Berhasil tidaknya koalisi partai politik sangat ditentukan dari terkonsolidasinya kekuatan partai yang terbangun. Koalisi Indonesia Bersatu yang terdiri dari Golkar, PAN, dan PPP akan diuji soliditasnya.
Oleh
Eren Masyukrilla
·6 menit baca
KOMPAS/DIAN DEWI PURNAMASARI
Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto (ketiga dari kiri) memberikan keterangan kepada media seusai bertemu dengan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Suharso Monoarfa (kedua dari kiri) dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan (kedua dari kanan) didampingi Bendahara Umum Partai Golkar Dito Ganinduto, politikus PAN Asman Abnur, dan politikus PPP Muhamad Mardiono.
Terbentuknya koalisi Partai Golkar, PAN, dan PPP membentuk peta politik baru menuju gelanggang Pemilu 2024. Meskipun dinilai terlampau dini dan rentan bubar di tengah jalan, deklarasi bergabungnya tiga partai itu tentu memantik partai-partai lain untuk juga berupaya membangun blok kekuatan politik.
Partai Golkar, PAN, dan PPP mendeklarasikan koalisi untuk Pemilu 2024 dengan nama Koalisi Indonesia Bersatu pada Kamis (12/5/2022) di Jakarta Pusat. Keputusan untuk membangun blok kekuatan bersama ini dilakukan ketiga partai setelah melalui diskusi dan pertimbangan matang.
Terbentuknya koalisi Partai Golkar, PAN, dan PPP membentuk peta politik baru menuju gelanggang Pemilu 2024.
Adanya kesamaan pengalaman hingga visi partai menjadi hal yang digadang menguatkan keputusan tiap partai untuk menyatukan kekuatan. Termasuk pula keresahan ketiga partai tersebut menyangkut persoalan polarisasi masyarakat dari jelaga pemilu lalu yang belum terurai hingga hari ini.
Bagaimanapun, deklarasi Koalisi Indonesia Bersatu menjadi langkah awal pemanasan menuju gelanggang pemilu yang bisa mengubah konfigurasi kekuatan politik nasional. Tak ayal, koalisi yang terbentuk pun menuai banyak respons elite politisi dan perhatian publik.
Tak sedikit pihak yang menanggapi bahwa pembentukan Koalisi Indonesia Bersatu masih terlalu dini. Bahkan muncul pula isu bahwa koalisi yang telah terbentuk ini dapat mengganggu kinerja dan dukungan kepada pemerintahan aktif saat ini mengingat ketiganya merupakan partai yang berada pada gerbong pendukung Presiden Joko Widodo.
Terkait ini, Ketua DPP Golkar Ace Hasan Syadzily pun telah mengonfirmasi dan memastikan bahwa sikap setiap partai tetap akan komitmen mendukung kerja-kerja pemerintahan hingga selesai. Koalisi menjadi urusan lain karena terkait Pemilu 2024 mendatang dan bagian terpisah dari tanggung jawab sebagai partai yang berada dalam pemerintahan.
Lain dari itu, pembentukan koalisi juga dinilai terlampau terburu-buru dengan konsep yang tak matang. Kondisi itu membuat koalisi tak terbentuk dengan solid dan rawan terpecah di tengah jalan sebelum pertarungan pemilu dimulai.
Soliditas koalisi yang didasari pada komitmen dan tanggung jawab bersama merupakan modal mutlak agar gabungan kekuatan partai dapat berjalan hingga tujuan akhir pemilihan. Koalisi yang terbentuk sedianya bukan hanya sekadar dijadikan sarana untuk mendongkrak popularitas partai dan penjajakan tanpa adanya tujuan dan kejelasan visi.
Pengalaman menunjukkan, baik di tingkat pemilihan presiden maupun kepala daerah, koalisi partai biasanya akan terbangun saat kejelasan kandidat yang akan didukung sudah disepakati. Kejelasan siapa sosok yang akan diusung menjadi faktor utama sehingga deklarasi koalisi biasanya memang dibarengi dengan deklarasi dukungan kandidat.
ISTIMEWA
Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto (ketiga dari kiri) berbincang santai dengan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Suharso Monoarfa (kedua dari kiri), dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan (kedua dari kanan) didampingi Bendahara Umum Golkar Dito Ganinduto, politikus PAN Asman Abnur, dan politikus PPP Muhamad Mardiono.
Terkait hal itu, meskipun telah resmi diumumkan, Koalisi Indonesia Bersatu memang belum turut menggaungkan siapa sosok calon presiden yang akan diusung. Ketiga partai sepakat jika pencarian sosok calon presiden dan wakil presiden dilakukan secara bersama-sama sesuai dengan kriteria dan cita-cita koalisi.
Koalisi Indonesia Bersatu yang terbentuk di waktu awal ini memang bisa dikatakan menjadi keputusan yang cukup berani. Dengan belum diputuskannya sosok calon presiden yang akan diusung, komitmen untuk merawat soliditas koalisi menjadi hal yang penting.
Koalisi Indonesia Bersatu yang terbentuk di waktu awal ini menjadi keputusan yang cukup berani.
Kekhawatiran akan adanya perbedaan sikap dalam mengusung calon dalam pemilihan presiden mendatang memang sangat berpotensi memecah koalisi.
Dalam konfiguasi kekuatan elektoral, gabungan Golkar, PAN, dan PPP notabene merupakan koalisi partai papan menengah. Sekalipun begitu, penggabungan dukungan dari ketiga partai ini patut pula diperhitungkan.
Data dari Komisi Pemilihan Umum untuk hasil Pemilu Legislatif 2019 tercatat Golkar menempari 85 kursi (14,8 persen dari total 575 kursi), PAN 44 kursi (7,7 persen), sementara PPP 19 kursi (3,3 persen). Jika ditotal, gabungan perolehan suara ketiga partai itu mencapai 33,11 juta dan menguasai 25,8 persen kursi DPR.
Capaian elektoral dari koalisi ini di atas kertas memang telah cukup memenuhi syarat untuk mengusung pencalonan kandidat presiden dan wakil presiden.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, ambang batas hasil pemilihan legislatif sebagai dasar pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) harus memenuhi persyaratan perolehan kursi DPR paling sedikit 20 persen kursi atau 25 persen dari suara sah secara nasional dari pemilu sebelumnya.
Dengan begitu, keputusan bersama untuk menentukan siapa kandidat yang akan didukung menjadi sangat penting. Koalisi yang sudah terbentuk menjadi keuntungan pula untuk melakukan penjajakan lebih awal pada sosok-sosok potensial terutama di luar kader ketiga partai.
ISTIMEWA
Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto (tengah) berbincang dengan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan (kanan) dan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Suharso Monoarfa (kiri) di Rumah Heritage Jakarta, Kamis (12/5/2022), untuk membahas penjajakan koalisi partai dalam Pemilu 2024.
Seperti yang telah kita diketahui, nama Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto memang jauh sebelumnya telah digaungkan partai beringin itu untuk maju sebagai calon presiden. Begitu pun sosok Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan yang juga didorong para kader turut bertarung dalam pilpres.
Melihat komposisi koalisi, Golkar memang terbilang memiliki posisi tawar dengan porsi kursi dan suara paling besar, yang juga semestinya menjadi nakhoda utama menentukan arah pergerakan koalisi.
Sejauh ini, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto terbilang memang cukup masif melakukan komunikasi politik dengan pelbagai pihak dan elite partai lainnya, di luar tentunya upaya membangun popularitas dirinya sendiri.
Sebelum pada akhirnya Koalisi Indonesia Bersatu terbentuk, beberapa pertemuan Airlangga dengan sejumlah tokoh dan elite partai masih segar terekam. Sebutlah pertemuannya dengan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono, Ketua Umum Nasdem Surya Paloh, hingga Presiden PKS Ahmad Syaikhu.
Terbentuknya Koalisi Indonesia Bersatu memang telah memantik pemanasan kompetisi pemilu dimulai lebih awal. Kini, Koalisi Indonesia Bersatu harus benar-benar dapat memanfaatkan momentum sebagai gabungan kekuatan yang telah terkonsolidasi lebih dahulu.
Hal ini menjadi penting karena pada dasarnya semua partai tengah bersiap untuk juga memulai gerakan serupa menghimpun dukungan dan pengusungan kandidat calon presiden.
Bagi partai-partai besar, seperti PDI-P dan Gerindra, terbentuknya koalisi oleh Golkar, PAN, dan PPP sebetulnya memang tak banyak berpengaruh. Terlebih, koalisi terbentuk dengan belum mengerucutnya sosok kandidat capres yang akan didukung.
Meski demikian, dengan terbentuknya Koalisi Indonesia Bersatu, berbagai spekulasi mengenai poros koalisi partai-partai lain pun semestinya mulai jelas terbaca. Dilihat dari perhitungan kursi DPR dan wacana yang menguat, setidaknya ada dua poros koalisi lain yang sangat potensial.
Poros pertama akan digawangi oleh PDI-P yang akan menggabungkan kekuatan Gerindra dan PKB. Komposisi ini menguat setelah isu pengusungan pasangan Prabowo Subianto–Puan Maharani terus digulirkan dan mendapat dukungan internal setiap partai.
Sementara posisi PKB, sebagai partai yang dekat dengan PDI-P, tak diragukan lagi. Partai berbasis pemilih dari kalangan NU ini terbukti terus loyal menempatkan posisi di barisan pendukung kepemimpinan dua periode Presiden Joko Widodo. Kehadiran PKB juga menggenapi posisi poros koalisi tak hanya berhaluan nasionalis, tetapi juga terdiri atas partai berbasis pemilih Islam.
Jika benar terwujud, koalisi tersebut akan menjadi sangat kuat jika dilihat dari capaian elektoral saat ini. Dominasi kursi PDI-P di ruang legislatif yang mencapai 128 kursi (22,3 persen), ditambah Gerindra dengan 44 kursi (13,6 persen), dan PKB 58 kursi (10,1 persen) mengukuhkan gabungan tiga partai sudah menguasai lebih dari 45 persen total kursi DPR.
NIKOLAUS HARBOWO
Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto berbicara ke awak media setelah menerima kunjungan silaturahmi dari Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, di rumah dinas Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, di Jakarta, Minggu (15/5/2022).
Poros lain yang juga potensial terbentuk diproyeksikan akan dimotori oleh Partai Nasdem dengan dukungan dari Demokrat dan PKS. Rencana Nasdem untuk melakukan konvensi menjaring sosok terbaik untuk diusung menjadi calon presiden membuktikan bahwa rencana pembentukan poros koalisi begitu kuat. Sejumlah agenda pertemuan ketiga partai ini pun sempat terjadi dan menguatkan narasi penjajakan untuk membangun kekuatan bersama.
Dilihat dari capaian suara, koalisi Nasdem, Demokrat, dan PKS ini tak jauh berbeda dari bentukan koalisi yang berada di posisi papan menengah. Secara total pada pemilu lalu, gabungan suara partai koalisi ini mencapai lebih dari 30 juta dengan penguasaan 28 persen kursi DPR.
Berhasil tidaknya koalisi sangat ditentukan dari terkonsolidasinya kekuatan partai yang terbangun.
Jumlah kursi ataupun suara yang dimiliki koalisi memang menjadi modal awal untuk mengukur basis dukungan. Meski demikian, hal itu juga tak mutlak dijadikan patokan penentu dan setiap poros kekuatan partai masih memiliki kesempatan yang sama untuk menang.
Berhasil tidaknya koalisi sangat ditentukan dari terkonsolidasinya kekuatan partai yang terbangun. Pada akhirnya strategi pemenangan pemilu yang berjalan justru besar ditentukan oleh soliditas dan gerak selaras mesin partai di dalam koalisi. (LITBANG KOMPAS)