Gereja Katolik Roma kehilangan salah satu gembalanya karena kepergian Uskup Surabaya Mgr Vincentius Sutikno Wisaksono, Kamis (10/8/2023), karena sakit.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO, AGNES SWETTA PANDIA
·2 menit baca
KOMPAS/AGNES SWETTA PANDIA
Uskup Surabaya Mgr Vincentius Sutikno Wisaksono didampingi Vikjen Keuskupan Surabaya RD Yosef Eko Budi Susilo menahbiskan tiga imam dari Serikat Sabda Allah, yakni P Siprianus Jegaut, P Kondradus Tampani, dan P Joan Nami Pangondian Siagian, di Gereja Katolik Roh Kudus Surabaya, Jawa Timur, Senin (30/1/2023).
SURABAYA, KOMPAS — Gereja Katolik Roma berduka karena kematian salah satu gembala, yakni Uskup Surabaya Mgr Vincentius Sutikno Wisaksono, Kamis (10/8/2023) pukul 10.29 WIB, di Rumah Sakit Katolik St Vincentius a Paulo (RKZ), Surabaya, Jawa Timur.
Kabar duka itu dibenarkan oleh Sekretaris Keuskupan Surabaya RD Paulus Febrianto. Selain itu, sejumlah pastor di grup Whatsapp juga mengonfirmasinya. Misalnya, Pastor Kepala Paroki Salib Suci Tropodo RP Gabriel Maja, SVD, bahwa Uskup Surabaya telah wafat.
Uskup Surabaya Mgr Vincentius Sutikno Wisaksono semasa hidup dan saat merayakan tahbisan episkopal pada 2020.
”Mari kita berdoa bagi kedamaian abadi jiwa beliau oleh karena belas kasih-Nya,” ujar Paulus Febrianto.
”Kita semua satukan doa untuk kedamaian dan keselamatan kekal bagi beliau,” kata Gabriel Maja.
Wisaksono adalah Arek Suroboyo yang lahir pada 26 September 1953. Putra kelahiran Tanjung Perak ini terlahir dengan nama Oei Tik Haw. Wisaksono menyelesaikan pendidikan sembilan tahun di Surabaya, yakni di SD Katolik Santo Michael lalu SMP Katolik Angelus Custos.
Selanjutnya, Wisaksono menempuh pendidikan di Seminari Menengah Vincentius a Paulo atau Seminari Garum di Blitar. Kemudian ia menempuh studi teologi di Seminari Tinggi Santo Paulus, Kentungan, Yogyakarta.
Wisaksono adalah keturunan peranakan Tionghoa dari pasangan Stephanus Oei Kok Tjia (Widiatmo Wisaksono) dan Ursula Mady Kwa Siok Nio (Madijanti Wisaksono).
Dalam usia 28 tahun, Wisaksono ditahbiskan sebagai imam diosesan, yakni pada 21 Januari 1982, oleh Mgr Jan Antonius Klooster, CM, Uskup Surabaya saat itu di Gereja Hati Kudus Yesus (Katedral) Surabaya.
Tangkapan layar dari akun Youtube Komisi Sosial Keuskupan Surabaya memperlihatkan Uskup Surabaya Monsinyur (Mgr) Vincentius Sutikno Wisaksono saat memimpin Ibadat Jumat Agung di Gereja Hati Kudus Yesus (Katedral) Surabaya, Jumat (2/4/2021).
Pastor rekan
Semasa menjadi imam diosesan atau prebister (Pr), Wisaksono sempat bertugas di Paroki St Yosef Kediri. Selanjutnya, ia menjadi pastor rekan di Katedral Surabaya.
Dalam Misa Krisma di Katedral Surabaya pada 3 April 2007, diumumkan terpilihnya Wisaksono sebagai Uskup Surabaya. Wisaksono, yang saat diinformasikan menjadi Uskup Surabaya berada di Filipina, kemudian menjalani pentahbisan uskup pada 29 Juni 2007 di Stadion Jala Krida Mandala Akademi Angkatan Laut, Surabaya.
Meski merupakan keturunan peranakan Tionghoa, Wisaksono sempat melarang perayaan ekaristi khusus dalam rangka Imlek.
Beberapa tahun terakhir, termasuk dalam masa pandemi Covid-19 (Coronavirus disease 2019) sejak Maret 2020, kondisi kesehatan Wisaksono memburuk. Uskup sempat berulang kali berobat hingga Singapura.
Uskup Surabaya Monsinyur Vincentius Sutikno Wisaksono (tengah) bersama sejumlah romo menaiki altar saat Ibadah Jumat Agung di Gereja Katedral Surabaya, Jawa Timur, Jumat (10/4/2020). Ibadah untuk mengenang sengsara dan wafatnya Yesus tersebut disiarkan secara langsung melalui dalam jaringan agar umat Katolik melakukan ibadah dari rumahnya masing-masing guna mencegah penyebaran Covid-19.
Meski dalam kondisi sakit, Uskup beberapa kali tetap memimpin perayaan ekaristi terutama untuk krisma. Namun, sepekan terakhir kondisi kesehatan Uskup kembali memburuk sehingga menjalani perawatan antara lain di RKZ Surabaya yang kemudian menjadi tempatnya mengembuskan napas terakhir pada Kamis pukul 10.29.
Wisaksono memiliki klangenan atau kesukaan yakni Daihatsu Taft 1982. Mobil dengan julukan beken ”Taft Kebo” itu dipakai Uskup sejak masih bertugas sebagai imam di Ngawi serta menjadi Rektor Seminari Tinggi Interdiosesan San Giovanni XXIII Malang selama sembilan tahun, periode 1990-2000. Mobil ini dibawa terus dan masih dipakai oleh Monsinyur sebagai kendaraan operasional sehari-hari.