Pergolakan Rasa Carla Bianpoen
Meski sudah berusia 87 tahun, Carla Bianpoen masih setia mengikuti perubahan dan perkembangan seni rupa Indonesia.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F07%2F21%2F23ade86a-9d7e-47ab-8d63-21353d8c0c4b_jpg.jpg)
Carla Bianpoen
Meski sudah berusia 87 tahun, Carla Bianpoen masih setia mengikuti perubahan dan perkembangan seni rupa Indonesia dengan menghadiri pameran-pameran yang berlangsung sampai sekarang, khususnya di Jakarta. Dalam rentang 35 tahun terakhir, Carla setia pula menuliskan pergolakan rasa itu, yang dikatakannya mengalir begitu saja setiap kali menikmati karya seni rupa.
Memang tidak semua karya seni rupa membangkitkan rasa bagi Carla. Dalam perbincangan ringan di kediamannya, Jumat (21/7/2023), Carla mengatakan itu. Ia kemudian memantapkan hati dengan mengatakan dirinya tidak memiliki hak untuk menghakimi sebuah karya seni rupa itu jelek atau baik. Hanya saja, setiap kali menjumpai karya seni rupa yang tidak membangkitkan rasa baginya, Carla memilih diam dan tidak berkehendak untuk menuliskannya.
Carla kikuk jika disebut-sebut sebagai kritikus seni. Ia sama sekali tidak mengenyam pendidikan seni rupa sehingga tidak menguasai betul sejarah seni rupa beserta teori-teorinya. Carla enggan membelah-belah secara tajam untuk memilah karya yang baik atau karya yang jelek dengan berbagai macam landasan teori dan pengetahuan sejarahnya.
Tatkala menulis, Carla mengalir mengikuti rasa. Ia tidak ingin menghakimi. Namun, Carla bukan pemuja keindahan seni rupa semata. Ia mau menceburkan diri ke dalam dinamika sosial politik terutama pergerakan perempuan dalam memahkotai kemanusiaan dengan persamaan hak. Lantaran itulah, pada 26 Juni 2023 Carla diberi anugerah Rooseno Award XI oleh Biro Oktroi Rooseno, biro konsultan hak atas kekayaan intelektual di Jakarta.
Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Melani Budianta atas nama Dewan Testimoni Rooseno Award XI menyematkan judul menarik dalam pidato penganugerahan penghargaan itu. Ia menuliskan judul, ”Carla Bianpoen: Jurnalis dan Kritikus Seni Rupa Kontemporer yang Konsisten Menyuarakan yang Tak Terdengar”.
Kata ”konsisten menyuarakan yang tak terdengar” dipilih Melani untuk membahasakan selama ini kaum pria masih mendominasi karya seni rupa. Carla dinilai konsisten menulis tentang karya seni rupa oleh perempuan yang kurang mendapat perhatian, kurang terdengar.
Dewan Testimoni Rooseno Award XI lainnya meliputi Bambang Sugiharto, Dolorosa Sinaga, Inda Citranida, Mayling Oey-Gardiner, Melani W Setiawan, Mella Jaarsma, dan Ninuk Pambudy. Kebebasan Carla dalam bertindak dan memiliki keberanian dalam mendokumentasikan peristiwa penting juga disinggung Melani dalam pidato itu. Ia menyebut, di masa reformasi 1998 Carla berani menyelipkan kamera kecil yang semestinya dikenai aturan harus ditinggalkan untuk bertemu Wakil Presiden BJ Habibie, yang kemudian menggantikan Presiden Soeharto.
Carla menggunakan kamera kecil itu untuk memotret pertemuan tokoh-tokoh perempuan yang dipimpin Saparinah Sadli ketika bertemu dengan Habibie. Mereka menyampaikan keprihatinan perempuan atas kekerasan dan pemerkosaan massal yang terjadi di bulan Mei 1998. Pada akhirnya, dari pertemuan itu lahirlah institusi Komisi Nasional Perempuan sampai sekarang.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F07%2F21%2F23dbf2bb-17ed-4bc7-9289-0998807e1681_jpg.jpg)
Carla Bianpoen
Dalam perbincangan di rumahnya yang berada di bilangan Ciputat, Tangerang, Banten, Carla sempat mengisahkan dirinya pernah sekelas dengan Habibie. Carla menyebut Habibie dengan nama panggilan, Rudi. Dalam suatu kesempatan, Carla pernah menanyakan apakah Habibie masih ingat dirinya. Habibie pun menjawab, masih ingat Carla, teman sekelas sewaktu sekolah setingkat SMP di Makassar meski hanya setahun.
”Saya pernah satu kelas dengan Rudi dan saat itu Rudi sudah terlihat begitu cerdas,” ujar Carla, yang tidak pernah bisa merayakan hari ulang tahun, karena selama ini tidak pernah tercatat tanggal lahirnya di tahun 1936.
Masa kecil
Carla lahir di kota Makassar sebagai anak bungsu dari empat bersaudara dengan ibu yang lahir di Ambon dan ayah lahir di Makassar. Carla mengenyam masa kecilnya dengan dua bahasa, yakni bahasa Makassar dan bahasa Belanda. Kelak, Carla belajar bahasa Indonesia justru di luar negeri ketika menempuh kuliah di Jerman.
Ayahnya bekerja di sebuah perusahaan pengiriman barang milik orang Belanda di Makassar. Saat Carla berusia 11 tahun pernah dibawa ke Belanda dengan kapal yang berlayar selama tiga bulan lamanya. Mereka tinggal di Amsterdam selama setahun. Carla sempat menuntaskan pendidikan di tingkat SD di sana kemudian kembali ke Makassar.
Carla kemudian menempuh studi setingkat SMP, HBS Concordante, yang satu kelas dengan Habibie di Makassar. Kericuhan politik terjadi. Ada pemberontakan Kolonel Andi Azis yang menolak Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di Makassar pada 1950. Suasana Makassar kurang aman. Ini membuat ayah Carla memutuskan pindah ke Belanda sampai memasuki masa pensiunnya di Belanda. Carla melanjutkan studinya hingga lulus sekolah menengah pada 1954 hingga melanjutkan kuliah di bidang ilmu sosial di Wilhelms Universitaet, Muenster/Westfalen, Jerman.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F07%2F21%2F1ecf36d1-a0a5-4c94-8d2d-6bc613681962_jpg.jpg)
Carla Bianpoen saat ditemui di rumahnya, kawasan Ciputat, Tangerang, Jumat (21/7/2023).
”Sampai sekarang saya tidak pernah menempuh studi akademis tentang seni rupa. Saya hanya mengalir mengikuti ketertarikan terhadap seni rupa,” ujar Carla, yang juga aktif mengikuti organisasi pemuda dan pelajar asal Indonesia di Belanda dan Jerman.
Dari kegiatan berorganisasi pemuda ini keindonesiaan Carla tumbuh. Suatu kali ia pernah terpilih untuk mengikuti program menyusuri sungai Thames di London, Inggris, program Student of Asia Meets Abroad, selama sepekan. Di dalam program itu peserta diminta mempresentasikan produk seni tradisi asal negara masing-masing. Carla pun mempresentasikan seni tradisi wayang meski tidak pernah diakrabi sebelumnya.
Di masa-masa itu Carla menjalin hubungan dengan Bianpoen, mahasiswa asal Indonesia yang belajar arsitektur di Delft University of Technology, Belanda. Mereka akhirnya menikah di Jerman pada 1960. Waktu itu gejolak politik antara Indonesia dan Belanda terkait perebutan hak atas Irian Barat memengaruhi kebijakan warga Indonesia tidak diperbolehkan menikah di Belanda.
Setahun setelah menikah, Carla dan Bianpoen memutuskan kembali ke Tanah Air pada 1961. Mereka dikarunia dua anak, Mirah Miryatta dan Ranan Samanya, yang sekarang berprofesi sebagai fotografer.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F07%2F21%2F3f273253-8878-4150-b8f9-1c93973804be_jpg.jpg)
Carla Bianpoen, jurnalis, penulis, dan kritikus seni yang meraih penghargaan Roosseno Award 2023.
Setiba di Tanah Air, Bianpoen mengajar di Institut Teknologi Bandung (ITB) lalu berpindah bekerja di bidang pembangunan kota untuk pemerintahan Provinsi DKI Jakarta. Carla mengasuh anak-anaknya hingga beranjak dewasa. Setelah itu Carla memutuskan bekerja di Bank Dunia pada bagian Women and Development sejak 1985 hingga 13 tahun kemudian.
Di sinilah Carla berinteraksi dan membangun jejaring dengan berbagai lembaga swadaya masyarakat perempuan. Carla menjalin relasi dengan tokoh-tokoh pergerakan perempuan seperti Saparinah Sadli, Mayling Oei Gardiner, Nursjahbani Katjasungkana, Bianti Djiwandono, dan sebagainya.
Selain menjalankan tugas yang diembannya, Carla juga mengembangkan hobi menulis. Bahkan, Carla sempat menjadi penulis lepas untuk media cetak harian berbahasa Inggris, Jakarta Post. Carla banyak diminta menulis tentang kegiatan seni apa pun, belum mengerucut pada seni rupa.
Ada kenangan yang cukup berkesan, ketika ditugasi membuat tulisan tentang perupa Teguh Ostentrik yang baru kembali dari Jerman dan waktu itu tinggal di Depok. Ini berkisar di tahun 1988. Teguh memiliki banyak pemikiran seni rupa kontemporer. Sampai-sampai Teguh mendapat julukan petualang metafisika oleh tokoh filsafat Toeti Heraty dan Frans Magnis-Suseno.
Hobi menulis terus berkembang. Bahkan, dalam seminggu Carla bisa menampilkan dua tulisannya terutama tentang seni rupa. Tulisan-tulisan seni rupa Carla banyak dimuat di media massa selain Jakarta Post antara lain Indonesian Times, Indonesian Observer, majalah Garuda,Travel Indonesia, The Jakarta Globe, Visual Arts Magazine, Asian Arts News, Tempo Daily,Tempo English Magazine, ArtRepublik, dan CoBo Social.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F07%2F21%2F418dbf1e-2d66-4647-82b7-39e5a2063b11_jpg.jpg)
Carla Bianpoen
Reformasi
Carla diwajibkan pensiun dari Bank Dunia pada usia 62 tahun atau di tahun 1998, bertepatan masa reformasi bergulir. Di situlah Carla meleburkan diri ke dalam pergerakan perempuan untuk menegakkan mahkota kemanusiaan melalui perjuangan persamaan hak dengan ragam tulisannya.
Jejak penulisan Carla tentang pergerakan perempuan bisa dirunut dari buku Indonesian Women The Journey Continues (2000) yang diedit Carla bersama Mayling Oei Gardiner. Dari seni rupa, kiprah Carla bisa dilihat dari buku Indonesian Women Artists: The Curtain Opens (2007), yang diedit Carla bersama Farah Wardani dan Wulan Dirgantoro.
Kemudian masih ada lagi buku karya tunggal Carla yang diberi judul Indonesian Women Artists: Into The Future (2019). Dari dua buku terakhir ini menjadi tonggak karya perempuan dalam medan seni rupa kontemporer kita.
Peran Carla juga banyak dibutuhkan untuk menjadi dewan juri berbagai perhelatan kompetisi seni rupa maupun kegiatan seni lainnya. Carla pernah menjadi juri Bandung Contemporary Art Award dan juri Penghargaan Akademi Jakarta pada 2016.
Baca juga: Limasan, Metafora Mella Jaarsma
Peran kurator juga dijalaninya. Pada 2013 Carla menjadi anggota tim kurator Paviliun Indonesia di Venice Biennale Arte ke-55 bersama Rifky Effendy. Selanjutnya, di tahun 2015 menjadi penasihat tim curator untuk Venice Biennale Arte ke-56.
Carla dikenal memiliki kemampuan menulis dalam bahasa Inggris yang cukup baik. Tidak heran, tulisan Carla dibutuhkan beberapa institusi seni di luar negeri seperti tulisan Art and The Nation, The Cultural Politics of Soekarno untuk publikasi pameran Beyond the Dutch di the Centraal Museum Utrecht, Belanda. Ada lagi, tulisan Carla berjudul Han Sai Por: The Tao of her Soul untuk katalog Creative Workshop & Gallery di Singapura.
Atas kiprahnya, Carla sempat diberi beberapa penghargaan antara lain dari Visual Arts Magazine, Anugerah Adikarya Rupa dari Pemerintah Indonesia (2014). Hingga terakhir di tahun 2023 Carla mendapat penghargaan Roosseno Award XI.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F07%2F21%2F2a221759-5b6c-4e52-bb29-16df9e808415_jpg.jpg)
Carla Bianpoen
Carla Bianpoen
Lahir: Makassar, tahun 1936
Pendidikan : Wilhelms Universitaet, Muenster/Westfalen, Jerman.
Pengalaman pekerjaan
- 1985-1998: Kantor Bank Dunia, Jakarta.
- 1985-sekarang: penulis lepas seni rupa kontemporer Indonesia.
Penghargaan:
- Majalah Seni “Visual” 2011
- Anugerah Adikarya Rupa Art dari Pemerintah Indonesia 2014.
- Rooseno Award XI 2023