Seda, Kesetiaan pada Tenun Dayak Iban Sungai Utik
Seda setia menenun sampai usia senja. Dia kini menjadi sumber referensi bagi kaum muda yang mempelajari tenun Dayak Iban Sungai Utik.
Seda, warga Dayak Iban di Sungai Utik, Kabupaten Kapuas Hulu, telah menenun sejak usia belasan tahun hingga kini usianya sekitar 80 tahun. Ia ibarat ”perpustakaan hidup” sumber pengetahuan mengenai tenun. Tenun juga dalam momen tertentu diberikan sebagai ungkapan cinta kepada keluarga.
Petang perlahan tiba di Dusun Sungai Utik, Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, Senin (26/6/2023). Di sana terdapat sekitar 285 penduduk Dayak Iban yang sebagian besar tinggal di Rumah Panjang membentang sepanjang 168 meter.
Rumah Panjang Dayak Iban Sungai Utik telah berdiri sejak tahun 1978. Di Rumah Panjang itu pula masyarakat Dayak Iban Sungai Utik merawat identitas dan warisan budaya turun temurun salah satunya tenun.
Seda (80), petang itu beranjak dari tempat tidurnya yang terletak di salah satu bilik Rumah Panjang Dayak Iban Sungai Utik, lalu mendekat ke alat tenun. Sore itu ia menenun untuk membuat selendang. Proses pengerjaannya sudah ia mulai sejak sebulan lalu.
”Sekarang saya mengerjakan tenun pelan-pelan karena usia sudah tua. Saya tidak mampu duduk lama. Kalau lelah, saya istirahat. Setelah itu, saya lanjutkan,” tutur Seda.
Tenun yang sedang ia kerjakan bermotif kepiting dengan sentuhan warna merah. Bahan pewarnaan ia dapatkan dari alam sekitar wilayah adat Sungai Utik. Menurut Seda, pewarnaan tenunnya berasal dari daun dan akar tumbuhan yang diolah secara tradisional sehingga bisa menjadi pewarna menghiasi corak tenunnya. Terpeliharanya hutan di Sungai Utik oleh masyarakat adat Dayak Iban turut menjadi bagian penting dalam kelestarian tenun.
Ada beragam jenis tenun yang ia buat. Dalam bahasa setempat jenis-jenis tenun ada yang disebut, sidan, ikat, sungkit, pileh, subak, dan pileh selam. Seda belajar menenun dari kakaknya sejak ia berusia belasan tahun.
”Kala itu saya juga menyaksikan para orangtua menenun. Hal itu memotivasi saya belajar menenun,” ujar Seda.
Pada mulanya ia belajar yang dasar dengan mencontoh dari kakaknya, yaitu motif tanaman, seperti bunga, pepohonan, daun, dan buah-buahan. Kemudian motif gunung dan garis-garis sederhana. Sebab, ketika masih pemula menenun dimulai dengan yang sederhana.
Seiring waktu ia pun kian dewasa dan mulai bisa menemukan dan bisa membuat motif sendiri. Dari situlah mulai ada kebanggaan dan senang menemukan sesuatu yang baru. Tenun karyanya kala itu dijadikan pakaian. Pakaian dari hasil tenun karyanya juga memiliki nilai spiritual untuk melindungi.
Dalam menenun ada pakemnya. Seorang penenun baru boleh menenun motif level tinggi jika yakin dia lebih kuat secara spiritual daripada motif yang digambarnya. Jika tidak lebih kuat dari motif yang digambarnya, penenun akan mengalami hal yang tidak baik, misalnya sakit.
Motif yang levelnya dianggap tinggi, misalnya motif hantu gerasi, bebuli (pusaran air), ikan kenyulung (ikan buaya raksasa), remaung jangah (hantu penunggu hutan), dan motif manusia. Biasanya memerlukan ritual tertentu sebelum menenunnya. Seda sudah pada tingkatan yang tertinggi dalam menenun.
Dalam memulai suatu motif baru atau naik jenjang dari penenun pemula ke level lebih tinggi ada ritual tertentu. Untuk membuat motif yang tingkat spiritualitas tinggi, penenun muda akan menyalin dari motif tenun yang sudah ada. Penenun juga harus bertanya kepada tetua, seperti Seda, apakah sudah boleh menenun pada level tertentu dan apa saja rangkaian ritualnya.
Sebelum memulai itu, penenun muda akan mencelupkan ujung kain yang akan ia salin ke air dan meminum airnya sambil melafalkan semacam mantera. Dalam proses seperti itu, sosok Seda mendampingi penenun muda agar penenun muda tidak salah.
Jika sewaktu menenun suatu motif, lalu bermimpi buruk, artinya harus berhenti. ”Pernah satu ketika saya bermimpi buruk saat sedang proses menenun sehingga motif saya hentikan. Waktu itu ada orang luar memesan motif buaya. Begitu mulai menenun, mulai bermimpi buruk,” ungkap Seda mengungkapkan pengalamannya.
Tenun juga ada yang menjadi selimut dan diyakini pula bisa melindungi. Sumber inspirasi untuk mendapatkan motif dalam tenun selain mencontoh dari motif-motif sebelumnya. Ada juga motif yang terinspirasi dari kejadian di hutan. Misalnya, suatu ketika pernah berjumpa orangutan yang ingin mengejar. Pengalaman tersebut dijadikan motif tenun.
Seda mengerjakan tenun harus berbagi waktu dengan pekerjaan yang lain. Ketika sedang lelah istirahat sejenak, kemudian dilanjutkan lagi. Menenun juga ada masa-masa pantang. Ketika ada kerabat dekat meninggal, maka keluarga dekat akan berhenti menenun. Demikian juga saat memasuki masa menanam padi biasanya tidak diperbolehkan menenun.
Berdasarkan cerita turun-temurun, kebudayaan orang Dayak Iban Sungai Utik erat kaitannya dengan relasi dengan ”orang kayangan”. Demikian juga dengan tenun, dari cerita turun-temurun, asal mula orang Dayak Iban Sungai Utik bisa menenun belajar dari ”orang kayangan”.
Tenun juga dulunya menjadi warisan keluarga, dibuat untuk dipergunakan sendiri dengan motif yang bernilai sakral dalam tradisi Dayak Iban. Namun, seiring banyaknya kunjungan, banyak tamu tertarik memilikinya. Untuk menyesuaikan permintaan, maka dibuat tenun dengan motif umum yang dapat dipergunakan setiap orang.
Wisatawan yang datang ke Rumah Panjang Sungai Utik ada yang membeli tenun karya Seda karena melihat nilai di balik tenun yang ia hasilkan. Harga tenun yang dibuat Seda ada yang mencapai Rp 3 juta-Rp 6 juta per lembar.
Tenun hadir mewarnai berbagai acara adat dan ritual, mulai dari ritual untuk kehidupan hingga kematian. Makna kain tenun ada nilai prestise. Ketika tenun dibuat sendiri, ada kebanggaan tersendiri karena ketika bisa menenun ada nilai tersendiri bagi perempuan Iban.
Referensi
Seda sebagai sumber pengetahuan bak ”perpustakaan hidup” bagi generasi muda. Dalam hal tenun, Seda bisa dikatakan ”lapisan” terakhir yang pernah mempelajari pengetahuan dan keterampilan tenun langsung belajar dari tetua sebelumnya.
Penenun-penenun yang ada di Sungai Utik rata-rata belajar dari Seda. Kemudian, mereka yang sudah belajar dari Seda akan mengajarkan cara menenun kepada generasi berikutnya juga.
Zaman dulu, biasanya anak-anak duduk di samping orangtua mendengarkan cerita ataupun didampingi Ibu-ibu menenun untuk mulai belajar. Namun, seiring waktu berbagai perkembangan masa kini, anak-anak menempuh sekolah ke luar sehingga interaksi, seperti dulu dengan orangtua semakin jarang.
Seda juga dengan senang hati mengajari generasi muda yang ingin belajar menenun. Sekarang ada beberapa yang belajar menenun dengan Seda sehingga beberapa dari mereka yang belajar kepada Seda sudah bisa menenun.
Ia tidak ingat persis berapa tenun yang sudah ia hasilkan sejak masa muda hingga kini usianya sudah sekitar 80 tahun. Namun, ia memperkirakan sudah ratusan tenun yang ia hasilkan melalui ketekunan dan konsistensinya pada warisan nenek moyang.
Seda membuat tenun juga untuk diberikan kepada sanak keluarga. Kalau keluarganya menikah, Seda menyumbangkan tenun untuk pernikahan kerabatnya. Pada akhirnya, tenun juga sebagai ungkapan cinta kepada keluarga.
Dekorasi dalam pernikahan juga banyak dihiasi kain tenun. Keindahan tenun Iban juga bisa disaksikan dalam busana anak-anak hingga orang dewasa, misalnya dalam prosesi penyambutan tamu suatu pesta ataupun acara-acara adat lainnya. Tenun menjadi identitas dan kebanggaan masyarakat Dayak Iban Sungai Utik serta warisan budaya yang berharga.
Beberapa generasi muda Dayak Iban Sungai Utik kini berinisiatif perlahan mendokumentasikan aktivitas tetua Dayak Iban Sungai Utik, termasuk proses Seda menenun. Dengan demikian, diharapkan generasi mendatang masih bisa mempelajari warisan budaya tersebut dalam bentuk video ataupun karya tulisan.
Biodata
Nama: Seda
Lahir: Sungai Utik, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, tahun kelahiran tidak diketahui
Usia: Sekitar 80 tahun
Profesi: Penenun