Melihat Sungai Karang Mumus, Samarinda, dewasa ini, Misman (64) bak melihat pameran kebodohan manusia. Ia tergerak untuk membuat gerakan memungut sampah yang mengantarnya meraih Kalpataru tingkat nasional 2023.
Oleh
SUCIPTO
·5 menit baca
Duduk di tepi Sungai Karang Mumus yang berwarna coklat dan mengalir teratur, Misman mengatakan bahwa sungai tersebut bak galeri yang menunjukkan sikap penghuni di sekitarnya. Saat kami berbincang, sejumlah sampah mengambang mengikuti aliran air. Sampah-sampah di sungai itu, kata Misman, adalah pameran kebodohan manusia di sekitar Sungai Karang Mumus.
Ia kemudian bercerita soal kondisi sungai itu pada tahun 1970-an saat dirinya berusia belasan tahun: lebar sungai lebih dari 20 meter, aneka pohon rapat di tepinya, air jernih saat cuaca cerah, dan banyak orang memancing di tepinya. Dalam suasana seperti itu, Misman yang baru duduk di bangku SMP kerap mandi dan berenang di Sungai Karang Mumus seusai sekolah.
Sejauh ingatannya, suasana itu perlahan berubah mulai 1985. Jumlah penduduk Kota Samarinda, ibu kota Provinsi Kalimantan Timur sekaligus tempat Sungai Karang Mumus berada, terus meningkat. Pembangunan dan permukiman baru turut tumbuh, termasuk di Daerah Aliran Sungai (DAS) Karang Mumus. Jalan pun dibangun di kedua sisi sungai itu.
Dengan dibangunnya jalan itu, permukiman banyak dibangun di sekitar jalan yang semula adalah DAS Karang Mumus. Banyak pula yang membangun rumah di atas sungai hingga membentuk perkampungan. Semua faktor itu, disertai tata ruang dan tata kelola sampah yang kacau, membuat Karang Mumus berubah: air keruh kecokelatan, beton di sisi kiri dan kanan sungai, dan nyaris tak ada riparian atau vegetasi di sekitar sungai.
Saat masih menjadi wartawan pada 2015, Misman berpikir, alam tempat tinggalnya sudah teramat jauh berubah. Tak ada lagi anak-anak yang mandi dengan aman di sekitar Sungai Karang Mumus. Sebab, sampah dapur hingga sampah lain sangat mudah dijumpai di sungai sepanjang 34,7 kilometer itu.
Saat itu, ia tergerak untuk memungut dan mengumpulkan sampah di sungai tersebut semaksimal mungkin yang ia bisa. Ia pun membuat monolog yang direkam kamera. Dalam rekaman itu, ia berbicara dengan sungai dan bertanya kenapa kondisi sang sungai seperti itu. Laku memungut sampah mandiri dan aksi teatrikalnya itu membuat beberapa orang menyebut Misman gila.
Namun, tak sedikit pula yang bersimpati dan merasa apa yang Misman kerjakan adalah laku yang semestinya diperbuat. Kegiatan itu kemudian berkembang dengan nama Gerakan Memungut Sehelai Sampah di Sungai Karang Mumus (GMSS-SKM).
Sejumlah teman kemudian membantunya memungut sampah sebisa mungkin di Karang Mumus, salah satu sungai penting di Samarinda sebagai sumber air warga. Beberapa kenalannya bahkan membantu membuat pangkalan pungut sampah di tepi sungai.
Misman mengatakan, kegiatannya itu semata ingin membagikan hal yang ia yakini, yakni manusia dan lingkungannya tak bisa dipisahkan. Saat lingkungan tempat tinggalnya baik, sehat, dan bersih, manusia yang hidup di sekitarnya akan hidup dengan baik dan nyaman.
”Sungai ini kalau airnya kotor bagaimana kualitas ikannya? Apakah sehat dimakan manusia? Apakah sehat air sungai kotor itu diminum manusia? Apakah tanaman bisa tumbuh dengan baik dari air itu?” kata Misman, Jumat (21/7/2023), di Samarinda.
Memperlakukan alam
Dalam konteks tersebut, ia sebenarnya ingin membumikan etika lingkungan, yakni kebijaksanaan manusia dalam memperlakukan alam di sekitarnya sebagai tempat dan sumber kehidupan. Dengan melihat Sungai Karang Mumus saat ini, kata Misman, siapa pun bisa menilai bagaimana etika orang-orang yang hidup di sekitarnya.
Lelaki itu kemudian mendirikan Sekolah Sungai Karang Mumus, didukung sejumlah kawan. Sekolah nonformal itu dibentuk dengan cita-cita sederhana, yakni mengenalkan sungai lebih dekat kepada anak-anak, mahasiswa, guru, dan warga umum. Setelah berbagai gerakan ini ia mulai, banyak pihak mendukungnya.
Orang-orang datang membantu tenaga untuk memungut sampah dan mengajar anak-anak, menyumbang dana untuk membeli perahu dan kebutuhan lain demi kebersihan sungai, hingga membantu membentuk yayasan.
Dengan berbagai dukungan itu, Misman terus berinovasi untuk mengembalikan ekosistem di sekitar sungai. Salah satunya, ia membeli lahan seluas 975 meter persegi di sekitar sungai. Lahan itu ia tanami dengan tumbuhan asli sekitar Sungai Karang Mumus. ”Warga menyebutnya dengan istilah lokal, antara lain pohon kedemba, bengkiraian, siri-siri, dan rumbia,” katanya.
Dengan tepian sungai yang ditumbuhi flora khas itu, lanjutnya, diharapkan kualitas air bisa terjaga. Dengan kualitas air yang baik, satwa sungai akan berkembang dengan baik, salah satunya ikan yang dikonsumsi manusia. Tumbuhan itu juga diharapkan menjadi pencegah alami longsor di sekitar sungai.
Misman sadar, hal yang ia lakukan tak mungkin bisa mengubah banyak kondisi Sungai Karang Mumus. Kendati demikian, ia berharap upaya-upaya kecil itu bisa ditularkan kepada orang lain yang bisa turut mengestafetkan kesadaran mengenai etika lingkungan kepada orang lain di sekitarnya, termasuk penguasa. Sebab, Kota Samarinda adalah salah satu wilayah di Kaltim yang menjadi langganan banjir.
Menurut Misman, ini merupakan salah satu dampak dari etika lingkungan yang luput dipertimbangkan dalam pembangunan. Sebab, sejumlah rawa, DAS, dan tempat air mengalir dijadikan permukiman tapak. Akibatnya, saat hujan turun, daerah-daerah tersebut terendam banjir. Ia mengatakan, hal itu bukanlah bencana karena memang sejak dulu secara alami lokasi tersebut menjadi tempat air menggenang saat hujan.
Dengan berbagai gerakan yang ia lakukan, Misman berharap bisa bertemu banyak orang dan menggali bersama etika lingkungan. Dari sana, ia ingin bergerak bersama dengan sebanyak mungkin orang untuk berbuat sesuatu bagi lingkungannya, dimulai dari sungai sebagai sumber air utama manusia sejak masa silam.