Urgensi Mitigasi Emisi GRK
Pemanasan global merupakan ancaman nyata bagi Indonesia. Perubahan iklim juga berpengaruh pada masalah keamanan. Suhu yang meningkat menjadi ancaman dan kerawanan di segenap sektor kehidupan.
Suhu permukaan Bumi yang meningkat lebih cepat di atas 1,5 derajat celsius dari perkiraan awal berpotensi besar mengancam kelangsungan hidup umat manusia. Peningkatan emisi gas rumah kaca atau GRK yang belum terkendali dengan baik merupakan salah satu biang keladi utamanya. Oleh karena itu, mitigasi emisi GRK perlu segera diwujudkan secara akseleratif.
Berdasarkan data WMO Global Annual to Decadal Climate Update 2022-2026 dari World Meteorogical Orgazization (WMO), ada kemungkinan suhu permukaan Bumi akan melonjak tinggi di luar skenario yang direncanakan.
Suhu permukaan Bumi yang meningkat lebih cepat di atas 1,5 derajat celsius dari perkiraan awal berpotensi besar mengancam kelangsungan hidup umat manusia.
Pada rentang 2022-2026 diperkirakan suhu rata-rata global di permukaan Bumi berada pada kisaran 1,1 derajat celsius hingga 1,7 derajat celsius lebih tinggi daripada masa pra-industri.
Kemungkinan suhu permukaan Bumi meningkat melebihi 1,5 derajat celsius setidaknya satu tahun pada kurun 2022-2026 mencapai kisaran 48 persen. Peluang kenaikan suhu permukaan tidak melebihi 1,5 dejarat celsius tersebut juga memiliki probabilitas yang sama, yakni 48 persen.
Menurut perkiraan WMO, setidaknya satu tahun antara tahun 2022 dan 2026 akan menjadi tahun terpanas melebihi rekor suhu tertinggi tahun 2016. Peluang menjadi tahun terpanas ini mencapai kisaran 93 persen atau hampir dapat dipastikan akan terjadi dalam kurun 2022-2026.
Bahkan, pada masa lima tahun ke depan ini memiliki peluang yang besar juga hingga 93 persen untuk menjadi tahun yang lebih panas daripada periode sebelumnya tahun 2017-2021. Hal ini mengindikasikan tantangan dunia secara luas untuk mencegah pemanasan global akan semakin berat.
Peluang menjadi tahun terpanas ini mencapai kisaran 93 persen atau hampir dapat dipastikan akan terjadi dalam kurun 2022-2026.
Jika perkiraan dari WMO tersebut terbukti, target peningkatan suhu permukaan Bumi yang sudah disepakati sejumlah negara di dunia dalam COP 21, Paris Agreement pada tahun 2015, kian mendekati ambang batas.
Persetujuan Paris merupakan perjanjian internasional tentang perubahan iklim yang bertujuan menahan kenaikan suhu rata-rata global di bawah 2 derajat celsius dari masa pra-industrialisasi dengan berupaya membatasi kenaikan temperatur global sebesar 1,5 derajat celsius dibandingkan masa pra-industri.
Prediksi dari WMO itu tentu saja mengkahwatirkan karena ada kemungkinan besar suhu permukaan Bumi akan melonjak di atas 1,5 derajat celsius. Meskipun diprediksi hanya setahun lonjakan suhu di atas 1,5 derajat celsius itu, tetapi hal ini merupakan peringatan yang penting bagi semua negara di dunia. Ancaman global warming secara masif akan semakin mendekat secara akseleratif.
Baca juga: Krisis Iklim dan Perubahan Sistem
Ancaman bagi Indonesia
Keikutsertaan Indonesia dalam perjanjian Paris tersebut tidak lepas dari besarnya ancaman yang mengintai Indonesia dari fenomena global warming.
Kesungguhan Indonesia dalam komitmet COP 21 itu selanjutnya ditindaklanjuti dengan pengesahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement To The United Nations Framework Convention on Climate Change (Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja PBB Mengenai Perubahan Iklim).
Dengan pengesahan UU tersebut, pemerintah berupaya meningkatkan perlindungan wilayah Indonesia yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim melalui mitigasi dan adaptasi. Dalam UU No 16/2016 disebutkan bahwa pada tahun 2050 diperkirakan n terjadi kenaikan muka air laut setinggi 35-40 cm dari posisi tahun 2000.
Selanjutnya pada tahun 2100 muka air laut bertambah tinggi lagi mencapai 175 cm akibat mencairnya es di kutub utara dan selatan akibat pemanasan global yang tidak terkendali. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia sangat rentan terhadap ancaman perubahan iklim tersebut.
Pasalnya, sebagai besar ibu kota provinsi dan sekitar 65 persen penduduk Indonesia tinggal di wilayah pesisir sehingga sangat rentan terhadap perubahan iklim yang mendorong kenaikan muka air laut itu.
Perubahan iklim global berpengaruh pada lingkungan kehidupan manusia yang berdampak secara langsung ataupun tidak langsung pada kebutuhan dasar umat manusia.
Akibatnya daratan kian menyempit karena wilayah pesisir sebagian mulai terendam air laut, wilayah hunian akan bergeser, rusaknya ekosistem pesisir, perubahan tata guna lahan, mengikis areal persawahan di daerah pesisir, dan sebagainya.
Dalam Buku Putih Pertahanan Indonesia 2015, perubahan iklim akibat emisi CO2 atau GRK dikategorikan sebagai ancaman akibat perkembangan lingkungan strategis yang melanda di seluruh dunia. Perubahan iklim global berpengaruh pada lingkungan kehidupan manusia yang berdampak secara langsung ataupun tidak langsung pada kebutuhan dasar umat manusia.
Terutama pada sektor pangan, air, kesehatan, dan energi. Perubahan iklim secara tidak langsung akan berpengaruh pada masalah keamanan. Tidak terpenuhinya kebutuhan dasar hidup manusia akan menyebabkan terganggunya ketahanan dan kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan yang dapat mengarah kepada kerawanan.
Hal ini juga berpengaruh terhadap dinamika politik, perekonomian, krisis air dan pangan, munculnya pelbagai penyakit pandemik, migrasi penduduk, serta sejumlah konflik. Artinya, perubahan iklim dapat memicu banyak persoalan baik di dalam lingkup masyarakat, pemerintahan, negara, maupun internasional. Emisi CO2 harus direduksi secepat mungkin agar potensi ancaman yang terjadi di masa mendatang dapat dihindari.
Baca juga: Upaya Pendanaan Perubahan Iklim di Indonesia
Kontributor emisi CO2
Bila merunut data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), tingginya emisi CO2 di Indonesia itu kemungkinan besar berhubungan dengan emisi GRK yang dihasilkan oleh sektor forestry and other land use (FOLU).
Pada tahun 2000-2020, dari lima sektor penyumbang emisi GRK di Indonesia, sektor FOLU dan energi selang-seling selalu menjadi kontributor terbesarnya.
Hanya saja, kecenderungan setiap tahun sektor kehutanan dan kebakaran gambut (FOLU) serta sektor energi merupakan sektor penyumbang emisi yang dominan terhadap emisi GRK nasional yang cenderung melebihi 50 persen dari total emisi nasional.
Bila dipilah-pilah lebih spesifik lagi, penyumbang emisi terbesar di Indonesia sejatinya hingga saat ini berasal dari sektor FOLU. Dari 15 subsektor FOLU, setidaknya ada empat subsektor yang berkontribusi besar terhadap buangan emisi GRK yang besar.
Subsektor tersebut adalah peat fire, peat decomposition, non-grassland to grassland, dan non-cropland to cropland. Keempat subsektor FOLU ini pada kurun tahun 2000-2019 rata-rata menyumbang emisi GRK per tahun sekitar 796 juta ton CO2e. Angka ini jauh meninggalkan emisi dari kelompok energi yang rata-rata per tahun berkontribusi sekitar 456 juta ton CO2.
Besarnya buangan emisi yang berasal dari peat fire, peat decomposition, non-grassland to grassland, dan non-cropland to cropland tersebut mengindikasikan terjadinya proses peralihan lahan hutan untuk kepentingan lainnya.
Ari Wibowo dalam Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 7 No. 4 mengatakan, salah satu kawasan hutan dengan tingkat kandungan karbon yang tinggi adalah lahan gambut.
Besarnya kandungan karbon pada lahan gambut akan terlepas menjadi emisi apabila lahan gambut tersebut dikonversi, didrainase dan mudah terbakar sehingga memerlukan perhatian khusus dan kebijakan yang tepat untuk menanganinya.
Salah satu kegiatan ekonomi yang masif melakukan peralihan fungsi hutan adalah bubidaya perkebunan. Subsektor perkebunan yang paling besar membutuhkan areal tanam dalam proses produksinya adalah kelapa sawit.
Berdasarkan data BPS tahun 2020, luas lahan perkebunan kelapa sawit ini menguasai sekitar 88 persen seluruh areal perkebunan besar di seluruh Indonesia.
Dalam satu dekade ini, luas lahan tanaman sawit terus meningkat rata-rata sebesar 5,8 persen atau hampir 370 ribu hektar per tahun. Hingga tahun 2020 luas areal budidaya secara nasional sudah mencapai sekitar 8,8 juta hektar. Tingginya okupansi lahan hutan untuk budidaya kelapa sawit membuat komoditas ini turut dituduh sebagai salah satu penyebab deforestasi di Indonesia.
Menurut Ari Wibowo, dalam jurnal ”Konversi Hutan Menjadi Tanaman Kelapa Sawit pada Lahan Gambut: Implikasi Perubahan Iklim dan Kebijakan” (2010) menyebutkan bahwa pertumbuhan pesat tanaman sawit akibat dorongan nilai ekonomi dari tanaman tersebut ini seringkali harus dibayar mahal karena bertentangan dengan pelestarian lingkungan. Perluasan pembangunan perkebunan kelapa sawit pada akhirnya akan mengonversi kawasan hutan untuk dijadikan lahan budidaya.
Akibatnya, semua produk yang dihasilkan oleh kelapa sawit pun akhirnya memiliki muatan dampak emisi GRK yang besar. Pasalnya, akan dikaitkan dengan proses budidaya kelapa sawit yang pada tahap-tahap awal akan mendorong terjadinya alih fungsi lahan hutan (deforestasi) yang menyebabkan dampak emisi CO2.
Oleh karena itu, pemerintah harus tegas dalam mengatur kebijakan terkait budidaya tanaman kelapa sawit. Selain itu, harus pula konsisten dalam setiap kebijakan yang sudah diputuskan.
Lahan hutan yang sudah telanjur dikembangkan menjadi budidaya perkebunan kelapa sawit sebaiknya dikelola dengan baik. Pasalnya, lahan perkebunan kelapa sawit yang sudah berkembang juga memiliki andil positif dalam reduksi emisi GRK.
Data emisi sektor FOLU dari KLHK pada tahun 2000-2019, menunjukkan subsektor cropland remaining cropland memberikan andil reduksi emisi GRK per tahun sekitar 34,37 juta ton CO2e per tahun.
Artinya, lahan perkebunan yang dikelola secara baik juga memiliki sifat reduksi emisi CO2 selayaknya tanaman hutan. Pemerintah harus jeli dalam menyusun kebijakan terkait komoditas sawit ini.
Satu sisi memberi andil ekonomi yang besar, tetapi di sisi lain berpotensi menyebabkan deforestasi lahan yang menyumbang emisi GRK (pada masa awal pembukaan lahan).
Oleh karena itu, pemerintah harus tegas dalam mengambil kebijakannya terkait mitigasi pemanasan global agar target reduksi emisi yang ingin diraih Indonesia sebesar 29 persen tahun 2030 dapat tercapai. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Komitmen Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca