Anak Indonesia Masih Rawan Akses terhadap Makanan
Tumbuh kembang anak erat dengan asupan pangan yang cukup, bermutu, dan beragam. Sayangnya, anak-anak Indonesia masih dihadapkan pada keterbatasan akses terhadap makanan.

Para penghuni Kampung Anak Negeri makan malam bersama di ruang makan, di Surabaya, Jawa Timur, Rabu (20/11/2019).
Akses terhadap makanan merupakan salah satu pilar ketahanan pangan. Oleh karena itu, keterbatasan akses terhadap makanan yang dialami anak di Indonesia menjadi pekerjaan rumah pemerintah yang harus segera dituntaskan.
Hal ini merujuk Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2020 dari Badan Pusat Statistik. Dari data ini didapat gambaran, anak-anak Indonesia masih mengalami kerawanan akses terhadap makanan sehari-hari. Dalam laporannya, BPS menyebutkan, anak-anak usia 0-17 tahun masih memiliki keterbatasan akses terhadap makanan.
Akses terhadap makanan merupakan salah satu pilar ketahanan pangan.
Data ini seakan berkebalikan dengan fenomena masyarakat kita terkait makanan. Hasil kajian Kompas mendapati, setiap orang Indonesia rata-rata membuang makanan setara Rp 2, 1 juta per tahun hingga menimbulkan sampah makanan yang mencapai Rp 330 triliun per tahun (Kompas, 21/5/2022). Ironis!
Kembali merujuk Susenas, keterbatasan akses anak terhadap makanan ini bisa dilihat dari sejumlah indikator. Indikator yang menyumbang tingkat kerawanan paling tinggi bagi anak-anak dalam mengakses makanan adalah soal kekhawatiran tidak memiliki cukup makanan. Sebanyak 19,81 persen anak usia 0-17 tahun masuk dalam kategori ini.

Data yang lain menunjukkan, 10,45 persen anak di Indonesia masuk kategori tidak dapat menyantap makanan sehat dan bergizi. Tentu ini menjadi gambaran bagaimana di kelompok anak-anak usia 0-17 tahun di negeri ini, kecukupan makanan saja sudah menjadi tantangan, apalagi kualitas makanan yang sehat dan bergizi.
Tidak heran jika kemudian 9,17 persen anak-anak usia 0-17 tahun ini hanya menyantap sedikit jenis makanan. Sementara indikator lain juga menyebutkan, masih ada 3,11 persen anak yang harus melewatkan satu waktu makan pada suatu hari tertentu dan ada yang kehabisan makanan. Bahkan ada 2,17 persen yang merasa lapar, tetapi tidak bisa makan.
Anak-anak Indonesia masih dihadapkan pada persoalan pemenuhan kebutuhan primernya, yakni pangan.
Data Susenas ini menjadi gambaran, sebagian besar anak Indonesia, terutama yang masuk kategori usia 0-17 tahun, masih dihadapkan pada persoalan pemenuhan kebutuhan primernya, yakni pangan. Sebagian besar dari mereka memang tinggal di rumah tangga yang kurang uang dan sumber daya lain.
Jika dilihat dari kategori desa dan kota, kondisi anak-anak di perdesaan terpotret lebih rentan kekurangan pangan dibandingkan anak-anak di perkotaan. Perbedaan yang cukup signifikan antara kota dan desa terlihat pada aspek kekhawatiran tidak memiliki cukup makanan, tidak dapat menyantap makanan sehat dan bergizi, serta hanya menyantap sedikit jenis makanan.

Anak-anak berjubel menyerbu dapur khusus anak dan anak balita BPBD Jawa Timur untuk mengambil menu makanan tambahan, Rabu (16/12/2021).
Keterbatasan akses terhadap makanan atau bisa dikatakan kondisi rawan pangan ini, antara lain, disebabkan terbatasnya ketersediaan pangan di pasar dan rendahnya daya beli rumah tangga di perdesaan.
Hal ini karena penduduk perdesaan tidak bisa lagi sepenuhnya bergantung pada bidang pertanian ataupun ketersediaan sumber daya alam yang ada.
Baca juga : Sampah Makanan Indonesia Mencapai Rp 330 Triliun
Kerawanan pangan
Kondisi tersebut berimbas pada tingkat kecukupan asupan kalori atau energi dan protein yang sangat diperlukan oleh tubuh.
Secara umum, rata-rata kecukupan gizi dari asupan kalori dan protein telah memenuhi kriteria dari Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 28 Tahun 2019 tentang Angka Kecukupan Gizi (AKG) masyarakat Indonesia atau memenuhi standar rekomendasi dari hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) Ke-11 tahun 2018.
Angka kecukupan gizi yang dianjurkan bagi masyarakat Indonesia adalah 2.100 kkal per kapita per hari dan kecukupan protein 57 gram per kapita per hari.
Merujuk hasil Susenas pada Maret 2021, rata-rata pemenuhan energi atau kalori adalah 2.143,21 kkal per kapita per hari dan pemenuhan protein 62,28 gram per kapita per hari. Keduanya sudah memenuhi, bahkan melebihi standar, baik konsumsi penduduk di perkotaan maupun perdesaan.

Namun, jika dibedah berdasarkan kuintil pengeluaran, terlihat kerawanan pangan masih dialami kelompok rumah tangga kuintil 1 (20 persen penduduk termiskin) dan kuintil 2 (20 persen penduduk miskin dan rentan).
Berdasarkan publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) tersebut, terungkap konsumsi kalori dan protein rumah tangga kuintil 1 dan kuintil 2 belum mampu memenuhi ketentuan Permenkes.
Rumah tangga kuintil 1 hanya mampu mengonsumsi energi rata-rata 1. 699,27 kkal per kapita per hari atau 80,92 persen dari ketetapan UU dan protein rata-rata 45,37 gram per kapita per hari atau baru 79,60 persen dari Permenkes.
Sementara untuk rumah tangga kuintil 2, pemenuhan energinya rata-rata 1.964,74 kkal per kapita per hari atau 93,56 persen dari standar AKG dan pemenuhan proteinnya rata-rata 54,34 gram per kapita per hari atau 95,33 persen dari ketentuan Permenkes.

Makanan yang siap dibagikan saat program Gerakan Masyarakat Peduli Anak Stunting di Kelurahan Asemrowo, kecamatan Asemrowo, Surabaya, Jawa Timur, Jumat (3/12/2021).
Konsumsi kalori rumah tangga kuintil 1 dan kuintil 2 terlihat sudah mengalami peningkatan dibandingkan hasil Susenas Maret 2020 meskipun konsumsi kalori tahun 2020 sempat menurun dibandingkan tahun sebelumnya.
Namun, konsumsi protein Maret 2021 terpantau sedikit menurun dibandingkan tahun 2020, bahkan angkanya lebih rendah dibandingkan tahun 2019 sebelum pandemi melanda.
Tak dapat dimungkiri, pandemi Covid-19 berdampak pada menurunnya pendapatan dan daya beli masyarakat, termasuk untuk konsumsi protein, seperti daging, telur, dan susu.
Ketidakcukupan atau kerawanan pangan yang dialami oleh rumah tangga di kuintil 1 dan 2 tersebut jika dibiarkan berlarut tentu akan berdampak lebih luas lagi. Apalagi, kerawanan pangan memainkan peran penting dalam berbagai bentuk kelaparan dan kekurangan gizi.

Terkait isu kelaparan, peringkat Indonesia dalam Indeks Kelaparan Global (Global Hunger Index/GHI) 2021 berada di urutan ke-73 dari 116 negara.
Meski dengan skor 18 poin, posisi Indonesia berada di level moderat. Namun, capaian skor tersebut menempatkan tingkat kelaparan di Indonesia di posisi tertinggi ketiga di Asia Tenggara, hanya di bawah Timor Leste dan Laos.
Skor GHI yang menggambarkan situasi kelaparan suatu negara yang berhubungan dengan kebutuhan dasar fisiologis manusia, yaitu kebutuhan pangan dan nutrisi, didasarkan pada empat komponen, yakni kondisi kurang gizi, anak yang kurus, stunting anak, dan kematian anak.
Hasil yang dicapai menunjukkan bahwa masih banyak pekerjaan rumah pemerintah untuk memenuhi hak anak akan kebutuhan pangan.
Baca juga : Harga Pangan Global dan Ketahanan Pangan Nasional
Ketahanan pangan
Isu kerawanan pangan tentu akan berpengaruh pada ketahanan pangan. Berdasarkan definisinya, ketahanan pangan memiliki lima unsur yang harus dipenuhi, yakni berorientasi pada rumah tangga dan individu; dimensi waktu setiap saat pangan tersedia dan dapat diakses; menekankan pada akses pangan rumah tangga dan individu, baik fisik, ekonomi, maupun sosial; berorientasi pada pemenuhan gizi; serta ditujukan untuk hidup sehat dan produktif.
Jika rumah tangga, termasuk anak-anak di dalamnya, memiliki akses pangan yang baik dalam hal jumlah, mutu, dan ragamnya, kondisi itu tentu akan menyumbang kekuatan ketahanan pangan suatu wilayah, bahkan negara.
Pemerintah terus berkomitmen untuk memperkuat ketahanan pangan sebagai upaya untuk menyediakan pangan bagi 270,2 juta penduduk Indonesia sehingga menjadi sumber daya manusia yang sehat, aktif, dan produktif serta berdaya saing.

Murid SDN 03/05 Muara Angke, Penjaringan, Jakarta, menerima pembagian makanan tambahan untuk anak sekolah berupa susu UHT dan bubur kacang hijau, Senin (2/4/2018). Program pembagian makanan tambahan ini bertujuan untuk meningkatkan asupan gizi dan ketahanan fisik bagi murid sekolah.
Komitmen tersebut sejalan dengan upaya pencapaian tujuan kedua dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SGDs), yaitu menghilangkan kelaparan pada tahun 2030.
Salah satu upaya untuk memperkuat ketahanan pangan adalah melakukan pengukuran Indeks Ketahanan Pangan (IKP) yang dapat digunakan untuk melihat kondisi ketahanan pangan suatu wilayah (kabupaten/kota/provinsi).
Dengan demikian, IKP yang mengukur aspek ketersediaan, keterjangkauan, dan pemanfaatan pangan dapat menjadi salah satu alat untuk menentukan prioritas daerah menerima intervensi program penguatan ketahanan pangan.
Berdasarkan peringkat IKP provinsi, lima provinsi dengan urutan skor terbaik adalah Bali (83,82), Jawa Tengah (82,73), DI Yogyakarta (81,43), Sulawesi Selatan (80,82), dan Gorontalo (80,52).
Sementara lima provinsi dengan urutan skor terendah adalah Papua (35,48), Papua Barat (46,05), Maluku (58,70), Maluku Utara (59,58), dan Kepulauan Riau (63,26). Papua dan Papua Barat masuk dalam IKP rendah, yaitu kelompok sangat rentan dan rentan.

Secara umum, wilayah Indonesia bagian timur memiliki nilai IKP lebih rendah dibandingkan dengan wilayah Indonesia bagian barat, sehingga perlu mendapatkan prioritas kerentanan pangan yang lebih komprehensif. Terlebih, keterbatasan akses terhadap makanan yang masih dialami oleh anak-anak ini perlu segera ditangani.
Hal ini mengingat masa anak-anak adalah masa kritis dalam pertumbuhan seseorang dan merupakan tahap kunci dalam pembentukan kemampuan fisik dan mental.
Peran pangan sangat penting bagi pencapaian tumbuh kembang anak secara optimal.
Peran pangan, baik kuantitas maupun kualitas, sangat penting bagi pencapaian tumbuh kembang anak secara optimal dan membentuknya menjadi sumber daya manusia yang unggul.
Meningkatkan kemampuan rumah tangga, khususnya bagi anak-anak, agar memudahkan akses mereka terhadap makanan, terutama yang sehat dan bergizi, menjadi kunci bagi bangsa ini untuk memperlebar aksesnya terhadap generasi unggul. (LTBANG KOMPAS)
Baca juga : Mengurangi Sampah Makanan