan, pengalaman indah masa belia itu telah menjadikan hati Thresia berhias batik.
Ketika dewasa dan mempunyai keleluasaan memilih, Thresia kemudian meluapkan cintanya itu lewat Lakon Indonesia yang, antara lain, ingin melanggengkan tangan-tangan artisan batik. Dia tak ingin tangan-tangan itu hilang bersama dengan masa. Perlu ada regenerasi. Nah, dengan makin berharganya keterampilan tersebut, semoga banyak anak muda tak enggan menjadi pembatik.
Biodata
Nama: Thresia Mareta
Lahir: Palembang, 12 Maret 1977
PENDIDIKAN
1983-1989 : SD Tarakanita IV
1989-1992 : SMP Tarakanita IV
1992-1995 : SMA Tarakanita II
1995-1999 : Jurusan Arsitektur Universitas Tarumanagara
KARIER
2000-2003 PT Vinoti Grahasarana (Sales & marketing furnitur impor: kursi, workstation, dan karpet)
2003-2018 Mendirikan Sequins Bridal House
2011-2012 Membangun Gedung TK Sekolah Terpadu Pahoa (Project Director)
2013-2022 PT Star Maju Sentosa (Managing Director Star Department Store)
2018-sekarang Mendirikan ekosistem Lakon Indonesia
2021-sekarang Advisor JF3 Fashion Festival
2022-sekarang Menginisiasi Pintu Incubator bersama dengan JF3 dan Kedutaan Perancis melalui IFI