Aspar Jaelolo, Mimpi Besar Sang Pemanjat
Pemanjat Indonesia, Aspar Jaelolo, menunjukkan mental baja seorang pemanjat. Dia tak kalah oleh hambatan yang datang bertubi, salah satunya cedera. Itu karena pupuk mimpi besarnya ingin meraih emas Olimpiade 2024.
Dalam lirik lagu ”Pemanjat” karya Iwan Fals pada 1996, pemanjat digambarkan bukan sekadar orang berfisik kuat, melainkan pula berjiwa liat dan bernyali besar. Mental itulah yang dimiliki pemanjat andalan Indonesia, Aspar Jaelolo (34). Dengan segala hambatan bertubi yang dihadapinya di pengujung karier, antara lain cedera putus tendon jari tengah tangan kanan pada akhir 2019, Aspar mampu bangkit dan kembali lebih kuat bahkan lebih baik. Semua itu berkat mimpi besar yang terus dipupuknya, yakni meraih medali emas Olimpiade sebelum pensiun sebagai atlet.
”Hati-hati dengan atlet-atlet kalian, saya sudah kembali,” ujar Aspar bercanda dengan rekan-rekan pemanjat asing yang menyoraki seusai dirinya memastikan meraih emas nomor perlombaan speed seri ke-12 Piala Dunia Panjat Tebing 2022 di SCBD Park, Jakarta, Minggu (24/9/2022).
Patutlah Aspar bersukaria dengan prestasi tersebut. Setelah terakhir kali meraih emas Piala Dunia dalam seri ke-13 di Wujiang, China, 21 Oktober 2018, Aspar akhirnya kembali berdiri di podium tertinggi empat tahun kemudian.
Bahkan, dalam Piala Dunia di Jakarta, Aspar membuat kejutan besar. Sejatinya, Aspar tidak terlalu diunggulkan untuk juara. Di atas kertas, dia kalah bersiang dengan dua yuniornya di pemusatan latihan nasional, yakni Kiromal Katibin sebagai pemegang rekor dunia dengan waktu 5,009 detik yang dicetak dalam seri kedelapan Piala Dunia 2022 di Chamonix, Perancis, 8 Juli 2022, dan Veddriq Leonardo selaku juara Piala Dunia musim 2021 dan pemimpin klasemen musim ini.
Namun, Aspar mampu membalikkan semua prediksi. Pada babak kualifikasi, Aspar hanya berada di urutan ketiga dengan waktu terbaik 5,241 detik dalam kualifikasi kedua. Dia berada di bawah Veddriq di urutan pertama dengan 5,066 detik dan pemanjat China, Jinbao Long, di peringkat kedua dengan 5,206 detik.
Pada putaran final, Aspar tampil tanpa celah. Dia konsisten menjadi pemanjat terbaik dengan waktu 5,39 detik pada perdelapan final, 5,31 detik pada semifinal dan 5,39 detik pada final. Dia tidak menjadi yang terbaik hanya di perempat final, yakni catatan waktunya 5,27 detik berada di bawah perolehan Kiromal dengan 5,14 detik dan Veddriq dengan 5,15 detik.
Aspar membuat kejutan pada babak pamungkas. Berhadapan dengan Kiromal yang dijagokan untuk juara dan mempertajam rekor dunia, Aspar mampu mengatasi segala tekanan yang ada. Terlepas dari faktor keberuntungan Kiromal terpeleset mendekati puncak dinding dan harus puas dengan waktu 5,75 detik, Aspar tetap membuktikan bahwa dia bermental baja sehingga terhindar dari kesalahan sendiri.
”Saya senang sekali dengan prestasi ini. Saya mempersiapkan diri sekitar dua tahun untuk kembali ke podium tertinggi Piala Dunia. Sebab, dua tahun kemarin, saya bergelut dengan pemulihan cedera,” kata Aspar, pemanjat kelahiran Wani, Donggala, Sulawesi Tenggah, 24 Januari 1988.
Bangkit dari cedera
Itu tergolong prestasi luar biasa untuk Aspar yang penyintas cedera parah dua tahun sebelumnya. Dalam pemusatan latihan untuk ikut kualifikasi Olimpiade Tokyo 2020 di tebing alam Lembah Harau, Sumatera Barat, September 2019, Aspar terpeleset dan sempat bertahan dengan jari tengah tangan kanan di celah tebing. Peristiwa itu membuat tendon jari tersebut putus.
Aspar pun harus menjalani operasi rekonstruksi tendon dan pemulihan fungsi gerak jari tersebut. Proses pemulihan itu ternyata memakan waktu cukup lama. Selain menyita waktu, pemulihan itu turut menguras energi dan pikiran ataupun mental.
Tak heran, dengan usia tak muda lagi, Aspar sempat berpikir untuk pensiun lebih cepat. ”Saya sudah berpikir selesai karier ini. Namun, banyak motivasi yang diberikan oleh orang-orang, mulai dari keluarga, rekan atlet, dan pelatih Hendra Basir (pelatih pelatnas). Saya pun memupuk kembali mimpi besar, yakni ingin berada di puncak tertinggi prestasi dengan meraih emas Olimpiade yang gagal tercapai di Tokyo 2020 dan ingin diwujudkan di Paris 2024,” tuturnya.
Berkat dukungan segenap pihak dan terus memelihara mimpi besarnya, Aspar bangkit dari cedera. Namun, perjalanannya tidak segampang membalikkan telapak tangan. Usai fungsi gerak jari dan mentalnya kembali, Aspar masih harus mengembalikan fisik dan performanya seperti sebelum cedera.
Itu menjadi tantangan besar mengingat pelatih juga memberinya kepercayaan tetap berada di pelatnas dengan syarat bisa memanjat dengan waktu 5 detik dalam tempo setahun. Dengan tekad bajanya, pelan tetapi pasti, Aspar mencoba menjawab tantangan tersebut.
Catatan waktunya terus membaik sejak pulih dari cedera. Dalam debut Piala Dunia setelah cedera pada seri kelima di Villars, Swiss, 2 Juli 2021, penampilan Aspar tidak terlalu buruk. Dia mencatat waktu yang stabil 5,726 detik di sesi pertama dan 5,747 detik di sesi kedua kualifikasi, serta 5,72 detik di perdelapan final yang menempatkannya ke urutan kesembilan.
Memasuki 2022, Aspar benar-benar seperti terlahir kembali. Dia memperbaiki catatan waktunya di tahun sebelumnya menjadi 5,7 detik dalam sesi pertama kualifikasi seri kedua Piala Dunia di Seoul, Korea Selatan, 6 Mei 2022. Walau tetap belum meraih medali, grafiknya terus membaik dengan waktu 5,594 detik dalam sesi pertama kualifikasi seri ketujuh di Villars, 1 Juli 2022. Catatan waktu di Villars itu sekaligus memecahkan rekor personalnya, yakni 5,598 detik dalam kualifikasi seri keempat Piala Dunia di Wujiang, China, 5 Mei 2019.
Setelah itu, laju Aspar kian tak terbendung. Dia mempertajam lagi rekor personalnya menjadi 5,494 detik dalam sesi pertama seri kedelapan di Chamonix, 9 Juli 2022. Pada seri itu, Aspar pun meraih perunggu yang menjadi medali pertamanya di Piala Dunia sejak terakhir merebut perunggu dalam seri kedua di Moskwa, Rusia, 14 April 2019.
Puncaknya tentu dalam Piala Dunia di Jakarta kemarin. Aspar konsisten mempertajam rekor personalnya pada sesi pertama dan kedua kualifikasi, serta menutupnya sebagai juara. Itu bukan hasil sederhana untuk pemanjat yang berusia lebih dari kepala tiga. ”Saya terus berbicara dengan diriku bahwa kau mampu untuk kembali lebih kuat, lebih baik, dan menjadi juara,” ungkap Aspar yang turut terpacu Kiromal dan Veddriq yang perkembangannya sangat pesat.
Bakat alami
Aspar beruntung karena mental bajanya tertanam secara alami dalam jiwanya. Terlahir sebagai anak tunggal dari pasangan petani, ayah Jaelolo Lantjogau (wafat dalam usia 80 tahun pada Juli 2022) dan ibu Gamar binti Barakaili (65) serta hidup di kawasan perbukitan Donggala, Aspar kecil tumbuh sebagai pribadi yang akrab dengan alam. ”Kata ibu, sejak kecil, saya sudah suka panjat-panjat pohon,” ujarnya.
Naluri itu membawa Aspar bergabung dengan komunitas mahasiswa pencinta alam Kumtapala Fakultas Hukum Universitas Tadulako, Palu, Sulawesi Tengah, pada 2007. Tingkah laku Aspar yang aktif, lincah, dan seolah tidak takut bermain-main di alam membuat dosen sekaligus seniornya di Kumtapala, Jamaluddin Badong, memberinya nama rimba Babon (salah satu jenis primata) sebelum mengikuti pendidikan dasar komunitas tersebut.
Dari Jamaluddin pula, Aspar dikenalkan dan diarahkan untuk menggeluti olahraga panjat tebing yang awalnya dilakukan di tebing-tebing alam Sulteng. Kendati agak telat belajar panjat tebing, bakat besar Aspar membuatnya cepat menguasai olahraga itu dan beberapa kali menjuarai kompetisi lokal di Sulteng.
Baca juga: Kekuatan Mental Aspar Jaelolo
Salah satu resep Aspar dalam lomba adalah melawan semua tekanan yang ada. Caranya antara lain dengan mengecat rambut dengan warna-warna nyentrik. Dalam Piala Dunia di Jakarta, Aspar mewarnai rambutnya merah-putih, warna bendara Indonesia.
”Awalnya, saya sering mengecat rambut dengan warna kuning karena terinspirasi dari rambut Chris Sharma (pemanjat legendaris Amerika Serikat). Lama-lama, itu jadi kebiasaanku. Satu karena jiwa nyentrikku yang tinggi banget. Kedua untuk melawan ketegangan saat lomba. Dengan warna rambut yang beda sendiri, orang-orang pasti memperhatikan kita. Jadi, mau tidak mau, kita harus siap dengan perhatian tersebut,” ujarnya.
Aspar mulai lebih serius menekuni panjat tebing setelah mengikuti Pekan Olahraga Mahasiswa 2009 di Palembang, Sumatera Selatan. Dalam kompetisi nasional pertamanya itu, Aspar terbelalak oleh kemampuan pemanjat-pemanjat dari daerah lain. Ketika itu, dia hanya duduk di urutan keempat. Sepulang dari Palembang, dia merapat ke Jakarta untuk lebih menekuni panjat tebing.
Belakangan, Aspar memilih memperkuat DKI Jakarta karena fasilitas di ibu kota negara yang memadai dibanding di Sulawesi Tenggara yang penuh keterbatasan. Bersama tim DKI Jakarta, kemampuan Aspar melesat. Pada 2014, Aspar pun merengkuh prestasi internasional tertinggi pertamanya dengan menjuarai World Extrem Games 2014 di Shanghai, China.
Di level nasional, prestasi terbaik pertama Aspar adalah juara Pra-Pekan Olahraga Nasional (PON) 2016 di Bandung, Jawa Barat, pada 2015. Saat itu, dia turut membawa kedua orangtuanya menyaksikan langsung penampilannya. Baginya, orangtua adalah sosok yang sangat berjasa hingga dirinya berada di posisi sekarang. Setidaknya, kalau bukan restu dari ayahnya yang mengizinkannya cuti kuliah dua tahun untuk menekuni panjat tebing di Jakarta, mungkin jalannya menjadi atlet nasional tidak akan terbuka.
Bekal nasihat
Walau cenderung pendiam, ayahnya sering memberikan nasihat yang terus tertambat dalam sanubarinya dan menjadi motivasi tatkala dirinya terpuruk. ”Ayah selalu bilang kejar apa yang menjadi mimpimu. Jangan jadikan masalah sebagai hambatanmu. Bahkan, sebelum wafat sewaktu saya cedera, ayah tersenyum santai dan bilang tetap semangat. Responsnya memang sederhana, tetapi sangat membekas dan menjadi penyemangatku,” ujar Aspar.
Bekal nasihat ayah itu juga yang membuat Aspar cepat keluar dari masalah nonteknis yang dihadapinya jelang Piala Dunia di Jakarta. Sehari sebelum perlombaan seri Jakarta, Aspar mengumumkan dia dan enam pemanjat lainnya keluar dari Pemusatan Latihan Daerah DKI Jakarta. Itu akibat usulan penghapusan pemotongan gaji 10 persen dan pembenahan komposisi pelatih yang tidak dipenuhi.
Peristiwa itu, menurut Aspar, cukup memengaruhi pikirannya. Dia sedih karena 11 medali ajang internasional, 12 medali ajang Asia, dan enam medali PON yang dipersembahkannya dengan menyandang nama DKI Jakarta sirna dalam sehari ketika surat pengunduran dirinya pada 24 Agustus 2022 diterima oleh Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) DKI Jakarta dan Federasi Panjat Tebing Indonesia (FPTI) DKI Jakarta.
Bahkan, mentalnya goyang dalam sesi percobaan sebelum kualifikasi Piala Dunia di Jakarta. Dari dua kesempatan percobaan, dia tidak bisa mencapai puncak atau memenuhi standar persaingan pada kualifikasi. ”Beruntung, sebelum lomba, ada pengarahan dari pelatih dan saya teringat nasihat ayah. Saya pun bisa mengosongkan lagi pikiran dari semua masalah yang ada,” katanya.
Kini, dengan raihan emas Piala Dunia di Jakarta, kepercayaan diri Aspar kembali memuncak. Dia pun lebih optimis menatap kualifikasi Olimpiade 2024. Dia siap bersaing dengan Kiromal dan Veddriq untuk merebut dua tiket putra yang disediakan untuk setiap negara ke Paris 2024.
Aspar akan berusaha melewati batas kemampuannya untuk lolos ke Olimpiade 2024 dan membawa pulang emas sebelum menutup kariernya. Dia memang sudah berencana untuk pensiun dengan meninggalkan jejak emas. ”Saya ingin prestasiku bisa menjadi inspirasi untuk yunior-yuniorku agar mereka tidak takut bermimpi setinggi langit. Sebab, kalau jatuh, setidaknya kau akan jatuh di antara bintang-bintang,” tuturnya.
Keteladanan dari Aspar turut diakui oleh orang-orang di sekitarnya. Veddriq, misalnya, mengaku terinspirasi dari Aspar. Walau sempat cedera parah di usia yang tidak muda lagi, Aspar tetap semangat untuk menjadi lebih baik. ”Perjuangan Aspar adalah pelecut untuk kami yang lebih muda agar tidak gampang berpuas diri. Keberadaannya di pelatnas benar-benar menimbulkan persaingan yang positif di antara atlet,” jelas Veddriq.
Perjuangan hebat Aspar boleh jadi bentuk rasa cintanya kepada panjat tebing yang begitu besar. Dilansir dalam laman resmi Pengurus Besar FPTI, 20 Februari 2019, Aspar adalah sosok kacang yang tidak lupa pada kulitnya. Karena panjat tebing yang memberikan banyak makna dalam hidupnya, Aspar menyisihkan bonus yang diterimanya dari meraih perak dan perunggu Asian Games Jakarta-Palembang 2018 untuk membangun dinding panjat di kampung halamannya.
Aspar tidak ingin pengalamannya masa mudanya dialami oleh generasi muda di kampung halamannya, punya bakat panjat tebing tetapi tidak didukung fasilitas yang memadai. Begitulah Aspar. Di balik kenyentrikannya, dia tidak hanya mengejar prestasi sesaat untuk dirinya, tetapi juga prestasi keberlanjutan untuk bangsa dan negaranya. ”Inilah mimpiku, mimpi dari timur Indonesia,” kata Aspar.
Aspar Jaeolo
Lahir: Wani, Donggala, Sulawesi Tengah, 24 Januari 1988
Istri: Muzi Mulyani (22)
Anak: satu orang
Prestasi, antara lain:
- 2 emas, 4 perak, dan 2 perunggu Piala Dunia 2017-2022
- 1 perak Seri Panjat Tebing Internasional 2018
- 1 perak dan 1 perunggu Asian Games Jakarta-Palembang 2018
- 1 perunggu Kejuaraan Asia 2018
- 3 perunggu Kejuaraan Kontinental Asia 2013-2017
- 3 emas dan 1 perak PON Jawa Barat 2016
- 2 perunggu PON Papua 2021