Pergerakan Musik David Karto
Slogan ”it’s not a festival, it’s a movement” jadi ruh setiap perhelatan Synchronize Fest. Bukan pepesan kosong. Selama hampir delapan tahun, festival itu jadi etalase musik dalam negeri dan dirayakan gegap gempita.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F07%2F27%2F91783696-b45d-4891-a9fb-2862935c4a52_jpg.jpg)
David Karto, Co-Founder Demajors.
Industri musik Indonesia mungkin tak semeriah ini tanpa kehadiran label Demajors dan Synchronize Fest. David Karto adalah orang di balik keduanya. Musisi ”arus pinggir” mendapat tempat layak. Pendengar punya lebih banyak pilihan. Cerita tentang kiprahnya belum pantas diberi titik.
Menjelang Kamis (27/7/2023) sore yang mendung, David Karto (49) baru saja rampung rapat dengan dua anak muda di ruang tengah kantor Demajors Independent Music Industry—selanjutnya disebut Demajors. Salah satu dinding ruang tengah itu penuh dengan keping cakram album musik. Di ruang tengah, berkardus-kardus album siap edar. Anak-anak muda bergerombol di setiap ruang yang ada. Suasananya riuh sekali.
Kata David, kesibukan itu rutin terjadi setiap hari di kantor yang terletak di Jalan H Ipin, Pondok Labu, Jakarta Selatan, yang tak terlalu lebar itu. Eskalasi kesibukannya meningkat menjelang acara besar yang mereka garap. Benar, Demajors sedang menyiapkan hajatan Synchronize Fest 2023 yang tahun ini memasuki gelaran kedelapan.
Demajors adalah label musik yang didirikan David pada tahun 2000. Ketika itu, dia memilih memproduksi, menggandakan, dan mengedarkan album musik yang berada di luar radar industri besar. Band atau musisinya jarang yang masuk tangga lagu di radio, apalagi manggung di acara pagi stasiun televisi.
Kala itu, David yakin, seperti apa pun corak musiknya, selalu berpeluang menemukan pendengarnya. Selain menjual di toko pertamanya di daerah Gandaria, Jakarta Selatan, David membuka kanal distribusi ke pengecer besar macam Disc Tarra, Duta Suara, Bulletin, dan Musik+. Selain menitip jual di toko besar, album produksinya dititipkan juga di gerai kecil seperti distribution outlet atau distro.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F07%2F27%2F41d4ea15-ece1-4d36-8492-af131307000e_jpg.jpg)
David Karto, Co-Founder Demajors.
Pergantian teknologi dan zaman membuat beberapa toko musik tutup. Padahal, album-album Demajors cukup laris. Sebut saja beberapa album dari Tulus, yang diterima di kalangan penyuka ”musik indie” maupun penonton televisi. Begitu juga dengan album Endah n Rhesa. Rentang musiknya sangat lebar, mulai dari pop, rock, keroncong, sampai death metal.
Namun, Demajors bertahan sampai hari ini. Beberapa strategi berjalan mulus. Demajors menguatkan titik penjualan di berbagai kota, seperti Purwokerto, Bandar Lampung, Surabaya, Malang, Yogyakarta, Bali, dan Solo. Ada jalur edar di Kuala Lumpur, Malaysia. Selain penjualan langsung sejak 2011 David menginisiasi membuat toko daring demajors.com. Dia juga membuat radio daring Demajors Radio untuk mempromosikan lagu-lagu di bawah naungan Demajors.
Gebrakan besar terjadi di tahun 2016. Ketika itu, festival musik berformat seratusan penampil hanya digelar promotor besar, seperti Java Rockin’ Land, atau Java Jazz Festival. Itu pun dengan bintang tamu dari luar negeri. Demajors membikin festival bergaya lain, bernama Synchronize Fest. Panggungnya banyak, penampilnya bejibun—sebagian besar belum beken-beken amat, dan nihil penampil mancanegara, sekalipun jiran seperti Singapura atau Malaysia.
Baca juga: Mula dan Muara Edy Khemod
Kenapa tidak mau mengundang pemusik luar negeri sebagai tamu seperti festival lain? ”Gueenggak sanggup ngurusnya, Pak,” ujarnya merendah lalu tertawa.
”Gue bikin Synchronize (pertama) itu belum punya bayangan jadi promotor. Gue resah band-band bagus ini jarang sekali ditonton sampai ribuan penonton,” kata David dengan suara serak khasnya. Penampil di gelaran pertama waktu itu di antaranya Krakatau Reunion, Iwa K, Barasuara, Down for Life, Indra Lesmana Keytar Trio, Teenage Death Star, Mocca, dan The Upstairs. Nama-nama ini adalah rujukan bagi penyuka musik ”arus pinggir”.
”Menurut gueitu berhasil menyatukan (musik) aneka genre dan antargenerasi, walaupun penontonnya masih agak sepi, sekitar 13.000 orang per hari,” katanya terkekeh. Namun, pola baru industri panggung di Indonesia telah terbentuk. Jargon yang ia ciptakan ”It’s not a festival, it’s a movement” mewujud. Pergerakan itu menggelinding terus.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F07%2F27%2F469b24ef-201a-478a-9703-8c47897ef74e_jpg.jpg)
David Karto, Co-Founder Demajors.
Siasat kala euforia
Popularitas Synchronize terus berkembang di tahun-tahun berikutnya. Angka penonton 37.000 per hari terkumpul di perhelatan tahun 2022. Ada kesan bahwa hadir di Synchronize berarti menjadi bagian dari pergerakan; pergerakan menjadikan musik Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Pada poster acara, penulisan nama penampil disusun berdasarkan abjad dengan ukuran huruf yang sama. Kebiasaan ini bertahan sampai sekarang. Ini seperti menunjukkan bahwa semua penampil, beken maupun belum, pantas disimak. Memang begitu yang terlihat, setiap panggung pasti ada yang menonton; bisa ribuan, bisa puluhan saja.
Suasana riang-gembira di arena terasa di setiap tahunnya. Suara musik terdengar dari banyak sudut. Musik juga berdentam dari meja kecil tempat disjoki memutarkan lagu-lagu pilihannya. Orang ikut berjoget di sana, bernyanyi bersama. Setiap menjelang pagi, ketika penampil terakhir undur, kerap terdengar kor penonton, ”enggak mau pulang, maunya digoyang”, sambil agak sempoyongan. Pengunjung banyak yang menjadi dirinya sendiri.
Pola ini diikuti sederet festival musik lainnya. Beberapa tahun terakhir, perhelatan festival musisi dalam negeri menjamur. Puncaknya terasa di tahun 2022 lalu ketika era pandemi Covid-19 melandai. Hampir tiap akhir pekan ada festival skala menengah sampai besar di Jakarta. Kota-kota lain juga begitu. Tapi tak semuanya mulus. Banyak yang gagal dan merugikan penonton.
Di tahun 2023 ini, beberapa komponen naik; production cost,fee artist. Sementara, penonton mengalami fatigue (kelelahan) terhadap festival yang beruntun sehingga daya beli tergoyahkan.
David menilai, kendala itu adalah dampak dari berhentinya industri panggung hiburan kala pandemi selama sekitar dua tahun. Dengan suara memelan, dia berucap, ”Di tahun 2023 ini, beberapa komponen naik; production cost, fee artist. Sementara, penonton mengalami fatigue (kelelahan) terhadap festival yang beruntun sehingga daya beli tergoyahkan,” kata mantan disjoki ini.
Hal-hal itu yang membuat tidurnya terusik, apalagi tinggal sekitar 30 hari Synchronize Fest digelar—dijadwalkan tanggal 1-3 September 2023 di Gambir Expo, Kemayoran, Jakarta. ”Gue jam 12 (malam) udahnguap-nguap, sih. Bisa tidur, tapi enggak tenang, kepikiran ini-itu,” katanya yang berhasil berhenti rokok dan miras sejak 2019 ini.
Wajar kalau David ketar-ketir. Synchronize tahun ini berbarengan dengan festival Soundrenaline dengan penampil beken dari dalam dan luar negeri—misalnya 30 Second to Mars dan Explosions in the Sky. Di akhir September, festival besar Pestapora dengan seratusan penampil juga siap digelar. Penontonnya sangat mungkin beririsan.
Baca juga: Ferry dan Racikan Kegembiraan
David percaya, reputasi yang dibangun Synchronize Fest masih baik. Penonton setianya masih sangat banyak. Indikasi dari penjualan tiket menunjukkan itu. Setiap jendela penjualan tiket dibuka, terbeli habis dalam waktu sekitar 30 menit saja. Sebagian kecil tiket disisakan dijual di lokasi ketika acara berlangsung.
Pada Synchronize edisi kedelapan nanti, tak kurang dari 167 penampil akan menghibur pengunjung, yang membeli tiket harian dengan harga mulai dari Rp 350.000 per hari, di delapan panggung berbeda. Sekitar 35 persen penampil itu merupakan artis yang tergolong baru dan telah punya lagu, seperti Pelteras, Vlaar, ZIP, Enola, Thee Marloes, Foreseen, dan Lebah Begantong. Ada juga band lama yang ”hilang” dari peredaran macam Zeke & The Popo, Theory of Discoustic, Zoo, dan Eleventwelfth.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F07%2F27%2F97887a4c-f51c-48d7-aef8-a837b9d651b1_jpg.jpg)
David Karto, Co-Founder Demajors.
Seperti konser tunggal
Nama baru, kata David, bisa jadi regenerasi musisi Indonesia, dan langsung dikenalkan pada atmosfer festival multipanggung yang besar. Tidak berhenti di situ, David dan timnya menyiapkan 12 pertunjukan khusus, yang dirancang spesial pula. Lima pertunjukan di antaranya melibatkan pengarah pertunjukan (show director) Edy Khemod dan Taba Sancha Bachtiar. Baru kali ini Synchronize melibatkan show director profesional.
Pertunjukan yang digarap Khemod dan Taba, di antaranya adalah pertunjukan Teman-teman Menyanyikan Lagu Naif—ini sebuah penghargaan bagi band Naif, Selangkah ke Seberang: Dekade Fariz RM ’79-’89, dan Iwan Fals x Sawung Jabo. ”Special show ini rasanya seperti menonton konser tunggal di dalam festival,” ujar David yang nalurinya tak sependek celananya ini.
Baca juga: Mata Zaman Eko Nugroho
Kolaborasi yang disebut terakhir itu gagasan David. Konon, sulit mempertemukan dua ”macan panggung” dalam satu pertunjukan bersama. Iwan Fals pernah jadi tamu kejutan di perhelatan 2019. Sementara Sirkus Barock pimpinan Sawung Jabo dijadwalkan main di tahun 2022, tetapi urung karena agendanya tak selaras.
”Tahun ini, guemau ajak Iwan Fals lagi. Gue minta tolong Cikal (anak sekaligus manajer Iwan) untuk membujuk Jabo buat main bareng. Eh, dia berhasil. Gue, sih, seneng banget,” kata David.
Hal baru lainnya yang bakal ditemukan di Synchronize Fest nanti adalah Panggung Getar, Kobra Musik. Area ini mewadahi penampil dari kancah dangdut dan koplo seperti Babaloman, Munhajat. Olsam, OM Lawan, OMPLR, Orkes Pensil Alis, Orkes Taman Bunga, dan Serempet Gudal. Pedangdut Trio Macan dan Dewi Perssik ”naik level” ke panggung besar.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F07%2F27%2F99e7a5e1-fbea-4442-8642-c2eb715cb02f_jpg.jpg)
David Karto, Co-Founder Demajors.
Proyek baru
Sambil menyesap kopi hitam tanpa gula, David bercerita banyak tentang kelayakan fasilitas festival. Salah satunya adalah ketersediaan air minum. Festival besutannya memang menerima sponsor dari perusahaan air kemasan sejak pertama digelar—bahkan turut membentuk citra perusahaan tersebut. Tapi dia bersikukuh air putih adalah kebutuhan wajib penonton.
Maka, sejak 2019, dia menyediakan stasiun pengisian air minum. Pengunjung bebas mengisi botol minum bawaannya, terserah mau berdonasi atau tidak. Fasilitas ini pantas diapresiasi karena harga minuman kemasan di dalam festival kadang di luar nalar.
Setelah Synchronize tahun ini usai, David bersiap fokus pada proyek barunya, yakni membesarkan label Bahasa Ibu Records, anak perusahaan Demajors. Label itu dicanangkan menampung band dalam negeri yang membuat lagu dalam bahasa daerah asal mereka. Warna musiknya bebas, tak harus langgam tradisional. Band Lhorju’, asal Sumenep, Madura yang memainkan indie rock berbahasa setempat sudah masuk dalam daftarnya.
Mereka jauh-jauh dari Muara Enim untuk ngasih album mereka itu. Pas gue dengar, mau nangis rasanya. Bagus banget.
”Waktu gue lagi ngisi acara di Palembang (Sumsel) ada band yang ngasih albumnya. Mereka jauh-jauh dari Muara Enim untuk ngasih album mereka itu. Pas gue dengar, mau nangis rasanya. Bagus banget. Nama bandnya Candei. Ini bakal kita proses; rekam lagi, bikin CD sama vinilnya. Saya minta tolong anak Palembang untuk jadi manajer mereka,” ujarnya.
David yakin, masih banyak band serupa Lhorju’ dan Candei di seantero Nusantara. Jika dikelola dengan baik, pendengarnya makin banyak. Identitasnya pun sudah kuat. David bersemangat membicarakan proyek ini, lebih berapi-api dibandingkan mendatangi konser Rimpang grup beken Efek Rumah Kaca yang bakal dia sambangi malam itu. (Per)Gerakan David belum berhenti.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F10%2F08%2Fdeb7f2d0-8ebc-4938-8008-90b7d8e5d9e9_jpg.jpg)
Penonton menikmati suguhan musik kelompok Seringai dalam Synchronize Festival 2022 di Gambir Expo, Kemayoran, Jakarta, Jumat (7/10/2022). Seringai sukses membakar semangat para penonton dengan alunan musiknya yang keras dan berisik. Dalam dua tahun terakhir Synchronize tidak digelar secara langsung karena pandemi dan beralih melalui medium televisi (2020) dan radio (2021).
David Karto
Lahir: Jakarta, 16 Januari 1974
Pendidikan terakhir: D3 Teknologi Informatika, NIIT, Jakarta
Beberapa pertunjukan:
- Synchronize Fest (Rave Party), 2001-2002
- Synchronize Fest (Ex Plaza), 2009
- Synchronize Fest, 2016-sekarang
- Konser Tunggal Yura Yunita “Merakit Konser Jakarta”, 2019