Terima Kasih Gita Syahrani kepada Alam
Berawal dari didikan sang nenek untuk selalu berterima kasih kepada tumbuhan yang banyak berjasa bagi manusia, Gita Syahrani menjadi pegiat alam dan lingkungan.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F22%2F30ed31f0-f56b-46d7-83f6-b6e397aaec53_jpg.jpg)
Gita Syahrani, Pegiat lingkungan dan Kepala Sekretariat Lingkar Temu Kabupaten Lestari.
Berawal dari didikan sang nenek untuk selalu berterima kasih kepada tumbuhan yang banyak berjasa bagi manusia, Gita Syahrani (38) menjadi pegiat alam dan lingkungan. Ia menginisiasi kolaborasi multipihak untuk menjaga lingkungan sekaligus menyejahterakan masyarakat.
Di antara padatnya jadwal workshop dan meeting, Kepala Sekretariat Lingkar Temu Kabupaten Lestari tahun 2017-2023, Gita Syahrani meluangkan waktu bertemu. Disepakati pertemuan di sebuah gedung perkantoran di Jalan Pangeran Antasari, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada Sabtu (26/8/2023) sore.
Jalan Pangeran Antasari dikenal sebagai daerah perkantoran yang selalu ramai dan menjadi langganan macet. Setiap hari polusi dan suara kendaraan bermotor menjadi satu di sini.
Untungnya, tempat Gita berkantor memiliki pohon rimbun. Kehadiran pohon dan tanaman di antara ruang perkantoran itu menjadi oase di tengah kepungan beton bangunan Jakarta.
Sore itu, matahari bersinar amat terik. Duduk di bawah pohon cukup meneduhkan badan. ”Ngantor di sini enak, bisa bebas masuk-keluar. Kalau di gedung bertingkat seperti di (Jalan) Sudirman, masyarakat dari kabupaten yang kerepotan. Mereka enggak bisa masuk karena enggak punya (kartu) akses,” kata Gita, membuka pembicaraan.
Masyarakat kabupaten yang dimaksud Gita adalah anggota Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL), sebuah asosiasi pemerintah kabupaten yang dibentuk dan dikelola demi mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Asosiasi ini dibentuk pada 2017 ini memiliki sembilan anggota, yaitu Kabupaten Sintang, Siak, Gorontalo, Bone Bolango, Sanggau, Musi Banyuasin, Aceh Tamiang, Sigi, dan Kapuas Hulu. Mereka bergotong royong melestarikan alam sekaligusmemproduksihasil alam sesuai tujuan pemeliharaan hutan di wilayah tersebut.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F22%2F656d27fe-3250-4b2f-83cc-88adce605585_jpg.jpg)
Gita Syahrani
Prinsip lestari
Keterlibatan Gita pada asosiasi ini berawal dari pengalamannya bekerja sama dengan konsorsium perusahaan kelapa sawit. Konsorsium ini menaungi lima perusahaan besar di Indonesia. Dengan latar belakang hukum, Gita menyusun rencana kolaborasi berdasarkan komitmen nol deforestasi, nol gambut, dan nol eksploitasi(NDPE Principles).
Pengalaman kerja ini mengubah cara pandangnya. ”Dulu aku menganggap semua perusahaan besar pasti jahat. Ternyata, aku melihat upaya untuk bekerja dalam prinsip lestari,” jelas Gita.
Selain itu, Gita jadi mempunyai jaringan yang luas, terdiri dari pemerintah daerah dan pusat, perusahaan swasta, dan masyarakat sipil. Ia juga mendapatkan banyak keahlian baru, terutama terkait bagaimana bisa berperan sebagai perangkai gotong royong.
Baca juga: Terima Kasih Gita Syahrani kepada Alam
Dari interaksi dengan beberapa kepala daerah, ia memahami bahwa banyak kabupaten yang punya keresahan mengenai eksploitasi berlebihan di daerah mereka, terutama pada hutan dan lahan gambut yang dilakukan oleh perusahaan besar. Eksploitasi berlebihan ini telah menyebabkan bencana, seperti banjir dan kebakaran hutan. Di sisi lain, pemanfaatan sumber daya alam belum memberikan dampak yang signifikan bagi masyarakat.
Pengalaman menjadi perangkai gotong royong di antara perusahaan kelapa sawit memberi Gita keahlian untuk meyakinkan sejumlah bupati untuk membentuk LTKL. Gita bekerja sama dengan pemerintah kabupaten untukmenarik investasi guna meningkatkan daya saing dan menciptakan peluang bisnis dengan tujuan akhir mengurangi bencana dan krisis iklim.
Melalui LTKL, Gita membuat mekanisme agarkabupaten-kabupaten di Indonesia dapat terhubung dan berkolaborasidengan tenaga profesional, korporasi, organisasi masyarakat,jaringan pemuda, dan komunitas lokal. Mereka bergotong-royong melestarikan alam sekaligusmemproduksihasil alam sesuai tujuan pemeliharaan hutan di wilayah tersebut.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F22%2F8071d30c-1257-419a-bfd8-267248ea4a67_jpg.jpg)
Gita Syahrani
Duduk melingkar
Asosiasi ini dinamakan ”lingkar temu” karena dalam praktiknya semua anggota selalu duduk melingkar tanpa meja dan sekat. Dalam setiap sesi pertemuan, mereka menggali akar persoalan sekaligus berusaha mencari solusi konkret dari setiap masalah.
Adapun kata ”lestari” dalam kamus KBBI berarti tetap seperti keadaannya semula; tidak berubah; bertahan; kekal. ”Dengan kata itu, kami menjaga agar lingkungan digunakan sesuai fungsinya. Kalau ada fungsi produksi, ya tidak masalah. Kalau fungsinya konservasi, berarti harus dijaga,” ujarnya.
Gita menceritakan, ide duduk melingkar muncul dari anggota petani kelapa sawit di daerah Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Petani tersebut bercerita bahwa di desanya semua keputusan penting diambil oleh warga secara musyawarah. Warga duduk melingkar menghadap api unggun dan mendiskusikan persoalan.
Duduk dalam lingkaran memunculkan rasa setara, saling percaya, dan memiliki. Sebuah modal gotong royong yang amat berharga di tengah kompleksitas persoalan lingkungan di Indonesia. ”Mau main handphone juga tidak bisa karena kelihatan (oleh yang lain),” kata Gita.
Sebagai fasilitator, Gita mendengarkan, mencatat, menyiapkan metode, dan membangun jaringan untuk membantu kabupaten-kabupaten ini menyelesaikan masalah mereka.
Solusi konkret yang muncul dirumuskan di level kebijakan, perencanaan program dan kegiatan, tata kelola multi pihak, hingga aksi bersama. Gita kemudian menghubungkan kabupaten dengan pihak-pihak terkait yang dapat membantu menyelesaikan persoalan.
Gita menyebut perannya sebagai ”perangkai gotong royong”. ”Kalau fasilitator kan berarti hanya memfasilitasi suatu proses, sementara apa yang saya lakukan adalah menjaga upaya-upaya kolektif jangka panjang. Lebih dari sekadar memfasilitasi,” kata lulusan University of Dundee jurusan Climate Change and Energy Law and Policy tahun 2011 ini.
Gita bersama sembilan anggota LTKL telah sukses melakukan berbagai terobosan untuk memastikan pembangunan kabupaten berkelanjutan melalui gotong royong multipihak. Misalnya, seluas 76,744 hektar lahan gambut pada tiga desa di Siak telah dilindungi melalui entitas bisnis berkelanjutan. Selain itu, terdapat peningkatan pendapatan pada usaha berkelanjutan sebesar 10-150 persen dalam dua tahun melalui program yang difasilitasi LTKL. Berbagai capaian penting ini dicatat di laman LTKL, yaitu kabupatenlestari.org.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F22%2F6b5d137e-bf5e-48d5-b917-e4be95e661c5_jpg.jpg)
Gita Syahrani
Menyiram tanaman
Ketertarikan Gita pada isu lingkungan sudah terjadi sejak lama. Ketika masih kecil, ia terbiasa membantu nenek menyirami tanaman sambil mengucapkan kata-kata positif kepada tumbuhan. Hal itu dilakukan di rumahnya di Bandung, Jawa Barat, yang seperti hutan mini karena dikepung banyak tanaman. Pengalaman masa kecil ini membentuk kepeduliannya.
Dulu, Gita menganggap semua orang sama seperti dirinya dan keluarga yang peduli dengan alam. Betapa terkejutnya, ketika berusia lima tahun, ia melihat tukang becak berlaku kasar terhadap seekor anjing. Tukang becak itu menendang anjing untuk mengusirnya dari jalanan. ”Aku kaget, sampai sesak nafas dan menangis. Itu kesadaran pertamaku bahwa enggak semua orang sayang dengan hewan dan tumbuhan,” ujarnya.
Demi mengubah perilaku masyarakat, Gita kemudian tertarik untuk untuk menggeluti ilmu hukum. Dengan menciptakan regulasi, penikmat kehidupan biota bawah laut ini ingin mengubah perilaku masyarakat agar lebih ramah terhadap lingkungan. Ia kemudian memilih kuliah jurusan Hukum Lingkungan dan Hukum Internasional di Universitas Padjadjaran.
”Sebenarnya sempat terpikirkan untuk jadi psikolog juga, tetapi aku sadar enggak bisa matematika sehingga enggak bisa masuk kelas IPA,” katanya.
Baca: Siar Rendang Reno Andam Suri
Selepas kuliah, banyak orang memprediksi Gita akan bekerja di lembaga yang peduli pada isu lingkungan. Namun, Gita secara mengejutkan malah nyemplung di kantor hukum DNC (awalnya bernama Dermawan & Co) yang banyak mengurusi hukum bisnis.
Meskipun cukup menikmati pekerjaan ini, panggilannya terhadap isu lingkungan tidak bisa diabaikan. Setelah dua tahun bekerja, muncul kegelisahan karena pekerjaannya jauh dari elemen lingkungan. ”Aku jadi pengen resign. Begitu founder (perusahaan) tahu, dia langsung mengatakan, ’Wah, saya tidak menyangka kamu manja banget,’” kata Gita.
Ia berpikir keras kenapa Didi Dermawan, founder perusahaan tempatnya bekerja, menganggapnya manja. Rupanya, sang atasan ingin mendorong Gita mendapatkan klien sendiri apabila ia ingin mengerjakan hukum lingkungan.
Gita menjawab tantangan itu dengan mencari kliennya sendiri. Bekerja sama dengan senior-senior di kantor, Gita mendapatkan klien pertama dari kantor pemerintah yang sedang menyiapkan Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP) 2007di Nusa Dua, Bali. Sejak saat itu, Gita semakin dalam menggeluti ilmu hukum lingkungan.
Kalau sebelumnya ia menganggap regulasi adalah segala-galanya, kini ia menyadari ada faktor lain yang tak kalah penting, yaitu manusia. ”Kalau manusia tidak percaya dengan sistem, ya tidak mungkin dilakukan. Ini berarti ada pola pikir yang harus diubah,” katanya.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F22%2Febddb700-f7ff-48fb-a401-0721aa82153f_jpg.jpg)
Gita Syahrani
Pengalaman manis
Bekerja bersama LKTL membuat Gita bisa memadukan ilmu hukum dan juga mengupayakan perubahan pola pikir dan perilaku masyarakat. Di sisi lain, pekerjaan ini memberi Gita banyak pengalaman berharga. Misalnya, ia pernah mengunjungi hutan Ranjuri di Kabupaten Sigi.
Hutan ini penting karena berfungsi sebagai penyerap karbon dan pelindung masyarakat dari bencana alam. Mengingat banyaknya manfaat hutan, masyarakat bergotong royong melestarikan hutan Ranjuri. ”Saat melihat itu aku sadar, oh benar kata nenek aku. Banyak orang yang mencintai alam dan lingkungan. Makanya, kita harus bekerja sama agar tidak merasa sendirian,” katanya.
Secara personal, Gita juga sangat menyukai Kabupaten Donggala yang mempunyai banyak spot diving. ”Wah, di sana pemandangannya indah banget. Sebelum bergabung dengan LTKL, aku sudah sering bolak-balik untuk menyelam,” ujarnya.
Di berbagai pelosok Indonesia, Gita merasakan bahwa masyarakat Indonesia punya empati yang besar terhadap sesama dan lingkungan. Masyarakat mampu menggabungkan kepercayaan, nalar, perasaan, dan intuisi untuk menjaga alam. Misalnya, masyarakat percaya bahwa pohon dan tumbuhan menyimpan energi, bisa menangis, atau marah.
Kepercayaan itu membuat masyarakat berhati-hati terhadap alam. Pelanggaran terhadap alam dan lingkungan dipercaya membuat mereka marah. ”Terbukti kan ada pandemi. Kayanya alam memang sudah marah sama kita,” ujar Gita.
Masalah-masalah lingkungan, menurut Gita, tidak bisa diselesaikan oleh satu orang. Setiap orang harus mau bekerja sama. Dimulai dari mereka yang mau dan mampu. Langkah konkret ini diharapkan menular kepada lebih banyak orang lainnya. Dari situlah semangat gotong royong demi menjaga alam lestari dapat tumbuh dan berjalan berkesinambungan.