Gita Mengalunkan Kepedulian
Lantaran berasal dari keluarga kurang mampu, kiriman uang untuk Brigitta Hardi saat kuliah tak memadai. Ia pernah sampai mengalah dengan anjing milik neneknya.
Lepas dari profesinya di perusahaan bonafide, penghidupan Brigitta Hardi (40) meredup, tetapi tak demikian dengan kehidupannya. Ibu dua anak tersebut bahagia dapat berbagi lewat aktivitas sosial bersama anak-anak, yoga, hingga musiknya.
Gita, demikian sapaannya, dengan mantap menyapa penonton untuk membuka ”Tentang Senja” yang dihelat program musik Nyarigigs. Bukannya membetot perhatian, mikrfon malah tak menyala. Ia sedikit berjoget untuk menetralkan ambiguitasnya seraya tertawa.
”Hai. Selamat malam semua. Marilah kita bergoyang,” kata Gita untuk mengawali ”Mesra”, kreasinya yang diluncurkan lima tahun silam. Pentas yang bergantian dilaburi sorotan lampu bergradasi hijau, biru, dan merah itu lambat laun kian meriah dengan mendekatnya penonton.
Gita dengan sorot mata berbinar mengajak anak bungsunya yang menonton di depan panggung untuk turut berlenggak-lenggok. ”Terima kasih Nyarigigs. Kita bisa ketemu lagi untuk bersenang-senang,” ujarnya di Tangerang, Banten, Sabtu (17/6/2023).
Ia ikut memampangkan kecintaannya terhadap khazanah musik Tanah Air. Maka, mengalunlah ”Bengawan Solo” yang diimbuhi kerancakan perkusi untuk menebarkan nuansa jaz. Gita menyusul dengan lagunya yang belum dirilis, ”Aduhai Sayang”, sekaligus mengajak pendengar tak bersedih.
Ia menggenapi pertunjukannya dengan ”Gita Cita dan Harapan” yang klip videonya baru diunggah sekitar tiga bulan lalu. Gita merayu penonton untuk tetap berdansa dengan kelincahannya bersamba. Solois itu belum beranjak dari panggung untuk melatari nyanyian rekannya, Fiko Nainggolan.
Malam makin larut, pengunjung kian menyemut. Gita menari dengan kenes diselingi melonjak sesekali. Para penampil tersebut menyudahi aksinya selama hampir satu jam hingga sekitar pukul 22.00. Seusai menuntaskan empat lagu, mereka mengaso dan berswafoto.
Kurang mampu
Gita telah malang melintang di belantika musik Nusantara dengan menggubah hampir semua lagunya. Selain pergelaran macam Mandiri Senggigi Sunset Jazz 2018 di Nusa Tenggara Barat, pentas mancanegara dijejaki pula dengan konser di Esplanade, Singapura, Mei 2023.
Gita menikmati kiprahnya dengan tak mengotak-ngotakkan genre. Pop, melayu, sampai keroncong ia nyanyikan dengan senang hati. ”Lagu-lagu Betawi juga asyik. Aku suka lagu mendayu pakai cengkok berbelok-belok yang nadanya naik turun,” ucapnya.
Gita yang menerbitkan album mini Pulang tahun 2020 itu juga menggeluti musik sejak dini. Sewaktu TK, ia dimasukkan ayahnya dalam paduan suara. ”Aku ikut band keluarga. Selain kerja, bapak kalau akhir pekan main musik. Jadi, dari kelas 5 SD sebenarnya aku sudah ikut cari uang,” katanya.
Ia memang berasal dari keluarga kurang mampu. Demi menambah penghasilan, bocah itu meramaikan pernikahan dengan lagu-lagu lawas. Saat berusia sekitar 10 tahun, Gita mewakili sekolahnya mengikuti lomba antarsekolah yang disiarkan TVRI dan menggondol juara pertama.
”Aku enggak punya baju bagus sampai dibantu guru-guru. Hadiahnya piala dan uang Rp 75.000 yang kubelikan sepatu dan seragam,” kenangnya. Ia terus melaju hingga mengecap festival dunia perdananya bersama paduan suara Universitas Sebelas Maret, Voca Erudita, di Jerman, tahun 2002.
Impian menjadi dokter terpaksa dipendam lantaran biaya yang tinggi. Kuliah di perguruan tinggi negeri saja bisa dilakoni berkat rumah neneknya di Solo, Jawa Tengah, yang ditumpangi Gita. Ia dikirimi ayahnya Rp 20.000 saja per minggu.
Jika kuliah sampai sore, Gita hanya mampu membeli nasi dan tempe penyet. Tak berarti ia dimanja neneknya yang hanya mengandalkan uang pensiun suami. ”Pernah, di rumah ada hati ayam. Mau kugoreng, enggak boleh sebab buat anjingnya nenek. Jadinya, aku makan mi instan,” katanya sambil terbahak.
Gita tak sudi berpangku tangan saja. Ia menentang nasibnya dengan melamar sebagai penyiar radio ketika semester dua. ”Diterima. Sampai kaget gajiku Rp 350.000 per bulan, tapi nenek keras. Aku enggak boleh foya-foya. Uangnya dipakai mencicil motor Rp 300.000 per bulan,” ucapnya.
Seusai lulus, ia menekuni beberapa karier hingga lumayan moncer bekerja di korporasi minyak dan gas dengan finansial tergolong mapan. ”Pukul 05.30 sudah jalan. Pulang pukul 22.00 kalau acaranya malam banget. Sampai fasenya fluktuatif, aku overthinking (berpikir terus-menerus),” katanya.
Kadang-kadang, Gita tak sabar sampai sulit mengontrol emosi. Ia pun dibayangi trauma masa lalu meski tak menjelaskan lebih jauh. ”Aku insomnia. Enggak bisa tidur sampai pukul 03.00. Tahun 2018, akhirnya aku keluar. Mungkin klise, tapi aku pengin berguna buat orang lain,” ucapnya.
Tak digaji
Kali ini Gita mengalunkan kepeduliannya. Ia bersedia diajak sobatnya mengurus Tangan Kecil Foundation yang mengajarkan anak-anak untuk membantu sesama. ”Aku banyak mengurus program, tapi bisa dibilang serabutan. Enggak ada sepeser pun masuk kantong pribadi,” ujarnya.
Gita dan rekan-rekannya tak digaji. Mereka menggandeng donatur cilik untuk menabung uang receh atau sisa jajan dengan celengan dan berlari untuk beramal. ”Justru kalau agendanya besar, pengurus keluar duit. Mau bikin apa, sikat, tapi selalu ada teman-teman yang bantu,” ucapnya.
Saat ini, jumlah partisipan sekitar 50 anak. Jika dijumlah sejak tahun 2015, sekitar 300 anak sudah berpartisipasi. ”Kalau celengan, ditulis, misalnya Rp 250.000. Nanti, dicek lagi. Tangan sampai hitam-hitam karena menghitung koin,” ucapnya sembari terbahak.
Anak-anak pun sempat diajak membuat masker. Sewaktu pandemi merebak, mereka dibelikan bahan dan mengolahnya untuk dibagikan kepada pedagang-pedagang tradisional. ”Sampai 1.000 masker yang terkumpul. Mereka juga pernah kumpulin buku untuk perpustakaan,” katanya.
Gita kini jauh lebih tenang, tak hanya karena bisa berempati, tetapi juga dengan yoga yang didalami sejak tahun 2010. ”Membantu banget, terutama untuk healing (pemulihan). Tadinya, aku yoga karena posenya keren. Ternyata, aku menemukan kedamaian,” katanya.
Ia mengambil sertifikasi mengajar yoga untuk relaksasi tahun 2015 yang diseriusinya setelah berhenti bekerja. Pertemuan selama total 200 jam sudah dilalui. ”Aku dipercaya jadi mentor. Masih mau ambil program 300 jam, tahun depan,” ucapnya.
Ia meyakini bisa menebar manfaat lewat musik dan yoga. Musisi yang mengidolakan Vina Panduwinata, Ruth Sahanaya, Mariah Carey, dan Whitney Houston itu juga hobi membaca buku. Gita memfavoritkan Ayu Utami, Dewi Lestari, Sindhunata, dan Paulo Coelho.
Ia sama sekali tak dilanda gegar budaya saat harus kehilangan penghasilan kantorannya. Gita berprinsip, mansuai tak hanya hidup dari roti. ”Aku suka dibilang ndeso. Dulu, punya uang saja makan di kantin kantor. Pakai hati ayam dan bayam cukup,” ujarnya diiringi gelak.
Brigitta Hardi
Lahir : Solo, Jawa Tengah, 29 Juni 1982
Pendidikan :
SD Xaverius 1 Palembang, Sumatera Selatan
SMP Xaverius 6 Palembang, Sumatera Selatan
SMA Xaverius 1 Palembang, Sumatera Selatan
S-1 Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret