Dayu Ani : Esensialitas Kearifan Lokal Bagi Penari
Ida Ayu Wayan Arya Satyani terkenal sebagai koreografer mumpuni yang telah menciptakan berbagai karya.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F05%2FScreen-Shot-2021-05-14-at-14.09.24_1621160051.png)
Suasana wawancara bersama Ida Ayu Wayan Arya Satyani atau yang lebih dikenal Dayu Ani dalam program radio Pesona Indonesia, kolaborasi Radio Sonora Network dan Bentara Budaya, Jumat (14/5/2021).
Sudah lebih dari 30 tahun lamanya, Ida Ayu Wayan Arya Satyani atau yang lebih dikenal Dayu Ani (43) berkecimpung di dunia tari. Tidak hanya sebagai penari, Dayu Ani terkenal sebagai koreografer mumpuni yang telah menciptakan berbagai karya.
Proyek yang paling mengangkat namanya tidak lain adalah karyanya sebagai koreografer untuk film The Seen and Unseen atau Sekala Niskala (2017) garapan sutradara Kamila Andini. Film ini bercerita tentang perjalanan emosional seorang kembar perempuan untuk beradaptasi dengan rasa kehilangan saudara kembar laki-lakinya. Koreografer karya Dayu Ani ini juga dipentaskan dalam teater.
Dayu Ani, yang juga adalah dosen di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, berbicara tentang sepak terjangnya dalam dunia tari dalam program radio Pesona Indonesia, kolaborasi Radio Sonora Network dan Bentara Budaya, Jumat (14/5/2021). Selain itu, Dayu Ani membahas pentingnya belajar tari tradisi untuk memperkaya akar penari dalam berkarya. Berikut petikan wawancaranya.
Bagaimana seorang Dayu Ani bisa menjadi penari, koreografer, dan dosen?
Sebenarnya mengalir ya. Saya juga terima kasih ke orangtua karena dibentuk dari kecil. Kebetulan bapak dan ibu seniman, terus bapak dosen Universitas Udayana. Kalau menurut orangtua, saya suka menari sejak kecil, tetapi termasuk terlambat untuk belajar teknik menari. Kelas 4 SD baru belajar dengan sungguh-sungguh di bawah bimbingan ibu. Bapak kemudian memperkenalkan kami ke alat musik gender. Ini kegiatan kesenian yang tumbuh di keluarga.
Saya masuk ke Sanggar Warini lalu ikut festival dan lomba. Ketika SMP justru karena keterampilan bermain musik gender bisa tampil di acara televisi. Waktu itu dilihat, pas Bali akan mengadakan pertukaran KIAS (Kesenian Indonesia di Amerika Serikat). Jadi ada komunitas children of Bali yang akan ke sana selama satu setengah bulan di AS. Setelah itu, saya balik ke Bali lalu tiba-tiba tetangga dan semuanya menyerahkan anaknya untuk belajar tari.
Bapak melihat potensi saya, jadi diarahkan jangan pelestarian saja, tetapi membuat koreografi. Saya berangkat dari lagu "Sekar Rare", lalu teks sederhana, sampai akhirnya kami membuat Sanggar Maha Bajra Sandhi (sekarang Yayasan Bumi Bajra Sandhi). Waktu itu saya SMP, jadi bakat koreografi mulai diasah. Setelah itu saya mulai kuliah dan bapak mengarahkan ke ISI Denpasar yang waktu itu namanya masih Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI).
Selesai S-1, saya sempat istirahat selama 10 tahun dari dunia pertunjukan. Menikah dan menanti anak, urusan perempuan. Kemudian, muncul sebuah kegelisahan ingin berkarya dan saya membaca novel Janda dari Jirah karya Cok Sawitri. Novel ini mengakomodasi semua kegelisahan saya. Akhirnya, saya kuliah lagi agar memiliki waktu luang sendiri dan merealisasikan karya, walaupun sebelumnya sudah sibuk di sanggar dan komunitas. Selesai kuliah S-2, saya melamar jadi dosen di ISI Denpasar.
Apakah orangtua mendorong anak harus menjadi seniman?
Ini bukan berarti cita-cita harus seniman, terserah mau jadi dokter, atau arsitek, tetapi akarnya harus tahu. Nasehat bapak adalah, keutamaan manusia itu berada pada daya cipta jadi kami diasah melalui media seni ini. Saya dan adik-adik bermain musik gender berempat, adik saya si bungsu belajar mendalang. Jadi pakai bekal di masa kanak-kanak nanti kalau dewasa terserah mau kemana.
Bidang seni tari apa yang menjadi keahlian Dayu Ani?
Saya pada dasarnya belajar tari tradisi di era kebyar. Jadi, tari di Bali ada era primitif atau tarian yang lahir dari ritual kemudian masuk tari klasik ada Pelegongan dan sebagainya. Lalu era kebyar kalau tidak salah tahun 1912-an sampai sekarang kebyar itu masih berjaya. Saya lahir tahun 1977, jadi ketika pertama belajar bapak saya sedang gemar belajar musik kekendangan. Mumpung itu, saya belajar tarian bebancihan. Di situ itu tarian pertama yang saya kenal.
Soal belajar menari itu, saya berkenalan dengan Bu Arini dari Sanggar Warini. Kemudian bersama bapak membangun komunitas Sandhi untuk membangun kreativitas. Jadi, mungkin istilahnya sekarang dibilang kontemporer atau penciptaan, tetapi dasar saya tidak bisa lepas dari yang saya pelajari dulu dulu.
Apalagi, dulu metode pengajaran bapak itu, saya dibawa belajar ke seniman di desanya langsung. Misalnya, pegambuhan (gamelan) itu saya belajar ke Desa Padangaji. Kalau belajar musik gender, yang klasik itu cari ke wilayah Tenganan dan lainnya ke desa Ababi. Ketika mencari kerumitan atau puncak klimaks, belajar ke Sukawati. Semua ini menjadi pengalaman estetis yang berguna untuk membentuk saya sekarang. Kalau istilah sekarang bilang kontemporer, tetapi bagi saya kontemporer adalah perjalanan.
Berapa lama belajar seperti itu?
Lama ya, sampai sekarang juga masih, Metode ini juga saya tularkan ke anak-anak didik di Komunitas Bumi Bajra dan mahasiswa. Asal ada waktu belajar ke seniman, maestro kita bertebaran di mana-mana.

Dari Kiri-kanan: Ida Ayu Wayan Arya Satyani (Koreografer), Ifa Isfansyah (Produser), Kamila Andini (Sutradara), Gus Sena (pemeran Tantra), Thaly Kasih (pemeran Tantri)
Sebenarnya, kalau kita mau bisa tari modern, apakah kita harus bisa tari tradisional?
Modern itu apa? Tari tradisi adalah kekayaan kita sebagai akar. Kalau berangkat dari tari modern sebenarnya juga tidak apa-apa, tetapi alangkah baiknya kalau mengenal milik kita dulu sebagai bekal. Saat akarnya sudah kuat, pohon yang tinggi itu bisa belajar dan menyerap apa saja maka akan lebih kaya dan indah.
Sekarang yang lagi nge-tren itu akrobatik, saya melihat kalau di Bali sudah ada Sanghyang tetapi memang disana ada unsur trance, seperti panjat pohon dan melengkung di atas bambu misalnya. Kita sudah punya di tradisi dan kesenian kita. Saya pikir gimana ya seni klasik kita bertemu akrobatik, ya melakukan eksperimen tubuh.
Kalau pinjam definisi Pak Putu Wijaya, kontemporer itu masuk seni tradisi tetapi sudah terbarukan, karena ada konsep desa kala patra. Jadi, Bali itu sudah kontemporer sejak dulu. Anggaplah kebyar itu pengaruh musik barat karena musik Bali kan tidak diawali dengan gegap gempita di awalnya. Ini kemudian menjadi bentuk toleransi atau keterbukaan Bali lalu diramu menjadi Bali. Kita tampil dengan wajah kita, meskipun asupannya boleh dari mana saja untuk melanjutkan perjalanan ke masa depan.
Makanya kontemporer itu berjalan dari tradisi lampau, lalu kita merencanakan, membentuk tradisi, untuk menuju tradisi yang akan datang, Sekarang lah kita berbuat, jadi tanggung jawab kita besar karena apa yang kita lakukan sekarang akan diwarisi generasi muda. Kalau akar kita tidak kuat, kalau tidak belajar tradisi, kalau hilang kan sayang.
Bagi saya itu saja, kalau kontemporer itu adalah bagaimana kita belajar dari kearifan lokal leluhur kita dulu, mengakomodasi semua hal yang masuk ke Bali, lalu menjadi Bali itu sendiri.
Bagaimana cerita bisa mengikuti proyek The Seen and Unseen (2017)?
Awal mulanya Ibu Rucina mengenalkan saya ke Garin Nugroho yang terlibat di produksi Anak Nusantara. Di situ adik-adik saya yang jadi bintangnya. Ketika Garin kembali ke Bali, beliau ingin buat film Under the Tree, saya dilibatkan menjadi asisten sutradara. Di sana saya belajar banyak.
Lalu ketemu Kamila Andini, putri beliau, yang masih kuliah di luar negeri. Selang beberapa waktu, Kamila sudah selesai kuliah dan ke Bali kemudian mampir ke rumah dan melihat proses saya di Desa Nongan membuat tabuh baleganjur dengan anak-anak. Waktu itu, saya mengangkat cerita rakyat Manik Angkerang tentang tajen atau sabung ayam. Saya sedang eksperimen gerak sabung ayam seperti apa, Kamila rupanya tertarik dan ingin membuat film dengan bahasa yang tidak hanya verbal saja, tetapi ada bahasa visual atau bahasa gerak. Itu kami mulai tahun 2011.
Kami ingin agar film ini bukan sekadar film dengan koreografi, tetapi menjadi satu kesatuan. Akhirnya kami ketemu cerita tentang Tantra dan Tantri, si Kembar Buncing ini,. Kamila mencari alur sebab akibat supaya tari itu bisa masuk di sana, Kebetulan kami seleranya sama, jadi gerakan Tantri natural karena berangkat dari alam untuk mengungkapkan perasaan. Itu prosesnya lama, dari Kamila belum menikah dan saya belum punya anak. Kamila juga masih kursus penulisan skrip ke Paris dan saya putuskan kuliah S-2, Akhirnya cerita terbangun pelan-pelan dan proses syuting kesampaian pada 2016.
Apa saja hal unik yang didapatkan setelah lama terjun di dunia tari?
Sekarang saya sampai pada titik bahwa menari adalah juga bagaimana kita melakukan harmonisasi tubuh dengan semesta. Bagaimana berkomunikasi dengan semesta. Memang harus begini tahapannya; kita harus menguasai teknik dengan pasti, setelah itu sekarang pada fase bagaimana harmonisasi tubuh. Tubuh kan dunia kecil kita dalam istilah bhuana alit dan semesta adalah bhuana agung. Saya ingat pesan bapak adalah menari bukan sekadar liuk tubuh, tapi ada proses pembangunan karakter dan jiwa anak-anak. Ini yang membuat saya tertarik dan tidak bisa kabur dari dunia tari ini.
Bertemu dengan anak-anak, biasanya setiap karya saya selalu melibatkan mereka karena kemurnian energi mereka. Sebenarnya saya selalu belajar mereka, setiap proses selalu mendapatkan hal baru dari mereka, seperti spontanitas dan gerak. Anak-anak sekarang di era digital juga menyerap jauh lebih cepat dan pengalaman ketubuhan mereka lebih banyak dibandingkan saya yang belajar dari kebiasaan. Saya senang mereka melompat lebih jauh dari saya.

Pertunjukan drama tari The Seen And Unseen yang diadaptasi dari film Sekala Niskala dipentaskan di Teater Salihara, Jumat (14/6). Karya dengan sutradara Kamila Andini dan Koreografer Ida Ayu Wayan Aryo Satyani ini dikembangkan bersama Komunitas Bumi Badjra, mengabungkan tari, musik, kidung, gerakan tari tradisional Bali dan pendekatan teater kontemporer.
Apa tantangan dari seniman tari di Indonesia?
Satu, karena medium penari adalah tubuh jadi harus intens mengasah skill. Kemudian, yang paling penting menurut saya di manajemen. Jadi seniman tari itu kan masih belum termanajemen seperti artis profesional. Kalau di dunia tari, kita itu kekurangannya di wilayah sana. Meskipun manajemen tradisi itu tetap ada ya, dan sanggar-sanggar sudah menjalankannya. Tetapi menembus era kini dan ketika semua bicara global, sebaiknya menjembatani seniman untuk ke ranah yang lebih luas.
Baca juga: Ekspresi Tarian dari Bilik Rumah
Apa pesan kepada semuanya?
Tidak usah khawatir mencoba hal baru, jadi belajar tari apa saja. Soal tidak bisa menari, saya berpikir semua orang bisa menari sebab kemurnian dan ekspresi jiwa ada di sana. Menari tidak selalu tentang teknis, jauh lebih dalam lagi adalah tentang jiwa. Menari sajalah, tidak usah khawatir, adopsi semua, jangan takut dengan kebaruan. Hal baru yang mampir di kita bisa diolah, dicerna, dan dilahirkan menjadi sesuatu yang kita.