Vivit Kavi, Menyentuh Hati lewat Komunikasi Kopi
Langkahnya jauh sampai ke ”Negeri Paman Sam”, tapi hati dan pikirannya tertambat di Tanah Air. Vitri Ekaviati Utoyo (40), dikenal khalayak dengan Vivit Kavi, menawarkan harmoni Indonesia lewat hangatnya secangkir kopi.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F02%2Fbdb07080-d310-4a26-9879-22aa3fc373b2_jpg.jpg)
Vivit Kavi saat wawancara dengan Kompas di Jakarta, Rabu (2/8/2023).
Langkahnya jauh sampai negeri ”Paman Sam”, tapi hati dan pikirannya tetap tertambat di Tanah Air. Vitri Ekaviati Utoyo (40) atau dikenal dengan nama Vivit Kavi menawarkan harmoni Indonesia lewat hangatnya secangkir kopi dan sapaan ramah di tengah rumitnya kehidupan di ibu kota Amerika. ”Haneutkeun (hangatkan),” katanya.
Tepat sehari sebelum kembali ke Washington DC, Vivit meluangkan waktu berjumpa di sebuah hotel di Jakarta Pusat, Rabu (2/8/2023). Agenda bincang yang semula berada di samping kolam renang dengan resto pizza yang membangkitkan memori masa kecilnya berpindah ke sebuah kafe. Suhu di Jakarta siang itu sedang terik-teriknya.
Alih-alih memilih kopi, Vivit memesan jus. ”Nanti malam aku mau ngopi lagi soalnya,” ungkapnya yang harus mencicipi 13 cangkir kopi dalam kesempatan cupping session pada acara itu.
Kedatangannya ke Jakarta yang hanya lima hari saja ini dilakukan atas undangan Bank Indonesia yang menggelar acara tahunan bertajuk ”Karya Kreatif Indonesia”. Vivit dan suaminya, Irfan Ihsan, diajak mendukung para UMKM untuk bisa menembus pasar global. Sesuai dengan salah satu lini bisnis yang dijalaninya bersama sang suami, Vivit pun mencicipi aneka kopi dari berbagai daerah pada acara itu.
Selain kopi, Vivit juga kepincut dengan perajin keramik yang karyanya akan dipasarkan di Amerika ketika musim liburan nanti. ”Sign sama dua. Satu, produsen kopi dan satu lagi perajin keramik untuk Holiday Seasonnanti. Jadi, udah empat kali Holiday Season ini bawa keramik dari Indonesia ludes. Perempuan juga yang menjalankan, lho, ini. Yang terakhir kemarin, sama Ayu Larasati keramiknya,” ujar Vivit.
Dari pertemuannya dengan para pelaku UMKM, ia optimistis produk para perajin dan juga hasil bumi, termasuk kopi Indonesia, punya potensi besar untuk go international. Hanya saja, ada celah yang harus dibenahi, yakni komunikasi. ”Produknya bagus, ada panggungnya, tapi bridge komunikasinya enggak jalan. Kuncinya jadi, ya, komunikasi, story telling, dan level literasi,” ujar perempuan yang berkecimpung lebih dari 25 tahun di bidang komunikasi ini.
Bintang iklan
Vivit dikenal publik sejak 1997 sebagai bintang iklan. Tak lama kemudian, ia ditawari menjadi pembawa acara di sebuah televisi swasta. Profesi ini terus ditekuninya meski ia berlatar belakang pendidikan bisnis.
Di puncak kariernya, ia menikah dan pindah ke Amerika Serikat (AS) untuk mengikuti sang suami yang bekerja di Voice of America (VoA) pada akhir 2005. Sesampai di sana, ia pun justru ikut ditawari bekerja di VoA karena portofolionya di bidang komunikasi dan media.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F02%2Fadf371cb-7684-4385-abe4-c72d71272501_jpg.jpg)
Vivit Kavi saat wawancara dengan Kompas di Jakarta, Rabu (2/8/2023).
Hingga tahun 2013, Vivit aktif sebagai presenter di VoA. Setelah itu, ia getol keliling ke sejumlah negara, termasuk menetap selama tiga tahun di Indonesia bersama suami dan dua anaknya. Bahkan ketika di Indonesia, ia masih memperoleh tawaran untuk membawakan acara kuliner di salah satu televisi swasta. Namun, pada 2018, ia mantap untuk tak lagi menjelajah dunia.
”Aku membesarkan dua remaja perempuan. Kalau enggak ada ibunya di sampingnya, gimana pertanggungjawaban ke Allah nantinya. Saya bilang ke Irfan, sepertinya sudah saatnya saya steady di DC. Buka sesuatu, yuk, yang bisa dibawa dari Indonesia ke Amerika yang bisa warga Amerika nikmati dari akar kami,” tutur Vivit.
Tercetuslah membuka kedai kopi kecil-kecilan dari sang suami. Vivit sempat tak yakin mengingat minum kopi saja membuat badannya gemetaran. Ia lebih nyaman menjadi peminum teh saat itu. Namun, ia merasa ide membuat kedai kopi layak diwujudkan.
Perjalanan dimulai. Untuk biji kopi Indonesia, Vivit bekerja sama dengan Klasik Beans yang didirikan Eko Purnomowidi di Gunung Puntang, Garut, Jawa Barat. ”Kebetulan aku sama Irfan itu Sunda. Papa aku Jawa, tapi mama Sunda dan kental banget Sunda-nya. Pas pula pas nyari beans ini ketemu Pak Eko yang value-nya sama, terus ketemu petani. Mang Deden, Kang Uden, cupi bangetlah kita. Cunda pisan,” ujarnya dengan cengkok Sunda yang masih renyah sembari tergelak.
Dari sini ia menyeruput kopi dan baru tersadar dengan pengolahan biji kopi secara natural akan mengeluarkan rasa kopi yang variatif. Ada rasa buah, teh hitam, hingga aroma coklat hazelnut yang terasa dari pengolahan kopi secara natural. Ketika itu, kopi yang dijajalnya adalah biji kopi dari Garut dan biji kopi dari Etiopia.
Selain membiasakan diri dan belajar, sang suami pun harus mengantongi lisensi untuk bisa melayani pelanggan membuat kopi nantinya. Bersama dua rekan, yaitu Omar dan Aldi, yang merupakan pemilik Dua Coffee di Cipete, Jakarta Selatan, Vivit dan suami mencari lokasi untuk kedai. Rencana hanya kecil-kecilan di kawasan perumahan justru dijawab untuk membuka kedai bernama Dua DC Coffee di kawasan dekat Gedung Putih.
”Yang paling aku ingat, agennya bilang (kenapa bisa dapat lokasi ini) karena kalian membawa kopi Indonesia, bukan kopi dari Seattle,” ungkap Vivit, yang mesti mengurus semua dokumen dan printilan lainnya ke Department of Consumer and Regulatory Affairs.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F02%2F5b2d969f-dd7f-4ec2-8f94-30ff7c8ec8ad_jpg.jpg)
Vivit Kavi.
Akhirnya pada 3 September 2019, bertepatan dengan hari pertama anak-anak Vivit masuk sekolah, Dua DC Coffee dibuka. Tak disangka pembeli langsung banyak dan terus berdatangan dari hari ke hari. Hingga tiba pandemi yang membuat mereka terpaksa menutup toko selama tiga bulan dan beralih ke penjualan daring.
Vivit kembali belajar hal baru untuk menggerakkan usahanya secara daring. Jangan dibayangkan menjual kopi lewat kiriman ojek motor seperti di Indonesia. Di Amerika, pembuatan makanan dan minuman yang disajikan tak bisa dilakukan dari tempat yang belum memperoleh izin dari Departemen Kesehatan. Akibatnya, dia hanya bisa menjual biji kopi dan cendera mata berupa mug serta kaus.
Setelah bisa membuka kopi di tengah pandemi, Vivit mengakui penjualan masih seret karena jumlah orang di gedung dibatasi. Saat itu, ia dan suami memutar otak sampai muncul gagasan pop up cafe. ”Nyicil mesin kecil, pinjam tenda, kami datang ke perumahan, parkiran yang kerja sama dengan bisnis kecil untuk buka minibar. Jadi, jemput bola ke pembeli. Kalau ada festival, kita ada. Niatnya untuk ganjelan karena yang ke toko bisa dibilang enggak ada,” ujarnya.
Berbuah manis, niat hanya untuk menutup kondisi saat itu kini justru berlanjut. Pop up cafe ini terus berjalan dan menjadi lini bisnis baru. Berbagai perusahaan, mulai dari Google, Microsoft, Louis Vuitton, hingga IMF saat pertemuan IMF-Bank Dunia dalam rangkaian KTT G20 tahun 2022, meminta Dua DC Coffee untuk hadir dalam versi mini menyuguhkan kopi Indonesia.
Di tengah pencapaian ini, Vivit bercerita, pandemi bukan satu-satunya tantangan. Kerusuhan dari peristiwa Black Lives Matter (BLM) yang membuat Washington DC berubah suram dialaminya. Gedung Putih menjadi tak terlihat, gelap tertutup papan yang berisi gambar-gambar korban BLM, dan corat-coret cat pylox di mana-mana.
Baca juga: Siar rendang Reno Andam Suri
Suasana itu mendadak berubah sukacita ketika Joe Biden dinyatakan memenangi pemilihan presiden tahun 2020. Orang-orang menangis berpelukan bahagia di depan kedai kopinya.
Ia pun menjadi saksi mata dari bermunculannya tenda para tunawisma di McPherson Square yang letaknya tepat berhadapan dengan Dua DC Coffee. Sekitar 70-an tenda berdiri di sana menjadi tempat berlindung orang-orang yang sebagian terdampak pandemi dan tak lagi bisa membayar sewa tempat tinggal.
Pada pagi dan siang hari, lanjut Vivit, pemandangan terlihat meneduhkan karena orang-orang dari gereja dan masjid datang memberi bantuan di sana. Namun, ketika malam tiba, suasana mencekam. Lokasi tersebut menjadi perputaran para pengguna narkoba dan prostitusi. Kedai kopinya tentu ikut terdampak.
”Maaf, ya, dikencingin. Kamar mandi kita dipakai berlama-lama untuk nge-drug. Aku dan karyawan sampai tegang karena mereka maunya aku bisa negurgitu, kan,” ujarnya.
Baru pada Februari 2023, para tunawisma ini ditertibkan bertepatan dengan Festival Sakura di Washington. ”Baru Maret ini akhirnya bisa bernapas beneran dan beroperasi wajar,” ungkapnya.
Kendati demikian, ia bersyukur keputusannya untuk berwirausaha tepat. Kemampuan public speaking-nya bermanfaat, ilmu kuliahnya dapat dimanfaatkan, dan yang terpenting kesempatan bersama keluarga, terutama dengan dua anak perempuannya, bisa terpenuhi.
”Ini aku udah ditelepon, mereka mau nonton Barbie bareng aku. Padahal, mereka udah nonton, tapi katanya mau nonton sama Minda (panggilan mama ke Vivit), biar lihat Minda-nya mewek karena mereka mewek pas nonton,” ujarnya tertawa.
Seperti pedoman yang dipegangnya, apa pun yang dikerjakan dengan hati pasti bisa menyentuh hati banyak orang. Vivit telah melakukannya.
Vitri Ekaviati Utoyo
Nama populer: Vivit Kavi
Lahir, Jakarta, 3 Agustus 1983
Pengalaman:
- Presenter VoA
- Presenter Demen Makan Trans TV
- Co-owner Dua DC Coffee
- Co-Founder VnV Communication