Keseimbangan Hidup Dunadi
Lahir dari keluarga ekonomi pas-pasan melecut Dunadi untuk bisa mengatur diri. Ia tak peduli meski dicibir melacurkan diri oleh rekan-rekan seniman yang idealis. Bagi Dunadi, selain idealis, seniman juga harus realistis.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F07%2F24%2F198700f6-a26f-41df-8766-2db1c6eafc20_jpeg.jpg)
Seniman patung Dunadi
Akhir Juli lalu, Dunadi mengecek langsung pengerjaan patung Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia Soekarno-Hatta di Studio Satiaji, Sculpture & Artwork di Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sepasang patung bercorak kubisme pesanan perusahaan pengembang besar di Jakarta Utara itu ukurannya luar biasa. Patung Soekarno tingginya 12 meter dan patung Hatta 11 meter!
Awalnya tidak terbesit di pikiran Dunadi untuk menjadi seorang pematung. Inspirasi itu justru muncul dari guru menggambarnya di sekolah dasar, yang menangkap bakat melukis dia.
Keterampilannya melukis secara realis sudah tampak sejak belia. Ketika duduk di bangku sekolah dasar, Dunadi menjuarai lomba melukis ajang Pekan Olahraga dan Seni (Porseni) di Semarang, Jawa Tengah. Prestasi itu ia sabet lagi saat menempuh sekolah menengah pertama.
Dari situlah, Dunadi kemudian diarahkan untuk melanjutkan studi ke Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Yogyakarta. Semula, ia hendak masuk ke Jurusan Seni Lukis, tetapi guru menggambarnya kemudian memberikan masukan.
”Sudah banyak seniman di sana. Tapi, kalau Jurusan Seni Patung jarang,” ucap gurunya.
Tawaran itu menantangnya. ”Saya pikir-pikir juga. Seniman lukis sering pameran, tetapi pematung setahun sekali belum tentu. Saya justru lalu tertarik ke situ,” kata Dunadi.
Dari SMSR Yogyakarta, Dunadi lalu melanjutkan studi S-1 Seni Rupa dan Desain dengan Program Studi Seni Patung di Akademi Seni Rupa Indonesia (kini Institut Seni Indonesia Yogyakarta). Namun, begitu masuk kuliah, ayahnya meninggal. ”Ini tekanan berat, saya harus bisa mencari uang!,” tegasnya.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F07%2F24%2F2b42fb36-9b8e-499e-bdfa-22d302b49ec1_jpeg.jpg)
Dunadi di depan dua model patung Soekarno-Hatta
Memasuki semester dua, Dunadi yang pada dasarnya memang kuat di bidang realis akhirnya diajak maestro patung Edhi Sunarso dalam proyek-proyek pembuatan patung. Hingga lulus ASRI pada 1988, Dunadi selalu terlibat dalam pengerjaan proyek-proyek dosen ASRI tersebut. ”Selain dapat nilai, saya juga dapat uang,” ungkapnya sembari tertawa.
Pengalaman nyantrik selama bertahun-tahun dengan Edhi Sunarso menjadi bekal penting bagi kelanjutan hidupnya. Setelah lulus, Dunadi mengumpulkan anak-anak putus sekolah di kampungnya untuk memproduksi cendera mata patung-patung berukuran kecil yang dipasarkan ke tempat-tempat wisata dan pusat perbelanjaan, seperti Malioboro, Candi Prambanan, Candi Borobudur, hingga Sarinah.
Berjuang mengembangkan bisnis cendera mata rupanya tidak mudah. Berulang kali karyanya dijiplak dan dijual dengan harga murah meski ia telah mendaftarkan hak cipta. Bahkan, produk-produk cendera mata impor dari China yang harganya jauh lebih murah juga membeludak.
Baca: Pergolakan rasa Carla
Dunadi juga pernah berkoordinasi dengan Kementerian Perindustrian untuk memproduksi karya-karya cendera mata secara massal. Tapi, di situlah dia justru dicibir oleh teman-teman perupa yang idealis.
”Saya disebut melacurkan diri. Mau gimana, saya bukan anak pejabat. Saya hanya anak petani, ya saya harus realistis,” ungkapnya.
Ada gugatan mengapa Dunadi sebagai seniman justru membuat produk massal ”pasaran”, bukan karya-karya idealis. Semasa kuliah di ASRI, ia memang dididik untuk menjadi perupa idealis, yang tidak perlu memikirkan apakah karyanya akan laku atau tidak.
Rupanya, di dalam kehidupan nyata, Dunadi harus berani menatap kenyataan. ”Kalau kita mau menuruti sebuah karya, tidak akan ada puasnya. Seniman memang memerlukan kebebasan dan tanpa tekanan untuk mengekspresikan diri, tapi kalau kita tidak punya manajemen yang disiplin, kita bisa menjadi gila. Karena itu, kita harus belajar mengatur diri sendiri,” paparnya.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F07%2F24%2F13bd259b-38c7-4d0d-b6d2-42791000b76a_jpeg.jpg)
Dunadi di depan dua patung proklamator Soekarno-Hatta bercorak kubisme.
Mendapat apresiasi
Karena itulah, sembari memproduksi aneka kerajinan secara massal, Dunadi juga tetap konsisten membuat patung-patung idealis.
Kegemarannya adalah membuat patung-patung figur lansia dengan segala karakternya yang kuat. Menurut Dunadi, kerutan-kerutan wajah dan ekspresi orang tua menggambarkan bagaimana perjalanan dan perjuangan hidup mereka.
Saat berpameran di Dewan Kerajinan Nasional pada tahun 1990-an, ia juga menyertakan karya-karya masterpiece hasil tugas akhir di ASRI yang sebagian besar mengangkat tema tentang lansia. Tanpa disangka, seorang pengusaha membeli salah satu patung itu dengan harga Rp 50 juta, sebuah harga yang fantastis pada masa itu. Karyanya yang idealis ternyata mendapatkan apresiasi.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F24%2F6e68d824-2933-475a-bf7e-4d83cb81198e_jpg.jpg)
Salah satu karya patung idealis karya perupa Dunadi yang bertema lansia dipamerkan di Pendhapa ArtSpace, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin (24/7/2023). Dunadi tetap konsisten membuat patung-patung idealis. Kegemarannya adalah membuat patung-patung figur lansia dengan segala karakternya yang kuat.
Dari situlah, Dunadi mulai dikenal para kolektor seni rupa dari dalam dan luar negeri. Syahdan, ia juga mendapatkan sponsor untuk membuat pabrik cendera mata. Kapasitas produksi studionya melonjak, karyawannya bahkan sempat mencapai 500 orang.
Pada tahun 1991, ia mendapat pesanan membuat patung almarhum Gesang, seorang maestro keroncong di Solo. Kemudian, pada tahun 1992, Dunadi mengerjakan Monumen Patung Jenderal Ahmad Yani di Purworejo, Jawa Tengah.
Dunadi juga membuat patung Saraswati di Taman Indonesia Charles Darwin University, Darwin, Australia (2009); Monumen Arjuna Wijaya, Boyolali, Jawa Tengah (2015); patung Taman Kupu-kupu ”Butterflies Up-Close” di Science Centre Singapura (2016); dan lambang Garuda Pancasila di Istana Merdeka, Jakarta (2018 dan 2019).
Pada tahun yang sama, ia membuat Monumen Panglima Besar Jenderal Soedirman di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta (2019); Monumen Marsda TNI Anumerta Prof Abdulrachman Saleh di Wisma Aldiron, Jakarta (2021); Monumen Soekarno di Lemhannas RI, Jakarta (2021); Monumen Soekarno di Kementerian Pertahanan RI, Jakarta (2021); patung Panglima Besar Jenderal Soedirman di Makodam Jaya, Jakarta (2022); Monumen G20 di Denpasar, Bali (2022); Monumen Gadjah Mada di Museum Keprajuritan Indonesia Taman Mini Indonesia Indah (2023); dan Monumen Panglima Besar Jenderal Soedirman di PIK2, Tangerang, Banten (2023).
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F23%2Fbcdfd1d1-81d0-471b-a8a6-ee2208b98cd7_jpeg.jpg)
Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri didampingi wartawan senior Sindhunata (kanan) menerima miniatur patung Bung Karno dari pematung Dunadi (kiri) saat acara peresmian patung Bung Karno di Omah Petroek, Desa Hargobinangun, Pakem, Sleman, DI Yogyakarta, Rabu (23/8/2023). Patung setinggi 6 meter karya pematung Dunadi itu diletakkan di atas batu dari Gunung Merapi yang menjadi simbol kekokohan dan keabadian Pancasila.
Begitu seterusnya, setiap tahun pesanan pembuatan diorama, relief, dan patung terus berdatangan, bahkan semakin banyak, dengan ukuran yang semakin besar! Yang terbaru, hari Rabu (23/8/2023) kemarin, patung Soekarno setinggi 6 meter yang dibuat Dunadi bersama timnya diresmikan Presiden RI Ke-5 Megawati Soekarnoputri di Omah Petroek, Karangklethak, Dusun Wonorejo, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Ini adalah patung Soekarno terbesar yang pernah terpasang di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Hingga sekarang, murid maestro patung Edhi Sunarso ini sudah 40 tahun lebih menjadi seniman patung. Bersama timnya, Dunadi telah memproduksi lebih dari 1 juta patung dan suvenir. Karya-karyanya telah menghiasi lebih dari 100 museum.
Untuk membuat patung-patung berukuran ”raksasa”, Dunadi dibantu oleh 10 seniman dan ratusan pekerja. Dari awal hingga akhir pengerjaan, total ada sekitar 300 orang yang dikerahkan, mulai dari proses desain, membuat maket, kerangka, modeling, pengecoran perunggu, pemasangan, hingga finalisasi.
Setiap kali selesai membuat patung tokoh pahlawan, hati Dunadi selalu dilingkupi rasa senang. Ia tidak pernah mendaku karya tersebut sebagai karyanya, melainkan hasil kolaborasi dengan keluarga pahlawan, seniman, dan pekerja lainnya.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F07%2F24%2Fdfe641e0-3fed-45af-b030-d4522d0090fc_jpeg.jpg)
Dunadi
Maka dari itu, Dunadi tidak pernah menuliskan namanya di belakang patung-patung tersebut. Di setiap patung hanya tertulis Studio Satiaji, perusahaan pembuatan karya tiga dimensi yang ia dirikan sejak 1988.
”Kalau saya melukis, saya bisa menuliskan nama saya di balik lukisan. Tapi, dalam membuat patung, saya mengakui bahwa saya tidak bisa bekerja sendiri,” ungkapnya.
Karena itulah, Dunadi berkeinginan mendirikan sebuah museum edukasi di atas studionya yang memiliki luas 11.000 meter persegi. Ia membayangkan, di museum itu akan tertera nama-nama setiap patung, lalu keterangan di monumen mana patung-patung itu dipasang, siapa saja seniman yang ikut membuat, berikut tim yang terlibat di dalamnya. Pengunjung museum juga bisa diajak tur mengamati tahap demi tahap proses pembuatan patung.
Tak jauh dari Studio Satiaji, di sisi selatan Ringroad Yogyakarta, pascagempa bumi Yogyakarta tahun 2006, Dunadi mendirikan Pendhapa ArtSpace, sebuah ruang pengembangan program-program seni budaya. Tempat tersebut juga menyediakan paket wisata seni, di mana orang bisa belajar melukis, membuat patung, bermain gamelan, dan ikut tur berkunjung ke studio-studio para seniman di Yogyakarta.
Setelah lebih dari empat dekade berkarya, Dunadi tetap konsisten untuk terus menjaga keseimbangan hidup, sebagai seniman yang idealis sekaligus realistis.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F24%2F8a033f96-8e41-468c-b484-8d57c918d6a0_jpg.jpg)
Salah satu karya patung idealis karya perupa Dunadi berjudul "Tendangan Melayang" dipamerkan di Pendhapa ArtSpace, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin (24/7/2023). Patung perunggu ini dibuat Dunadi pada tahun 2015.
Baca: Pergerakan musik David Karto
Dunadi
Lahir: Bantul, 3 Agustus 1960
Pendidikan: Jurusan Seni Rupa dan Desain, Akademi Seni Rupa Indonesia (1982-1988)
Pengalaman Pameran:
•Pameran tunggal ”Singing on the Darkness” di Jogja Gallery, Yogyakarta (2010)
•Pameran International ”Art Revolution Taipei” (Taiwan, 2015)
•Pameran IKASSRI ”Reborn” (Galeri Nasional, Jakarta, 2016)
•Pameran ”Menjadi Indonesia” (Plaza Indonesia, Jakarta, 2017)
•Pameran ”Celebrating Indonesian Portraiture” (OHD Museum, Magelang, 2018)
•Pameran ”Jogja International Creative Arts Festival (JICAF)” (ISI Yogyakarta, 2020)
Penghargaan:
•Karya Terbaik Seni Patung Dies Natalis II Institut Seni Indonesia, Yogyakarta (1986)
•Piagam Penghargaan atas Pembuatan Patung Gesang oleh Yayasan dari Japan (1991)
•Certificate of Appreciation for Indonesian Garden Development, Charles Darwin University Australia (2009)
•Piagam Penghargaan Museum Rekor Dunia Indonesia atas Pemrakarsa dan Pembuat Replika Kuda Batik Terbesar (2010)
•Tanda Penghargaan Dharma Pertahanan dari Menteri Pertahanan Republik Indonesia (2021)