Siswoyo, Berjuang Mengurus Dokumen Kependudukan Warga Miskin
Saya bahagia karena bisa mengabdi pada masyarakat. Dengan begitu, saya merasa berguna sebagai manusia.
Tujuh tahun sudah Siswoyo (45) ikut memperjuangkan dokumen kependudukan, seperti akta kelahiran, kartu keluarga, KTP, dan buku nikah bagi warga miskin. Berkat jasanya, ribuan warga di pesisir Kabupaten Tangerang, Banten, terlindungi hak-hak sipilnya.
Terik matahari di kawasan Pantai Kiss, Pakuhaji, Kecamatan Surya Bahari, terasa seperti mencubit kulit. Siswoyo menyusuri gang-gang sempit perkampungan nelayan yang menguarkan bau solar dan amis ikan. Sepanjang perjalanan menuju Pantai Kiss dari jalan raya, sejumlah orang bergantian menyapa hangat Siswoyo.
”Kalau saya jalan-jalan ke desa-desa seperti ini, ada saja orang yang ngajak mampir, nawarin ngopi. Kalau semuanya diladenin bisa kembung perut saya,” ujar laki-laki berperawakan tegap dan berkulit gelap itu diiringi tawa, Selasa (22/8/2023).
Yoyo, begitu panggilan akrabnya, cukup dikenal di kalangan warga pesisir Tangerang. Maklum, sejak 2016, ia rajin blusukan ke desa-desa di Tangerang untuk membantu warga miskin mengurus dokumen kependudukan, mulai dari kartu keluarga (KK), akta kelahiran, KTP, buku nikah, sampai surat kematian secara gratis.
Baca juga: Rusman Effendi, Mendigitalkan Layanan Desa
Sampai saat ini, ujar Yoyo, banyak warga miskin di pesisir Tangerang yang kesulitan mengurus dokumen kependudukan. Salah satunya karena untuk mengurus dokumen, mereka mesti berhadapan dengan calo. Warga terpaksa mengeluarkan uang untuk mengurus dokumen yang mestinya gratis.
Belum lagi mereka mesti keluar uang puluhan ribu rupiah untuk transportasi ke Tigaraksa, ibu kota Kabupaten Tangerang. Kalau persyaratan kurang, mereka mesti bolak-balik ke sana.
”Mereka itu cuma nelayan atau petani kecil yang pendapatan seharinya paling lima puluh ribu. Duit dari mana?” ujar Yoyo.
Ada juga warga yang sama sekali tidak mengerti pentingnya dokumen kependudukan. Padahal, tanpa dokumen itu, hak-hak sipil mereka tidak terlindungi. Mereka tidak bisa ikut pemilu dan mengakses layanan publik, seperti pendidikan, BPJS, bantuan sosial, atau layanan pencatatan perkawinan.
”Banyak warga, termasuk keturunan cina benteng, yang nikah secara adat saja. Bahkan, ada yang suka sama suka langsung hidup bersama, lalu bikin selametan. Udah deh jadi suami istri. Enggak ada yang mencatat pernikahan mereka,” ujar Yoyo, yang berstatus sebagai sukarelawan Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI), sebuah lembaga yang mengadvokasi kewarganegaraan dan kepemilikan dokumen kependudukan untuk warga miskin sejak 2006.
Ketika mendatangi warga dari rumah ke rumah, Yoyo mesti mengedukasi warga terlebih dahulu soal pentingnya dokumen kependudukan. Setelah itu, ia membantu mereka mengumpulkan apa pun dokumen yang mereka punya dan membantu mengisikan aneka formulir.
”Banyak warga yang enggak punya KK. Kita urus itu dulu. Baru bisa bikin akta. Setelah ada akta, bisa bikin KTP atau buku nikah,” tambah Yoyo.
Yoyo bersama IKI juga membuatkan acara nikah massal agar pernikahan warga yang dilakukan di bawah tangan bisa diresmikan oleh negara. Setidaknya acara nikah massal sudah empat kali digelar di Desa Kedaung, Sepatan Timur, Panongan, dan Curug. Sekali nikah massal bisa diikuti 50 pasangan. Biayanya ditanggung IKI.
”Sebagian besar peserta sudah bertahun-tahun jadi suami istri, tetapi enggak pernah punya buku nikah,” lanjut Yoyo.
Setiap bulan sejak 2016, Yoyo mengurus setidaknya 50 akta kelahiran. Belum lagi dokumen kependudukan lainnya, seperti KTP, KK, akta kematian, dan buku nikah. Setelah tujuh tahun, jumlah totalnya bisa ribuan. Semuanya gratis berkat kerja sama antara IKI dan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Tangerang.
Meski demikian, niat baik kerap dihadang cobaan. Yoyo menceritakan, di awal-awal ia mesti berhadapan dengan kawanan calo. ”Mereka menjelek-jelekin saya dan relawan lainnya di lapangan. Alhamdulillah saya bergaul di kecamatan dan kelurahan. Jadi, semua bisa jalan. Banyak yang dukung juga,” tuturnya.
Mereka bahkan ada yang melaporkannya ke polisi dengan tuduhan menarik uang pungli. ”Saya sempat dipanggil polisi dan diperiksa. Tapi, tuduhan itu gugur karena enggak ada bukti.”
Yoyo juga pernah dimanfaatkan sejumlah calon kepala desa. Mereka meminta Yoyo menguruskan akta kelahiran warga. ”Ternyata itu dipakai untuk cari massa. Setelah akta jadi, mereka pakai untuk mendapat dukungan dalam pemilihan kepala desa. Padahal, kami enggak tahu apa-apa soal itu,” cerita Yoyo.
Balas dendam
Yoyo lahir dan besar di kampung nelayan Surya Bahari. Ayahnya bekerja sebagai tukang bangunan dengan penghasilan rendah. Itu sebabnya, sejak usia SMP, ia menjadi nelayan agar bisa membiayai sekolahnya sendiri dan membantu adik-adiknya.
”Saya melaut mulai sore. Pagi pulang, lalu istirahat. Siang sekolah. Begitu terus sampai lulus SMP.”
Saat SMA, dia membiayai pendidikannya dari hasil kerjanya sebagai kernet mobil dan kuli panggul di pelelangan ikan. Hidupnya yang berat baru bisa sedikit ringan setelah ia lulus SMA dan diterima kerja sebagai tenaga keamanan di Bandara Soekarno-Hatta. Tetapi, penghasilan yang lebih besar sempat membuatnya lupa diri.
”Saya dendam pada kehidupan saya yang miskin. Saya ingin merasakan kegiatan orang-orang kaya. Nginap di hotel, makan di restoran. Akhirnya gaji saya habis, enggak ada tabungan sama sekali setelah kerja delapan tahun,” tuturnya.
Baca juga : Bayu Satria, Memperjuangkan Hak Anak Aceh
Saat itulah, dia sadar untuk menata hidup baru. Ia bekerja lagi mengumpulkan rupiah di sebuah pabrik di Panarukan. Setelah itu, ia bekerja di kantor Desa Surya Bahari sebagai kepala urusan administrasi kependudukan.
”Di situ saya baru tahu lika-liku birokrasi kependudukan. Saya kasihan sama warga tidak mampu yang enggak bisa mengurus dokumen kependudukan karena mesti bayar ratusan ribu rupiah ke calo. Padahal, mestinya gratis.”
Pada 2016, Yoyo ditawari menjadi sukarelawan IKI yang salah satu programnya adalah mengusahakan dokumen kependudukan bagi warga miskin. Tanpa pikir panjang, Yoyo menerima tawaran itu. Bersama 10 sukarelawan lainnya, Yoyo menjadi ujung tombak IKI di 29 kecamatan di Tangerang.
”Setiap hari saya naik motor dari ujung ke ujung Tangerang untuk ngurus dokumen kependudukan warga,” katanya.
Honornya sebagai sukarelawan hanya Rp 500.000 per bulan. Itu pun kalau target pengurusan dokumen kependudukan tercapai. Honor itu sebagian besar habis untuk membeli bensin dan makan-minum. Tetapi, Yoyo tetap militan. Ia terus bergerak membantu warga miskin mengurus dokumen kependudukan meski kerja sama antara IKI dan Dinas Dukcapil Kabupaten Tangerang belum diperbarui lagi.
Soal rezeki, Yoyo menyerahkan kepada Tuhan. Toh, ia masih tetap bisa makan dari kerja serabutan, hasil berdagang kue istrinya, dan honor sebagai petugas sensus BPS.
”Yang penting saya bahagia karena bisa mengabdi pada masyarakat. Dengan begitu, saya merasa berguna sebagai manusia. Saya juga jadi punya banyak teman, bahkan berjodoh dengan sesama relawan IKI,” ujar Yoyo, yang menikah dengan Yayah Robiatul Adawiayah.
Siswoyo
Lahir: Kabupaten Tangerang, 12 Maret 1978
Anak: dua anak
Pendidikan:
- SDN 1 Keramat, Kabupaten Tangerang
- SMP 1 Pakuhaji
- SMAN Mauk
Aktivitas: sukarelawan Institut Kewarganegaraan Indonesia