Damai untuk Kaum Difabel
Ada dua faktor yang membuat Noviana, sapaan Noviana Dibyantari, menaruh kepedulian pada kaum difabel. Pertama, salah seorang anaknya difabel. Kedua, ketika kecil ia melihat ayahnya membantu kaum difabel.

Benedicta Noviana Dibyantari, pendiri dan pengelola Roemah D untuk difabel.
Bertahun-tahun Benedicta Noviana Dibyantari (58) dan kawan-kawan memperjuangkan nasib kaum difabel lewat Roemah D. Mereka ingin kaum difabel bisa hidup mandiri dan bermartabat.
Ada dua faktor yang membuat Novi, sapaan Noviana Dibyantari, menaruh kepedulian pada kaum difabel. Pertama, salah seorang anaknya difabel. Kedua, ketika kecil ia melihat ayahnya membantu kaum difabel.
Suatu hari ketika Novi duduk di bangku SD, ia menyaksikan ayahnya, RY Soegihartono, mengajak pulang sepasang suami-istri yang menggelandang di jalan. Sang istri adalah difabel netra. Agar mereka tidak menggelandang lagi, Soegihartono, membuatkan gubuk di halaman rumahnya di Semarang. Mereka tinggal di sana bertahun-tahun, berdampingan dengan Soegihartono dan keluarga. “Saya ingat kejadian itu sekitar 1978–1979,” ujar Novi, Selasa (7/3/2023).
Pada lain waktu, Soegihartono yang bekerja sebagai pedagang sarana produksi pertanian, mengajak pulang seorang gelandangan lainnya. Sampai sekarang Novi masih mengingat nama dan asal daerah gelandangan yang ditolong ayahnya itu, Yosua dari Papua.
Setiap mengingat kejadian itu, hati Novi tersentuh. Ia melihat kepedulian ayahnya terhadap kaum difabel dan orang-orang yang kurang beruntung, sebagai bentuk kesalehan. Saat itu, ia tidak menduga bahwa ketika dewasa ia akan mengikuti jejak ayahnya.
Awalnya lantaran Novi dikarunia anak ketiga, Agustinus Trias Saputra, yang terlahir sebagai difabel intelektual pada 1994. Uta, panggilan akrab anaknya, hanya memiliki skor tingkat kecerdasan (IQ) 55 dari lazimnya di kisaran 90. “Di usia dua tahun, Uta belum bisa bicara dan berjalan,” cerita Novi.
Ketika mau masuk SD, Uta masih kesulitan menirukan bunyi. Novi berusaha keras mengajarkan Uta mengucapkan vokal a, i, u, e, o. Tetapi, dalam beberapa menit saja, Uta sudah lupa cara mengucapkannya. Dari pengalamannya itu, ia tahu benar beratnya membesarkan dan mendidik anak berkebutuhan khusus. Apalagi, Novi juga menjalankan peran ganda sebagai ibu rumah tangga dan pekerja. Pada 2007, ketika ia telah dikaruniai enam anak, ia berpisah dengan suaminya, perannya makin berat karena ia jadi orangtua tunggal.
Untuk memenuhi kebutuhan mereka, Novi pindah kerja ke Jakarta. Tetapi ia tidak bisa membawa serta anak-anaknya. Ia terpaksa menitipkan empat anaknya ke saudara ipar dan orangtua Novi. Dua anak lainnya, yakni Uta dan adiknya yang nomor empat, dititipkan ke sebuah panti asuhan.
Ketika mendengar Uta dan adiknya dititipkan di panti asuhan, mantan suaminya keberatan. Ia menjemput mereka lalu mengembalikan kepada kedua orangtua Novi di Semarang. Novi tidak bisa berbuat apa-apa hingga akhirnya ia memutuskan untuk menjemput Uta ke Jakarta.
“Uta di Jakarta sempat saya ajak beraktivitas di kantor supaya dekat saya dan saya bisa memperhatikannya dengan lebih baik,” kata Novi.
Harapan Novi hanya berlangsung sejenak. Ketika Uta dianggap tidak bisa melakukan sesuatu sesuai harapan pengelola perusahaan tempat Novi bekerja, ia terpaksa dipulangkan ke Semarang.

Benedicta Noviana Dibyantari, pendiri dan pengelola Roemah D untuk difabel.
Pada 2008, Novi memutuskan kembali ke Semarang agar bisa berkumpul dengan anak-anaknya. Ia sempat bekerja di beberapa lembaga pendidikan. Di sela-sela pekerjaannya, ia bertemu dengan beberapa orangtua yang juga memiliki anak-anak difabel. Bersama mereka, pada 2014, Novi mendirikan Roemah D, sebuah ruang bagi difabel untuk berkegiatan dan berkarya. Novi menuturkan, huruf D pada nama Roemah D, punya dua makna yakni difabel dan damai. Lewat Roemah D, Novi dan kawan-kawan ingin menciptakan rumah yang damai bagi difabel apapun latar belakangnya.
Salah satu kegiatan unggulan Roemah D adalah pelatihan menjahit. Dengan keterampilan itu, difabel di Roemah D bisa memproduksi masker kain, tas, pakaian, dan sebagainya. Karya mereka dibeli sejumlah perusahaan lewat program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).
Hingga saat ini, Roemah D telah mengasuh sekitar 120 difabel yang terdiri dari difabel tuli, netra, intelektual, daksa, dan panyandang keterbatasan fisik lainnya. Sebanyak 35 orang telah ditampung dan bekerja di berbagai perusahaan di Semarang dan sekitarnya. Di luar itu, ada 25 difabel yang berhasil menjadi pekerja mandiri, termasuk melukis. Sebanyak 20 difabel dalam kategori berat tetap berada di tengah keluarga masing-masing dan didampingi sukarelawan. Sisanya sekitar 40 difabel berkarya di Roemah D.
“Anak saya, Uta, juga bekerja di Roemah D. Ia menjadi sopir untuk menjemput dan mengantar pulang rekan-rekan kerjanya di Roemah D,” kata Novi tentang Uta yang sekarang berusia 29 tahun.
Belakangan Novi dan kawan-kawan membantu advokasi hak-hak difabel. “Kami menyisihkan sebagian ruangan di Roemah D untuk kantor lembaga bantuan hukum, khususnya untuk pembelaan secara hukum atas hak-hak difabel,” ujar Novi yang memutuskan keluar dari pekerjaannya pada 2021 agar bisa fokus mengurus Roemah D.
Baca juga: Kuat, Edukasi dari Kolong Jembatan
Langkah itu dipicu oleh adanya perlakuan diskriminatif terhadap difabel netra asal Pekalongan, Muhammad Baihaqi. Baihaqi, sarjana ilmu matematika murni Universitas Negeri Yogyakarta, itu telah diputuskan lolos seleksi calon pegawai negeri sipil pada 2019. Tetapi keputusan itu dicabut kembali.
Bersama LBH Semarang, Novi memperjuangkan hak Baihaqi lewat jalur hukum. Pada akhir 2021, Mahkamah Agung mengabulkan kasasi Baihaqi untuk kembali diterima sebagai pegawai negeri sipil.
Kiprah Novi memberdayakan difabel mendapat apresiasi dari sejumlah lembaga. Ia antara lain mendapat penghargaan dari Perhimpunan Indonesia Tionghoa Jawa Tengah sebagai Inisiator Sinergitas Inklusif dan Kesetaraan Hak Penyandang Disabilitas di Provinsi Jawa Tengah pada 2022. Pada 2019, stasiun televisi dan situs berita CNN menyiarkan aktivitas Novi ke dalam program Indonesian Heroes. Novi sebagai pahlawan bagi kaum difabel. Dua tahun sebelumnya, ia mendapat penghargaan Wanita Hebat dari Pemerintah Kota Semarang.
Lepas dari semua itu, sepak terjang Novi dan kawan-kawan membuat banyak difabel bisa berkarya dan hidup mandiri dengan bermartabat.
Benedicta Noviana Dibyantari
Lahir: Semarang, 28 November 1964
Pendidikan: Fakultas Ekonomi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta (1983–1988)
Penghargaan:
- Penghargaan Wanita Hebat Kota Semarang (2017)
- Indonesian Heroes untuk program CNN (2019)
- Penghargaan INTI Awards dari Perhimpunan Tionghoa Indonesia Provinsi Jawa Tengah (2022)