Limasan, Metafora Mella Jaarsma
Rumah limasan menjadi karya Mella Jaarsma untuk Artjog 2023. Bagaimana ide itu dibangun?
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F07%2F14%2Ff3238cd8-19e0-459c-8cd9-efc36ccaa994_jpeg.jpg)
Seniman Mella Jaarsma berfoto di dekat karyanya yang dipamerkan dalam ajang pameran seni Artjog di Jogja National Museum, Yogyakarta, Jumat (14/7/2023).
Gamang dalam meneruskan tradisi. Inilah keadaan masyarakat kita yang dipotret Mella Jaarsma (62), seniman asal Belanda, yang sudah hampir 40 tahun lamanya menetap di Yogyakarta.
Mella pun mencomot bangunan rumah tradisi limasan asli untuk memvisualisasikan gagasannya tersebut. Kemudian rumah tradisional masyarakat Jawa itu diisi beraneka macam kostum karyanya yang terbuat dari kain dan kulit kayu, beserta rumah-rumahan kecil beratap ijuk untuk ditampilkan sebagai satu-satunya karya komisi dalam pameran seni rupa Artjog 2023 pada 30 Juni hingga 27 Agustus nanti.
”Pegang tiang limasan itu. Lalu, pikirkan sendiri apa yang terjadi,” ujar Mella di saat agenda seniman berbicara, Kamis (6/7/2023), di ruang pamer Artjog 2023, gedung Jogja National Museum (JNM), Yogyakarta.
Sebelum itu, Mella meminta Kompas menjajal memasukkan telapak kaki kanan ke dalam ceruk umpak salah satu tiang utama limasan. Ia memodifikasi empat batu umpak tersebut masing-masing memiliki satu lubang yang bisa memuat separuh telapak kaki.
Umpak dari bebatuan vulkanis itu dipesan dari seorang pemahat batu di Muntilan, Jawa Tengah. Wujud tatakan tiang kayu rumah limasan itu tak jauh beda dengan umpak-umpak lain. Bahkan, yang dibikin Mella jauh lebih halus dan rapi. Mella hanya menambahkan lubang kecil yang cukup untuk menaruh separuh telapak kaki di salah satu sisi batu umpaknya.
Baca juga: Mata Zaman Eko Nugroho
Ketika umpak dipasang, siapa saja yang meletakkan separuh telapak kakinya ke dalam ceruk umpak tersebut akan merasakan posisi tubuh yang mudah bergoyang. Tubuh menjadi kehilangan keseimbangan. Kedua tangan lantas segera memegang tiang kayunya.
Mella tidak mau bertutur panjang lebar tentang situasi tersebut. Ia meminta siapa saja yang berada pada situasi itu untuk memikirkan sendiri apa yang terjadi. Inilah karya seni rupa kontemporer Mella. Ia tidak mau menerangkan panjang lebar tentang karyanya. Akan tetapi, ia ingin para penikmatnya mengalami karya seninya.
Tubuh yang bergoyang dan kehilangan keseimbangan itulah kegamangan. Kegamangan masyarakat Jawa yang enggan merawat dan memelihara tradisi yang sudah dimiliki. Rumah limasan menjadi segelintir warisan tradisi saja.
Begitu sederhana gagasan berkesenian Mella. Rumah limasan yang kian menghilang mungkin saja sangat biasa bagi seniman dan masyarakatnya. Pembangunan perumahan yang berkembang sangat masif di perkotaan sudah nyaris tidak pernah menggunakan model limasan.
Rumah limasan tersisa di desa-desa. Itu pun sekarang tidak membuat masyarakat desa bangga karena akan merasa seolah lebih maju jika memiliki rumah terbuat dari batu bata dan diplester semen. Konstruksi rumah limasan sendiri didominasi material kayu.

Performans oleh Mella Jaarsma, Abdi Karya, dan Ari Dwianto dalam pembukaan pameran di Krack Studio, 15 Januari 2022.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F10%2F19%2F2379ee21-1776-49f4-aaa7-28a374c8eb5e_jpg.jpg)
I Owe You II yang menampilkan lima kostum kain kulit kayu dari pohon lantung karya Mella Jaarsma dalam Indonesia Contemporary Art and Design (ICAD) ke-12 di Hotel Grand Kemang Jakarta, Rabu (19/10/2022). ICAD tahun ini mengusung tema "Fragmenting Yesterday, Reshaping Tomorrow" menampilkan karya yang disajikan oleh lebih dari 50 peserta. Pameran akan berlangsung hingga 27 November 2022.
Mella melihat segala sesuatu yang menjadi bagian dari tradisi merupakan hasil pemikiran yang mengalami perbaikan dari waktu ke waktu. Rumah tradisi tentu teruji oleh waktu.
”Konstruksi kayu rumah limasan yang fleksibel, bisa dipindahkan, itu sangatlah menarik. Rumah limasan ini memiliki akar budaya masyarakat Jawa, tetapi sekarang mudah dibuang dan tidak dihargai,” ujar Mella, yang lahir di Emmeloord, Belanda, 9 Oktober 1960.
Mella menamai instalasi seni rupa kontemporer untuk karya komisi di Artjog 2023 sebagai ”Outskirts–Underworld” (Pinggiran–Dunia Bawah). Beberapa karya kostum dengan dua lengan berbeda. Mella ingin menunjukkan, untuk sebuah keseimbangan tidaklah harus sama.
”Tidak harus sama untuk mengupayakan keseimbangan antara kota dan desa,” ujar Mella, yang pertama kali datang ke Indonesia sebagai turis pada 1983.
Terobsesi bayangan
Mella mulai menceburkan diri ke dunia seni rupa dengan menempuh kuliah Fine Art, Minerva Art Academy, Groningen, Belanda, pada 1978 hingga 1984. Di setiap tugas karya seninya, Mella selalu terobsesi oleh bayangan.
”Bayangan sebagai bentuk antara imateriil dan materiil. Bayangan yang imateriil itu seperti sinar dan terbentuk oleh benda sebagai materiil,” kata Mella.
Sebelum kedatangannya untuk pertama kali ke Indonesia pada 1983, Mella sudah menciptakan berbagai karya seni rupa kontemporer bertolak dari bayangan. Ketika datang ke Indonesia, khususnya Yogyakarta, Mella terkesima melihat salah satu seni pertunjukan wayang kulit. Mella menemukan bentuk kebudayaan dari pengolahan bayangan.
Baca juga: Kurnia Yudha Fitranto, Film Dokumenter adalah Aliran Darah
Mella segera menuntaskan kuliahnya di Groningen dan ingin segera mengenyam pendidikan seni rupa di Indonesia. Pada 1984, Mella datang dan mendaftarkan diri sebagai mahasiswa di Institut Kesenian Jakarta. Setahun kemudian berpindah ke Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Mella menempuh studi di Yogyakarta pada 1985-1986. Di sanalah dia berjumpa dengan teman seangkatan, Nindityo Adipurnomo, yang menikahinya pada 1988.
Sejak itu, Mella memilih untuk menetap di Yogyakarta sampai sekarang. Ada alasan menarik mengapa Mella tidak ingin kembali ke Belanda.
Ia tidak ingin menjadi seniman di negerinya karena menjadi seniman di sana berarti harus siap-siap berkutat di studio. Aktivitas dan karya mereka jarang terhubung langsung dengan masyarakatnya. Untuk eksis sebagai seniman di Belanda juga membutuhkan perjuangan yang tidak mudah. Itu karena jumlah seniman di Belanda cukup banyak.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F07%2F14%2Fc3a65b17-a9d7-4171-98f4-45d097112f21_jpeg.jpg)
Seniman Mella Jaarsma berfoto di dekat karyanya yang dipamerkan dalam ajang pameran seni Artjog di Jogja National Museum, Yogyakarta, Jumat (14/7/2023).
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F07%2F14%2F3ee0e481-0274-4cc7-af5f-0cecb2aaa60c_jpeg.jpg)
Seniman Mella Jaarsma berfoto di dekat karyanya yang dipamerkan dalam ajang pameran seni Artjog di Jogja National Museum, Yogyakarta, Jumat (14/7/2023).
”Di Yogyakarta, saya bisa merasakan seni yang bisa terhubung langsung dengan masyarakatnya. Saya memilih itu,” kata Mella, yang bersama Nindityo merintis Galeri Cemeti di Yogyakarta sejak 31 Januari 1988. Galeri seni rupa kontemporer itu menghubungkan seniman lokal dengan seniman asing.
Mereka membentuk Yayasan Seni Cemeti. Pada 1995, mereka juga membentuk Indonesian Visual Arts Archive (IVAA) sebagai lembaga yang bergerak untuk pendokumentasian arsip seni rupa di Indonesia.
Kritik sosial
Karya komisi Mella untuk Artjog 2023 menunjukkan kritik sosial yang bertolak dari realitas sosial. Sebelum itu, kurator Artjog 2023, Hendro Wiyanto dan Nadiah Bamadhaj, menghubunginya untuk menampilkan karya komisi yang sama sekali belum terpikirkan untuk menampilkan karya seperti apa.
Perbincangan mereka bersama Direktur Artjog Heri Pemad melahirkan ide untuk menampilkan rumah limasan. Heri Pemad mengacu rumah limasan di Galeri Cemeti, yang kemudian menjadi Rumah Seni Cemeti.
”Rumah limasan di Rumah Seni Cemeti itulah yang menjadi titik awal menampilkan karya saya di Artjog 2023. Kami membeli rumah limasan ini dari desa yang jaraknya hanya sekitar 5 kilometer dari tengah kota Yogyakarta pada 1999,” ujar Mella.
Konstruksi nilai dari rumah limasan kemudian dibangun. Ini menjadi kritik sosial bagi masyarakat yang mulai meninggalkan warisan tradisi ini.
Sebelum-sebelumnya, Mella juga gencar menabalkan karyanya sebagai kritik sosial. Mella menceritakan, pada 1998, saat terjadi berbagai macam kerusuhan dan berujung reformasi, di tengah masyarakat diembuskan isu rasis berupa pribumi dan nonpribumi.
”Pada waktu itu, sebagai orang Belanda yang memilih menetap di Yogyakarta, saya merasa menjadi masalah untuk isu pribumi dan nonpribumi ini,” kata Mella, yang kemudian membuat ekspresi seni rupa kontemporer menggoreng katak di tepi Jalan Malioboro.
Bagi masyarakat di Yogyakarta, katak mengalami dualitas pemahaman sebagai makanan yang layak dan tidak layak untuk dikonsumsi. Mella menggoreng katak di keramaian Malioboro untuk menyentil persoalan dualitas yang semestinya tidak menimbulkan masalah sosial tersebut. Mella berniat mengkritisi isu sosial pribumi dan nonpribumi tersebut.
Tidak berhenti di situ. Berikutnya, Mella membuat pertunjukan seni rupa kontemporernya dengan membentuk kostum kerudung menggunakan empat bahan meliputi kulit katak, kulit kaki ayam, kulit ikan, dan kulit kanguru. Mella menunjukkan persepsi-persepsi yang berkembang di tengah masyarakat yang berbeda-beda. Di situlah dibutuhkan sikap untuk saling mengerti dan toleransi.
Kritik sosial dari setiap karya Mella terasa halus, tetapi menyengat. Dari karya komisi Artjog 2023 yang diberi judul ”Outskirts–Underworld”, ia menyebut kritik sosialnya untuk masyarakat kita yang sudah lupa dengan kekuatan sendiri. Masyarakat mudah membeli yang baru dan mudah membuang yang lama.
Mella melihat seni memiliki fungsi nyata bagi kehidupan masyarakat. Ia ingin setiap karya seninya memberi dampak nyata.
Mella Jaarsma
Lahir: Emmelord, Belanda, 9 Oktober 1960
Pendidikan:
- Fine Art, Minerva Art Academy, Groningen, Belanda (1978-1984)
- Institut Kesenian Jakarta (1984)
- Institut Seni Indonesia Yogyakarta (1985-1986)
- Riwayat pameran: Karya komisi Artjog 2023 ”Outskirts–Underworld”, Yogyakarta (2023)
Performing artifacts:
- Objects in Question, Roh Projects, Jakarta (2022)
- The Size of Rice, A+ Works of Art, Kuala Lumpur, Malaysia (2021)
- South-South Platform Digital with Roh Projects, Jakarta
- A Roof over Your Head, Kedai Kebun Forum, Yogyakarta (2020)
- In Ravel Out, Res Artist Project Space, Melbourne, Australia (2019)
- The Carrier, presented by A+ Art Malaysian Art Expo, Kuala Lumpur, Malaysia (2019)