Nilai-nilai Pancasila tidak sekadar jargon. tetapi harus dijalankan dalam kehidupan nyata. Keteladanan elite juga dibutuhkan agar Pancasila juga bisa dijalankan bersama-sama dengan masyarakat.
Oleh
YOHAN WAHYU
·5 menit baca
Pelaksanaan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat tidak saja membutuhkan komitmen dan cita-cita, tetapi juga membutuhkan aksi nyata dan keteladanan. Hal ini tidak lepas dengan adanya kecenderungan kesenjangan pelaksanaan Pancasila di tingkat masyarakat dan elite.
Kesimpulan ini terekam dari hasil jajak pendapat Kompas pekan lalu. Ada penilaian yang berbeda antara penerapan nilai-nilai Pancasila di tingkat masyarakat umum dan yang terjadi di tingkat elite atau pejabat. Pancasila cenderung dinilai sudah relatif lebih baik penerapannya di tingkat masyarakat dibandingkan dengan apa yang terjadi di tingkat elite.
Hasil jajak pendapat mencatatkan, sebanyak 66,9 persen responden menyebutkan, nilai-nilai Pancasila sudah diterapkan dengan lebih baik di tingkat masyarakat umum. Meskipun demikian, sepertiga bagian responden lainnya menyatakan sebaliknya, penerapan nilai-nilai Pancasila lebih buruk di masyarakat kita.
Ada penilaian yang berbeda antara penerapan nilai-nilai Pancasila di tingkat masyarakat umum dan yang terjadi di tingkat elite atau pejabat.
Sebagian besar alasan mengapa pelaksanaan nilai-nilai Pancasila cenderung lebih buruk tidak lepas dari kedudukan Pancasila yang dijadikan tak lebih sekadar jargon. Sebanyak 40,7 persen responden yang menyebut pelaksanaan Pancasila lebih buruk beralasan karena Pancasila hanya dijadikan bahan hafalan semata.
Selain itu, fenomena masih banyaknya kasus-kasus intoleransi juga memengaruhi penilaian responden terhadap pelaksanaan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satunya sebenarnya juga terbaca dari laporan Indeks Demokrasi 2020 yang diluncurkan The Economist Intelligence Unit (EIU) pada 3 Februari 2021.
Secara umum, EIU mencatat, pandemi Covid-19 memberikan dampak kurang menguntungkan bagi indeks dan kualitas demokrasi global. Rata-rata indeks demokrasi negara-negara di dunia turun. Pandemi, antara lain, memicu pembatasan kebebasan sipil dalam skala yang masif serta berdampak maraknya intoleransi dan penyensoran atas pendapat yang berbeda.
Intoleransi juga bersumber dari sejumlah isu terkait agama dan etnis yang sering kali menjadi pemicu terjadinya kasus intoleransi. Hasil riset Setara Institute mengenai Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (KBB) di Indonesia tahun 2020 juga menyebutkan indikasi tersebut.
Selama pandemi Covid-19, khususnya sepanjang tahun 2020, terjadi 180 peristiwa pelanggaran KBB, dengan 422 tindakan. Mengutip rilis Setara dalam laman resminya, dibandingkan tahun sebelumnya, jumlah peristiwa memang menurun, yakni tahun 2019 terjadi 200 peristiwa pelanggaran KBB. Namun, dari sisi tindakan melonjak tajam dibandingkan sebelumnya yang ”hanya” 327 pelanggaran.
Hal ini makin menegaskan, meskipun penilaian responden dalam jajak pendapat cenderung menilai penerapan nilai-nilai Pancasila sudah lebih baik, pekerjaan rumah untuk menguatkan kembali ikatan sosial sesama anak bangsa tetap harus terus digelorakan sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam membangun budaya bangsa yang bermartabat.
Apalagi, jika mengutip hasil jajak pendapat Kompas dua pekan sebelumnya, ada keyakinan yang tinggi dari publik bahwa bangsa Indonesia sebenarnya memiliki modal sosial yang kuat sebagai bangsa yang majemuk.
Solidaritas sosial sebagai sesama anak bangsa menjadi kekuatan yang tidak bisa diabaikan oleh siapa pun. Perbedaan pandangan dan pilihan politik yang kini dipandang sebagai pekerjaan rumah, semestinya bisa diselesaikan dengan solidaritas sosial bangsa ini yang dinilai makin menguat tersebut (Kompas, 23/5/2022).
Jika penilaian penerapan nilai-nilai Pancasila di tingkat masyarakat umum cenderung lebih baik, sebaliknya penilaian di tingkat pejabat atau elite cenderung dipandang terbelah oleh publik. Sebanyak 45,8 persen responden melihat di tingkat elite, Pancasila justru lebih tidak terlihat penerapannya meskipun sebagian responden lainnya menilai sebaliknya.
Sebagian besar alasan yang dikemukakan mengapa penerapan nilai-nilai Pancasila di tingkat elite cenderung lebih buruk tidak lepas dari fenomena maraknya kasus korupsi yang menjerat elite maupun pejabat di negeri ini. Alasan maraknya korupsi yang menjadi alasan penilaian responden bahwa penerapan nilai-nilai Pancasila di tingkat elite lebih buruk ini disampaikan oleh hampir separuh responden (43,5 persen).
Data Komisi Pemberantasan Korupsi menyebutkan, kasus korupsi dari tahun ke tahun selalu saja terjadi yang menjerat pejabat pemerintahan eksekutif maupun legislatif, baik di tingkat pusat maupun daerah. Tidak hanya itu, kasus-kasus korupsi yang menjerat elite ini juga tidak jarang melibatkan pihak swasta.
Alasan kedua adalah citra para pejabat atau elite yang selama ini dikesankan lebih mengutamakan kepentingan mereka dibandingkan kepentingan publik. Pejabat atau elite selama ini dipandang berjarak dengan publik, bahkan cenderung disikapi tidak memperjuangkan kepentingan masyarakat banyak. Padahal, nilai-nilai Pancasila jelas mengamanahkan soal keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Alasan ketiga tentu tidak lepas dari persepsi publik selama ini yang memang memandang nilai-nilai Pancasila belum diterapkan dengan serius dalam kehidupan elite atau pejabat, terutama ketika mereka menjalani amanah sebagai pejabat publik.
Kecenderungan berjaraknya penilaian publik atas penerapan nilai-nilai Pancasila antara di tingkat masyarakat dan tingkat elite membawa satu benang merah bahwa pelaksanaan nilai-nilai Pancasila memang membutuhkan tidak saja partisipasi dari masyarakat secara aktif. Namun, pelaksanaan Pancasila juga membutuhkan keteladanan dari para pejabat maupun elite di negeri ini.
Bagaimanapun, pelaksanaan nilai-nilai Pancasila bukan hanya ”dibebankan” kepada masyarakat, tetapi juga seluruh lapisan masyarakat, termasuk elite.
Pancasila adalah pengikat dari segala keanekaragaman bangsa Indonesia. Hasil jajak pendapat Kompas yang dilakukan di setiap Hari Lahir Pancasila ini juga menegaskan bahwa persepsi publik tidak pernah bergeser dalam memaknai Pancasila.
Di mata publik, Pancasila adalah ideologi kebangsaan yang dimaknai sebagai perekat dan faktor yang paling kuat menyatukan bangsa ini. Nilai-nilai Pancasila merupakan pandangan hidup yang sesuai dengan karakter bangsa yang ditopang keragaman.
Mengutip jajak pendapat serupa pada Juni 2017, hampir seluruh responden (90,9 persen) meyakini ideologi kebangsaan Pancasila mampu menguatkan ikatan kebangsaan. Di tengah relasi sosial dan kemasyarakatan yang cenderung mengendur, penguatan Pancasila menjadi sesuatu yang harus dilakukan.
Di tengah relasi sosial dan kemasyarakatan yang cenderung mengendur, penguatan Pancasila menjadi sesuatu yang harus dilakukan.
Tentu, tantangannya tidak mudah. Di tengah perubahan yang kian cepat, nilai-nilai Pancasila akan selalu menghadapi godaan dan cobaan. Pemikir kebangsaan Yudi Latif menyebutkan, pekerjaan rumah bangsa ini terkait Pancasila, terutama di era disrupsi saat ini adalah bagaimana mendekatkan idealitas Pancasila pada realitas.
Menurut Yudi, keampuhan Pancasila sebagai ideologi menuntutnya menjadi ”ideologi kerja” (working ideology) dalam praksis pembangunan (Kompas, 31/5/2022).
Kini sudah saatnya menjadikan Pancasila tidak sekadar cita-cita dan jargon. Pancasila membutuhkan aksi nyata serta tindakan untuk menguatkan kembali ikatan-ikatan solidaritas kita sebagai sesama anak bangsa.
Jika nilai-nilai Pancasila direalisasikan dalam kehidupan nyata, baik di tingkat masyarakat maupun elite, rasanya kita perlu meyakini jarak kesenjangan penerapan Pancasila antara akar rumput dan elite nanti kian menipis. (LITBANG KOMPAS)