Seiring perkembangan zaman, budaya mendongeng kian tergerus oleh kebiasaan bermedia sosial menggunakan gawai. Slamet Nugroho berupaya untuk menumbuhkan kembali budaya itu di Bumi Sriwijaya.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
Seiring perkembangan zaman, budaya mendongeng kian tergerus oleh kebiasaan bermedia sosial menggunakan gawai. Padahal, seni dongeng diyakini mampu merekatkan hubungan antara orangtua dan anak serta menumbuhkan rasa empati dalam diri anak sejak dini. Karena itulah, Slamet Nugroho (46) punya kerinduan untuk kembali menanamkan tradisi mendongeng di Bumi Sriwijaya. Berkat usahanya itu, sejumlah pendongeng andal asal Sumsel bermunculan.
Slamet yang akrab disapa Kak Inug tengah berbincang dengan Mbah Jarwo, di Taman Budaya Sumatera Selatan di kawasan Jakabaring, Palembang, Kamis (25/8/2022). Mbah Jarwo bukan manusia, melainkan boneka yang seolah hidup dengan seni ventriloquism, yakni seni mengolah suara perut. Ini membuat Inug mampu meyakinkan orang bahwa ia bisa benar-benar sedang berbincang-bincang dengan bonekanya.
Kemampuan ventriloquism Inug asah sejak 2007. Seni ini digunakan sebagai pelengkap ketika ia sedang mendongeng. Tidak hanya Mbah Jarwo, Inug juga memiliki karakter boneka lain, yakni Cika dan Ciko.
Inug menjadi pendongeng sejak masih berkuliah di Jurusan Sastra Inggris Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta (UNS). Dia menjadi guru dongeng di sebuah Taman Kanak-Kanak di Yogyakarta.
Di sana, dia menceritakan berbagai dongeng kepada anak-anak untuk kelas pembentukan karakter, seperti menumbuhkan kepercayaan diri, menanamkan empati, serta menciptakan imajinasi. ”Mendongeng adalah cara yang tepat untuk membangun relasi antara saya dan murid,” katanya.
Kecintaan Inug pada dongeng tumbuh saat ia masih kecil. Kala itu, sang kakek selalu menceritakan dongeng pengantar tidur untuknya. ”Setiap malam, kakek selalu mendongeng sampai saya terlelap.”
Minatnya pada dongeng ia lengkapi dengan melakoni seni peran, yakni ketoprak kala duduk di sekolah menengah pertama. Karena yakin akan bakatnya di bidang seni, Inug ingin melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Kejuruan Jurusan Seni Karawitan. Namun, keinginan itu ditentang ayahnya, Subagjo.
Sang ayahnya menganggap menjadi seniman tidak bisa diandalkan sebagai pegangan hidup. Akhirnya, atas kemauan sang ayah, Inug masuk Sekolah Teknik Mesin (STM). ”Saya memang bersekolah di STM, tetapi hati saya tidak di sana,” kenangnya.
Seiring waktu, sang ayah merasakan minat anaknya untuk berkesenian sangat kuat. Ia menitipkan Inug pada seorang guru teater bernama Sutopo alias Pak Topo. ”Dari beliau saya tahu bagaimana seni teater secara lengkap,” ucapnya.
Tahun 2005, Inug, hijrah ke Palembang untuk mengajar pembangunan karakter di salah satu sekolah internasional selama 10 tahun. Seperti saat di Yogyakarta, ia menggunakan metode bercerita dan mendongeng ketika berinteraksi dengan anak didiknya. Menurut dia, daya serap siswa akan lebih kuat saat mendengar dongeng daripada mendengar ceramah guru atau menghapal.
Suatu ketika, ia menemukan seorang siswa yang tidak mau makan nasi. Dia hanya makan mi. Inug kemudian menceritakan sebuah dongeng yang terkait dengan kebiasaan itu. ”Besokannya, orangtua murid berterima kasih pada saya karena anaknya mau makan nasi.”
Kemampuan Inug mendongeng segera terbesar luas saat ia menyabet Piagam dari Menteri Pendidikan untuk Guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Terbaik II pada 2008 mewakili Sumatera Selatan. Sejak saat itu, tawaran untuk menjadi juri dan narasumber di berbagai lomba dan seminar terus berdatangan.
Menurutnya, kemampuan ini harus disebarluaskan karena dongeng merupakan instrumen yang tepat untuk menyelamatkan generasi dari bahaya penggunaan gawai yang berlebihan. ”Tidak hanya untuk guru, ilmu mendongeng juga penting ditanamkan pada orangtua agar relasi dengan anak semakin kuat,” ujar Inug.
Ia beranggapan, zaman ini banyak orangtua yang lebih fokus pada gawainya daripada berkomunikasi dengan anak. Itu sangat membahayakan masa depan anak.
Kemampuan Inug dalam mendongeng juga digunakan untuk bidang lain seperti kampanye pelestarian kebudayaan, lingkungan, bahkan pemberantasan korupsi. Untuk kampanye lingkungan, dia bersama Rumah Sriksetra mendongeng di delapan sekolah dasar di lima desa Kecamatan Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, soal pentingnya menyayangi gajah.
Beberapa kali Inug juga mendongeng di depan anak-anak yang mengalami bencana. Yang terakhir adalah ketika ada kebakaran besar di Sungsang, Kabupaten Banyuasin, dia mendongeng di depan anak-anak untuk menghibur dan memberikan motivasi agar mereka segera kembali bangkit dari bencana.
Regenerasi
Melalui dongeng, Inug juga menularkan kemampuan pada anak didiknya yang memiliki minat untuk mendongeng. Dari ratusan anak didiknya, beberapa di antaranya menjadi pendongeng yang merambah ke tingkat nasional. Bahkan, anak didik Inug dari Musi Banyuasin, mendongeng di depan Presiden Joko Widodo.
”Banyak dari anak didik yang juga sudah lebih andal dari saya. Ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi saya,” katanya.
Ke depan, dia ingin terus menularkan kemampuan kepada generasi muda terutama di Sumsel agar budaya mendongeng tidak pupus tergilas zaman. ”Sumsel memiliki akar tradisi tutur yang kuat. Saya yakin, budaya mendongeng juga akan berkebang pesat di Sumsel,” ujarnya.
Inug berkomitmen terus menyiarkan dongeng sampai tubuhnya renta nanti. ”Saya juga tetap akan mendongeng selagi hayat masih dikandung badan,” ucapnya.
Slamet Nugroho
Lahir: Bantul, 4 Juni 1976
Istri: Desy Ekawati (42)
Anak: dua orang
Prestasi, antara lain:
- Juara I Mendongeng Tingkat Provinsi Sumsel dari Badan Perpustakaan Daerah Provinsi Sumsel (2009)