Vinolia Warkidjo Menyambung Harapan Kaum Terpinggirkan
Stigma terhadap waria kerap membuat mereka mengalami diskriminasi. Apalagi jika mengidap HIV/AIDS. Melalui Rumah Singgah Kebaya, Vinolia Wakidjo menyambung harapan kaum terpinggirkan menjemput kehidupan lebih bermakna.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·6 menit baca
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA
Pendiri dan Direktur Yayasan Kebaya (Keluarga Besar Waria Yogyakarta) saat ditemui di Rumah Singgah Kebaya, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis (21/7/2022).
Stigma terhadap transpuan kerap membuat mereka mengalami diskriminasi. Apalagi jika mengidap HIV/AIDS, tekanan akibat stigma itu semakin berlipat. Melalui Rumah Singgah Kebaya (Keluarga Besar Waria Yogyakarta), Vinolia Wakidjo (66), transpuan asal Yogyakarta, menyambung harapan kaum terpinggirkan untuk menjemput kehidupan yang lebih bermakna.
Bangunan satu lantai di gang sempit di Jalan Gowongan Lor, Kota Yogyakarta, menjadi saksi dedikasi Vinolia membantu orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dalam 15 tahun terakhir. Rumah dengan lima kamar itu merupakan Rumah Singgah Kebaya yang telah disinggahi ratusan orang dengan HIV/AIDS dari berbagai penjuru Nusantara.
Vinolia pernah berkubang dalam dunia malam sebagai pekerja seks. Kekerasan verbal dan fisik, termasuk dari keluarga, memaksanya menjauh dari orang-orang terdekatnya. Ia pun terdampar di jalanan.
Setelah 13 tahun menjadi pekerja seks, mami Vin, sapaan akrabnya, mulai berpikir untuk keluar dari dunia gelap itu. Kesadaran tersebut tidak terlepas dari pertemuannya dengan anggota Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) pada 1990 saat mangkal di Terminal Umbulharjo.
Melalui edukasi dari anggota PKBI, Vinolia mengetahui kerawanan pekerja seks tertular HIV. Tiga tahun berselang, ia memutuskan pensiun dari dunia malam dan bergabung sebagai sukarelawan PKBI.
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA
Pendiri dan Direktur Yayasan Kebaya (Keluarga Besar Waria Yogyakarta) saat ditemui di Rumah Singgah Kebaya, DI Yogyakarta, Kamis (21/7/2022).
”Saya bukan orang pintar, tetapi saya senang belajar. Meskipun dengan bergabung PKBI pendapatan dari bekerja malam hilang,” ujarnya, Kamis (21/7/2022).
Satu per satu pangkalan transpuan pekerja seks didatangi untuk menyosialisasikan kerentanan penularan HIV. Ia bergerilya dari stasiun, terminal, pasar, hingga jalan-jalan protokol.
Tak jarang Vinolia dicibir rekannya sesama transpuan karena dianggap sudah tidak laku menjadi pekerja seks. Ia memendam cibiran itu dan berupaya tetap fokus dengan pekerjaan barunya.
Sebagai sukarelawan PKBI, ia tidak digaji, tetapi mendapatkan uang transportasi Rp 24.000 per bulan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, ia bekerja sebagai pencuci pakaian di indekos dengan upah Rp 40.000 per bulan.
Empat tahun menjadi sukarelawan, Vinolia diangkat menjadi koordinator lapangan di PKBI. Ia lebih banyak kerja di kantor sehingga harus menanggalkan pekerjaannya sebagai pencuci pakaian.
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA
Transpuan mengamen di warung-warung lesehan di bawah Jembatan Layang Janti, DI Yogyakarta, Rabu (20/7/2022) malam. Sebagian transpuan pengamen di Yogyakarta sudah berusia di atas 60 tahun.
Selain transpuan, sosialisasi HIV/AIDS juga disampaikan kepada perempuan pekerja seks dan anak jalanan. Pengalaman di lapangan membuatnya mudah menjangkau kelompok tersebut.
Aktivitas di PKBI membuat Vinolia membaca data tentang penularan HIV. ”Pada September 2005, ada tujuh waria di Yogyakarta meninggal karena HIV/AIDS. Dari sinilah saya mulai berpikir bagaimana cara menyelamatkan mereka. Selain itu, bisa saja saya tertular,” jelasnya.
Setahun berselang, karena ingin fokus mengurusi transpuan, ia keluar dari PKBI. Namun, ilmu dan pengalaman bekerja di lembaga tersebut menjadi modal berharga untuk merintis jalan pengabdian berikutnya.
Rumah singgah
Bersama beberapa rekan transpuan lainnya, Vinolia mendirikan Yayasan Kebaya pada 18 Desember 2006. Yayasan itu mendapatkan dana dari UNAIDS, Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Masalah AIDS, untuk mendirikan sekretariat dan menjalankan program edukasi kepada transpuan.
Sekretariat itu juga difungsikan sebagai rumah singgah bagi orang dengan HIV/AIDS sejak Maret 2007. ”Di sini, banyak kamar kosong. Lebih baik dimanfaatkan untuk menampung teman-teman ODHA. Dengan begitu, lebih gampang bagi kami mendampingi mereka,” ujarnya.
Meski belum bisa disembuhkan, HIV/AIDS dapat dikendalikan dengan pengobatan teratur dan gaya hidup sehat. Hal inilah yang kerap ditekankan saat bertemu transpuan pekerja seks di jalanan.
Akan tetapi, tidak mudah meyakinkan para transpuan mengikuti tes HIV. Sebab, saat mengetahui statusnya positif HIV, mereka akan dihantui kekhawatiran akan dampak mengerikan dari penyakit tersebut.
”Ketika itu, banyak waria berpikir, setelah dinyatakan positif HIV sebentar lagi mereka akan mati. Padahal itu salah. Saya pastikan ke mereka, jika memang hasilnya positif, boleh singgah di Kebaya,” jelasnya.
Upaya itu membuahkan hasil. Tujuh ODHA dari berbagai lokasi masuk ke rumah singgah. Mereka diberi makan dan pengobatan. Vinolia pun sering mondar-mandir ke rumah sakit untuk mendampingi mereka konsultasi dengan dokter.
Pendanaan dari UNAIDS hanya berjalan setahun. Vinolia dan beberapa pengurus Yayasan Kebaya harus memutar otak untuk memperoleh sumber pendanaan baru. Mereka sempat menggunakan uang pribadi sebelum mendapatkan dana dari lembaga donor dan Dinas Sosial DI Yogyakarta sejak 2015.
Beragam tantangan dihadapi Vinolia selama mendampingi orang dengan HIV. Salah satu yang paling tidak bisa dilupakan adalah saat pihak keluarga meminta untuk pulang ke daerah asalnya pada 2010.
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA
Suasana Rumah Singgah Kebaya (Keluarga Besar Waria Yogyakarta), DI Yogyakarta, Kamis (21/7/2022).
”Saya berusaha menahan mereka karena khawatir perawatan di sana tidak maksimal. Namun, mereka tetap pulang karena diminta keluarganya,” ucapnya.
Kekhawatiran Vinolia terbukti. Belum sampai enam bulan, seorang dengan HIV/AIDS yang pulang ke Sumatera Selatan mulai sakit-sakitan. Hal itu membuatnya cemas. Ia pun menghubungi pihak keluarga agar tidak mengabaikan pengobatan dan jadwal konsultasi.
Hal serupa terjadi terhadap enam orang lainnya dalam waktu berbeda. ”Akhirnya mereka semua (tujuh orang dengan HIV/AIDS) meninggal dalam kurun waktu 2012–2018. Padahal, selama di sini (rumah singgah), mereka sehat semua,” katanya disertai tangis.
Vinolia mengatakan, meski belum bisa disembuhkan, HIV/AIDS dapat dikendalikan dengan pengobatan teratur dan gaya hidup sehat. Hal inilah yang kerap ditekankan saat bertemu waria pekerja seks di jalanan.
”Kalau perawatan dan pengobatannya benar, harapan hidupnya juga lebih panjang. Mereka harus menerima status sebagai ODHA, tetapi hal itu bukan akhir dari segalanya,” ujarnya.
KEMENTERIAN KESEHATAN
Capaian penanggulangan HIV/AIDS 2021
Ucapan itu bukannya tanpa bukti. Saat ini, terdapat delapan orang dengan HIV/AIDS di Rumah Singgah Kebaya. Salah satunya, seorang transpuan yang sudah tinggal di sana sejak 2007.
”Artinya, 15 tahun bisa hidup dan tidak ada penyakit serius. Jadi, harapan hidup ODHA juga bergantung kedisiplinan mereka menjalani pengobatan,” ucapnya.
Vinolia menuturkan, sudah lebih dari 200 orang pernah mampir di Rumah Singgah Kebaya. Tidak hanya transpuan, tetapi juga perempuan dan laki-laki yang mengidap HIV/AIDS.
”Tidak semua yang tinggal di sini sehat. Ada juga yang meninggal. Setelah kita telusuri, ternyata obatnya dibuang,” jelasnya.
Penerimaan keluarga
Vinolia dilahirkan sebagai laki-laki. Namun, sejak menjadi siswa sekolah dasar, ia sudah mempunyai kecenderungan sebagai transpuan. Mulai dari senang bermain boneka hingga lebih suka berkumpul dengan perempuan.
Keluarganya marah saat mengetahuinya sebagai transpuan. Bahkan, ia dipukul kakaknya dan dikucilkan keluarga.
Pendiri dan Direktur Yayasan Kebaya (Keluarga Besar Waria Yogyakarta) saat ditemui di Rumah Singgah Kebaya, DI Yogyakarta, Kamis (21/7/2022).
Kondisi itu membuat Vinolia keluar dari rumah dan hidup menggelandang. Kesalahan pergaulan menyeretnya ke dunia malam menjadi pekerja seks.
Dari pengalaman pribadi itulah, ia menilai pentingnya penerimaan keluarga bagi transpuan. ”Dukungan keluarga sangat penting bagi transpuan agar tidak salah arah,” katanya.
Vinolia menuturkan, transpuan di Yogyakarta datang dari sejumlah daerah di Tanah Air, mulai Sumatera, Jawa, Kalimantan, sampai Sulawesi. Penolakan dari keluarga membuat mereka meninggalkan kampung halaman.
Ia berharap, pemberdayaan transpuan bisa dioptimalkan. Oleh karena itu, mereka perlu dipermudah dalam mengakses pekerjaan agar tidak terjerumus menjadi pekerja seks yang berpotensi tertular dan menularkan HIV/AIDS.
Beragam tantangan dihadapi Vinolia selama 15 tahun mendampingi orang dengan HIV/AIDS. Mulai dari dicibir sesama transpuan, mengajak pekerja seks dari satu pangkalan ke pangkalan lainnya untuk mengikuti tes HIV, hingga kendala dana dalam mengelola rumah singgah. Namun, ia tidak menyerah agar kehidupan transpuan yang sering diabaikan tidak semakin sengsara.
Vinolia Wakidjo
Lahir: Yogyakarta, 9 Mei 1956
Aktivitas: Pendiri dan Direktur Yayasan Kebaya (Keluarga Besar Waria Yogyakarta)