Mula dan Muara Edy Khemod
Edy Khemod menjalani karier musiknya dari penggebuk drum hingga ke dunia audio visual, ”event” musik, hingga konser musik.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F07%2F06%2F48ec9230-078f-487e-bd63-a4c0d77648e1_jpg.jpg)
Edy Khemod, drumer Seringai
Musik adalah esensi dari seluruh perjalanan hidup Edy Khemod (45). Dimulai pada saat menggebuk drum untuk pertama kalinya ketika duduk di kelas 5 sekolah dasar hingga menjadi penggebuk drum Seringai, lalu melompat ke dunia audio visual dan mengakrabi event-event musik hingga menangani Raisa Live in Concert di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK). Bagi Khemod, musik adalah mula serta muara.
Edy Khemod terlahir dengan nama Edy Susanto. Secara populer, Khemod lebih dikenal sebagai penggebuk drum band rock beroktan tinggi, Seringai, yang diawakinya bersama Arian, Ricky Siahaan, dan Sammy Bramantyo.
Di luar itu, Khemod banyak berkegiatan kreatif bersama Rumah Produksi Cerahati. Salah satu produknya adalah penggarapan videoklip musik band-band independen Tanah Air.
”Ternyata emang benang merah dari semuanya itu musik. Gue paling comfortable ketika gue bikin output yang related to music,” tutur Khemod, Kamis (6/7/2023) sore, di Jakarta Selatan.
Sore itu, kami berjumpa di kafe Tokonoma milik salah seorang kakaknya, Mono, di kawasan Fatmawati. Mono adalah satu dari lima Khemod yang berperan mengenalkan musik pada si bungsu Khemod. Mereka semua enam bersaudara.
”Kakak-kakak gue emanginto banget sama musik, terutama progressive rock. Genesis juga musik-musik keriting kayak Chick Corea. Pas kecil gue justru terpapar sama musik-musik kayak gitu,” ujar Khemod.
Pengalaman musiknya dimulai di bangku kelas 5 SD, di acara 17-an, tongkrongan, skate park, bazaar SMA hingga main di kafe sejak duduk di bangku SMA sampai kuliah. Hasilnya, dia gunakan untuk melunasi uang sekolahnya sendiri. ”Gedenya di jalan. Kayaknya gue enggak pernah minta les, beli alat sama nyokap. Gue bisa beli dari duit manggung, juga band kafe,” kenang Khemod yang sebelumnya lebih aktif bermain band di GOR Saparua bersama komunitas underground.
Sementara, pengalaman sebagai event organizer (EO) diperolehnya justru saat SMP. Ia kerap terlibat sebagai EO di event-event sekolah, juga terlibat dalam banyak kegiatan yang dilakukan Depot Kreasi Seni Bandung Harry Roesli mengikuti kakak-kakaknya.
“Gue beruntung karena mengalami banyak fase yang memperkaya gue saat membuat satu konsep, mulai dari yang analog sampai sekarang zaman sudah mau AI,” katanya.
Sementara, Cerahati dibangun dari kumpulan ”tongkrongan” saat masih berstatus mahasiswa, tak benar-benar dari niat mendirikan rumah produksi.
”Benar-benar anak-anak begajulan yang nongkrong di satu rumah terus senang bikin audio visual. Tahu-tahu dapat proyek karena mereka tahu tongkrongan ini seneng ngulik video, senang ngedit. Tahun 2002 karena cuma punya duit Rp 5 juta bikin stop motion untuk video musik Mocca. Enggak ada shooting-nya, cuma foto digerak-gerakin pakai master effect. Ngulik dulu oh gini caranya. Semua journey yang gue lakoni ini selalu jadi modal buat selanjutnya,” katanya.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F07%2F06%2F30c91b11-004c-4980-ab4f-78a64b89ac86_jpg.jpg)
Edy Khemod
Jadi lem
Tentu bukan kebetulan bila Khemod kemudian mendapat tawaran dari Project Director Juni Concert, Adryanto Pratono, untuk menjadi show director bagi hajatan besar Raisa di Stadion Utama Gelora Bung Karno pada Februari 2023. Terlebih, Khemod juga disandingkan dengan talenta-talenta terbaik negeri ini seperti Ezar P Darnadi (Stage & Ligthing Designer), Marco Steffiano (Music Director), Isha Hening (Visual Director), dan Aji Yudistira (Film & Video Director).
“Gue coba mencerna peran gue akan apa di situ. Karena oke gue punya pengalaman di EO, gue pelaku di industri pertunjukan juga tapi sebagai performer, gue sering berkegiatan kreatif, tapi sebagai show direct gue enggak pernah,” lontar Khemod.
Pada satu titik Khemod kemudian melihat, tawaran itu jatuh kepadanya karena dengan latar belakangannya yang komplet itu, event, musik, dunia pertunjukan dan creatif direction, dia bisa mudah masuk dan berkomunikasi ke banyak orang yang terlibat. ”Jadi ibaratnya dalam satu forum diskusi ada Marco, ada Ecang panggung, ada Isha bikin konten visual, gue bisa ngobrol ke semua. Co kayaknya intro yang di sini dipanjangin karena di sini mau ada transisi gini-gini. Marco bisa mendengarkan gue karena dia tahu background gue di musik. Di Isha gue juga bisa ngomong, ’Sha kayaknya nanti visualnya gini-gini karena akan gini-gini’. Isha tau gue punya knowledge juga soal itu. Ke Ecang gue juga bisa ngomong yang sama. Jadi karena gue bisa holistic, 360 (derajat),” katanya.
Tugas utamanya adalah membuat flow atau grafik pertunjukan dengan payung kreatif yang akan menjadi arah dan kemasan konser Raisa. Dialah yang menemukan narasi herstory.
“Konsep itu permainan kata antara history sama herstory, cerita dia. History-nya adalah Raisa sebagai penyanyi solo cewek pertama yang perform di GBK. Itu udah sebuah sejarah yang lalu diaplikasikan ke produksi," jelasnya.
Misalnya, Ecang bereksperimen membuat panggung paling besar yang bisa dibuatnya. Isha membuat full visual yang terus bersambung di lagu ”Nyawa dan Harapan”, juga Raisa yang mendadak belajar dance. "Jadi gimana konteks sejarah itu di-apply ke pencapaian-pencapaian di produksi,” tutur Khemod.
Dari sisi herstory adalah bagaimana kisah-kisah personal Raisa diselipkan ke dalam pertunjukan. Seperti di lagu ”Serba Salah” di mana Raisa bercerita tentang perjuangannya ”masuk” ke GBK, juga cerita personalnya dengan sang anak, Zalina, yang idenya sebenarnya muncul dari Khemod secara dadakan dan menjadi kejutan bagi Raisa.
Akhirnya, meski terkendala karena pandemi, juga bentrok dengan hal-hal lain, konser Raisa di GBK berhasil menyuguhkan konser skala stadion yang megah. Konser itu juga berhasil menyuguhkan pertunjukan yang hangat dan intim meski digelar di tempat yang besar.
”Kalau gue enggak bekerja sama individu-individu terbaik di industri pertunjukan ini enggak akan jadi. Gue mah cuma jadi lem doang yang kebetulan deket sama semua, bikin jadi ngelem dari seluruh proses karena sebenarnya masing-masing ngasih ide,” imbuh Khemod.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F07%2F06%2F2623b023-f9f3-44d6-9ac1-7f75e4b76714_jpg.jpg)
Edy Khemod
Kulminasi
Bagi Khemod, menggarap kanvas sebesar GBK yang belum pernah dia tangani sebelumnya, tak urung membuatnya tegang. Dia ingat bagaimana proses kreatifnya berlangsung cukup berat. Khemod bermalam-malam mendengarkan lagu-lagu Raisa sambil ”bersemedi” untuk mendapatkan essence terbaik. ”Nyari essence ini yang lama, yang paling nerve wracking buat gue. Lebih bikin mules,” katanya.
Beruntung, Khemod dan Raisa kenal baik secara personal sejak bertahun-tahun lalu. Malah bisa dikatakan, GBK jugalah yang menjadi pengikatnya.
”Jadi ini full circle. Raisa nganterin gue ke GBK, gue nganterin Raisa ke GBK. Raisa nganterin Seringai ke GBK ketika Seringai ngebuka Metallica 2013. Kita ngajak Raisa nyanyi ’Indonesia Raya’. Kita bareng-bareng pertama kali di GBK,” kata Khemod. Sepuluh tahun kemudian, giliran Khemod yang mengantar Raisa ke GBK.
Meski prosesnya menantang, dia berhasil melewatinya. ”Ketika udah masuk ke pelaksanaan sih yang mules mereka. Gue cuma menikmati aja bagaimana fantasi gue jadi kenyataan,” katanya.
Dia yakin, jika sesuatu sudah jodoh, sudah jadi rezekinya, tidak akan lari ke mana. Bahwa sebelum menuju ke GBK banyak sekali kendala, Khemod sejak awal sudah berani menerima tantangan yang diberikan kepadanya karena tak pernah ada kata tak bisa di dalam kamusnya.
Kenekatan ini, katanya, menurun dari ibunya yang asal Banyuwangi. ”Karena Banyuwangi, ada nekatnya. Secara kultural gue Bandung banget, tapi mungkin mentally bonek,” katanya bergurau.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F07%2F06%2F029c1fc9-756f-40da-8290-3d292ae50319_jpg.jpg)
Edy Khemod
Baginya, ini juga merupakan kulminasi dari seluruh proses kreatifnya selama ini. Ia menerima tawaran itu karena yakin ada hal yang jauh lebih besar dari dirinya. Dan dia harus menjadi bagian dari hal besar itu.
”Di luar pihak-pihak yang membantu, challenge-nya banyak banget. Mulai dari pandemi, harus balikin tiket segala macem, terus izin, begitu dapat izin, ada masalah penggunaan lapangan. Lagi ngebangun panggung tahu-tahu dipakai pertandingan. Kayak gitu-gitu. Harus cepat-cepat beresin karena mau piala ini. Eh enggak jadi. Silly banget pokoknya. Kalau di luar kan jelas ya aturannya soal penggunaan, siapa yang masuk jadwal duluan ya udah. That’s it,” katanya.
Toh, seluruh tim tabah menghadapi semua meski tim panggung Ezar terpaksa berhenti total membangun panggung selama delapan jam, menunggu pertandingan bola selesai. ”Jadi dia lost delapan jam dari harusnya dia ngebangun. Yang kayak gitu-gitu kan gimana enggak bikin kesel, tapi dikejar aja ama anak-anak. Jadi aneh. Masalah teknis enggak, masalah penjualan tiket enggak juga, sisanya faktor X, politis, kesehatan anak. Kita bisa apa?” lontarnya.
Kembali lagi, jika sudah jodoh atau rezeki, semua tak akan lari. Merujuk pada konser Raisa, dia yakin pelaku industri pertunjukan di Tanah Air mampu menyelenggarakan konser skala stadion. “Dari segi kemampuan jelas mampu. Ecang bisa kok bikin panggung lebih bagus dari panggung Blackpink. Gue lihat sendiri side by side. Tapi ngomongin infrastruktur dan legalitas, it’s different topic,” katanya.
Baca juga: Kurnia Yudha Fitranto, Film Dokumenter adalah Aliran Darah
Menurut dia, GBK bisa mendatangkan keuntungan besar dengan penggunaannya. Dengan demikian, fasilitasnya pun menjadi lebih terpelihara. “Coba kalau mereka lebih regular buka untuk publik, dengan hitungan yang jelas, dengan legalitas yang jelas. Sekarang gimana caranya GBK bayar perizinanannya sekian, tapi untuk jalan masuk, beda lagi bayarnya. Terus kalau gue bikin acara gimana enggak ada akses? Ya lo bayar lagi. Jadi kemarin itu, GBK adalah GBK, tiap pintu beda-beda lagi pengelolanya. Kenapa harus sekompleks itu?” katanya.
Dengan situasi paling mutakhir, di mana Coldplay hanya main sekali di GBK, sementara Taylor Swift bahkan tidak main sama sekali di Indonesia, Khemod melihat salah satunya juga karena hal-hal seperti itu. Di Singapura, pemerintahnya bisa memberikan penawaran yang lebih baik.
Secara pribadi, Khemod tak mau banyak berharap. Terlalu banyak berharap katanya juga tak sehat. Menurut dia, hal yang harus diubah terlalu mendasar.
“Sok orang kacauin aja negara ini. Maksudnya dalam konteks kalau bisa akalin, bisa bikin sesuatu, akalin aja. Kalau bisa ngakalin show di GBK, akalin aja. Jangan biarkan kekacuan struktural menghalangi lo berkarya,” katanya.
Sementara ini, Khemod lebih memilih fokus pada apa yang ada di depannya. Ada banyak hal yang masih ingin dikerjakan. “Pengin banget bikin film dengan background musik. Jadi ada challenge. Tapi apakah ada kesempatannya, mungkin. Bisa? Bisa!!” tegas Khemod yang dalam waktu dekat akan menjadi show director sebuah festival musik untuk menggarap special show di salah satu panggung mereka.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F07%2F06%2Feb37444c-c3b5-462e-8452-419d57812e2e_jpg.jpg)
Edy Khemod
Edy Susanto
Lahir: Bandung, 4 November 1977
Pendidikan terakhir: FSRD, ITB, Fakultas Desain Produk (lulus 2003)
Pengalaman: Show Director & Creative team Raisa Live in Concert di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Creative & Movie Director di Cerahati Artwork (videoklip & iklan), Menggarap videoklip Fourtwnty (Larasuka), Seringai (Adrenalin Merusuh), the Panturas (All I Want)
Penghargaan: Bersama Seringai menjadi opening act Metallica di Stadion Utama Gelora Bung Karno tahun 2013, AMI Award Best Metal Production 2018/2019