Defisit Melebar, Utang Pemerintah Bertambah
Selama pandemi utang pemerintah meningkat hampir 50 persen. Defisit anggaran menyebabkan pemerintah mencari sumber pembiayaan eksternal lewat utang. Akankah utang berkurang jika pemerintah mampu menekan defisit anggaran?
Selama dua tahun pandemi, utang pemerintah Indonesia meningkat hampir 50 persen. Per akhir Februari 2022 lalu, posisi utang pemerintah tercatat sudah mencapai Rp 7.014,58 triliun.
Akibat melebarnya defisit anggaran, pembiayaan lewat utang ditempuh pemerintah untuk menutupi berkurangnya pendapatan negara dan membengkaknya belanja untuk mengatasi krisis ganda yang ditimbulkan oleh Covid-19.
Selama dua tahun pandemi, utang pemerintah Indonesia meningkat hampir 50 persen.
Sebelum pandemi, posisi utang pemerintah pada akhir 2019 tercatat masih di bawah Rp 5.000 triliun dengan rasio terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 29,8 persen.
Utang tersebut mayoritas berbentuk Surat Berharga Negara sebesar Rp 4.014,81 triliun (84,02 persen) yang diprioritaskan untuk membiayai pembangunan. Sisanya adalah pinjaman pemerintah sebesar Rp 763,79 triliun (15,98 persen). Dari jumlah tersebut, porsi terbesar, yaitu Rp 755,41 triliun, merupakan pinjaman luar negeri.
Setahun kemudian, utang pemerintah bertambah Rp 1.295,96 triliun (27 persen) menjadi Rp 6.074,56 triliun atau 38,68 persen dari PDB. Penambahan ini disebabkan oleh pelemahan ekonomi akibat pandemi dan meningkatnya kebutuhan pembiayaan untuk mengatasi masalah kesehatan dan pemulihan ekonomi nasional.
Dari jumlah utang tersebut, porsi pinjaman pemerintah turun menjadi 14,04 persen, namun secara nominal angkanya naik menjadi Rp 852,91 triliun. Sebanyak 98,6 persen atau Rp 840,94 triliun merupakan pinjaman luar negeri dari kerja sama bilateral, multilateral, dan bank-bank komersial. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, pemerintah menambah pinjaman luar negeri sebanyak Rp 85,53 triliun.
Penambahan utang disebabkan oleh pelemahan ekonomi akibat pandemi.
Di akhir tahun 2021, utang pemerintah hampir menyentuh Rp 7.000 triliun, tepatnya Rp 6.908,87 triliun dengan rasio terhadap PDB sebesar 41 persen.
Dua bulan kemudian, posisi utang pemerintah pada akhir Februari 2022 tembus menjadi Rp 7.014,58 triliun (40,17 persen dari PDB). Dalam komposisi utang pemerintah tersebut, porsi pinjaman pemerintah turun menjadi Rp 850,38 triliun (12,12 persen).
Rasio utang terhadap PDB yang menyentuh 41 persen merupakan yang tertinggi selama satu dekade terakhir. Kegiatan ekonomi yang menurun akibat pandemi berdampak negatif pada membesarnya rasio terhadap PDB.
Sederhananya, rasio meningkat karena besaran utang terus bertambah, sementara kemampuan ekonomi menurun. Perekonomian yang lesu menurunkan penerimaan negara dari perpajakan, sehingga bermuara pada melebarnya defisit anggaran.
Rasio utang terhadap PDB yang menyentuh 41 persen merupakan yang tertinggi selama satu dekade terakhir.
Namun demikian, besaran rasio utang yang semakin tinggi itu masih berada dalam batas yang aman. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2002 tentang Keuangan Negara, batasan utang pemerintah yang dianggap aman adalah tidak melebihi 60 persen dari PDB.
Batasan ini mengikuti ketentuan internasional Maastrich Treaty, yaitu perjanjian di antara negara-negara Uni Eropa pada tahun 1992 di Maastrich, Belanda, yang mengatur tingkat utang yang dianggap masih bisa memperkuat perekonomian suatu negara.
Meskipun berada di batas aman, peningkatan rasio utang pemerintah Indonesia di masa pandemi ini tergolong cukup tinggi, yaitu sekitar 30 persen. Dibandingkan dengan negara-negara seperti Italia atau Jepang yang rasio utang terhadap PDB-nya sangat tinggi, yakni masing-masing 151,34 persen dan 221,07 persen, peningkatan rasio utangnya jauh di bawah Indonesia.
Peningkatan rasio utang pemerintah Italia di awal pandemi hanya 16 persen. Sedangkan rasio utang pemerintah Jepang meningkat 11 persen. Dibandingkan dengan negara tetangga terdekat kita, Singapura, rasio utang pemerintahnya yang tahun 2020 tercatat 155,41 persen, meningkat 21 persen. Masih di bawah peningkatan rasio utang pemerintah Indonesia.
Dengan peningkatan yang tinggi itu, tak heran jika Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada pertengahan tahun 2021 menilai posisi utang dan beban bunga utang pemerintah sudah di tingkat yang cukup berisiko.
Hal itu memunculkan kekhawatiran terhadap kemampuan pemerintah dalam membayar pokok dan bunga utang. Sehingga, pemerintah diharapkan dapat mengerem laju peningkatan utang, di samping meningkatkan penerimaan negara melalui reformasi perpajakan.
Baca juga : Pemerintah Bertekad Kurangi Penerbitan Utang
Defisit anggaran
Utang menjadi sumber pembiayaan yang diandalkan. Ia terkait erat dengan defisit anggaran. Semakin besar defisit anggaran, maka peluang pemerintah untuk berutang semakin besar untuk menutupi defisit.
D tahun pertama pandemi melanda, defisit anggaran tidak bisa dipertahankan untuk berada di bawah angka 3 persen, sesuai dengan aturan perundang-undangan.
Untuk itu, diterbitkanlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19 pada Mei 2020, yang membuka peluang defisit anggaran menjadi lebih besar.
Perppu tersebut memberi kewenangan kepada pemerintah untuk menetapkan batasan defisit anggaran bisa melampaui 3 persen dari PDB selama penanganan Covid-19 dan/atau untuk menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan. Kewenangan ini berlaku sampai tahun 2022.
Tahun 2020, realisasi defisit anggaran tercatat sebesar Rp 947,7 triliun dengan rasio terhadap PDB sebesar 5,78 persen. Realisasi ini lebih rendah dibandingkan target yang sudah direvisi, yaitu Rp 1.039,22 triliun (6,34 persen).
Dengan tradisi realisasi yang lebih rendah dibandingkan target, defisit anggaran akan mengecil sehingga utang pemerintah bisa ditekan.
Sedangkan di tahun 2021 defisit anggaran sudah berkurang, berada di angka Rp 783,7 triliun dengan rasio terhadap PDB 4,65 persen. Angka ini juga lebih rendah dibandingkan target yang ditetapkan dalam APBN, yakni Rp 1.006,38 (5,7 persen).
Untuk tahun 2022, defisit anggaran ditargetkan sebesar Rp 868,02 triliun dengan rasio 4,85 persen terhadap PDB. Dengan tradisi realisasi yang lebih rendah dibandingkan target, defisit anggaran akan mengecil sehingga utang pemerintah bisa ditekan. Dengan tren seperti ini, ada optimisme bahwa defisit anggaran tahun depan bisa kembali di bawah 3 persen.
Baca juga : Waspadai Tingginya Rasio Utang terhadap PDB
Peringkat utang
Peluang menambah utang tidak lepas dari kondisi peringkat utang Indonesia yang dikeluarkan oleh beberapa lembaga pemeringkat internasional. Status peringkat utang yang bagus, yang menandakan tingkat risiko yang semakin rendah, akan sangat memengaruhi minat beli investor asing.
Selain itu, adanya perbaikan peringkat menunjukkan kepercayaan terhadap kinerja pemerintah dalam menyehatkan atau memulihkan perekonomian. Sehingga, dana asing mudah mengalir masuk.
Lembaga pemeringkat Fitch pada 2020, misalnya, mempertahankan peringkat utang Indonesia pada posisi BBB (investment grade) dengan proyeksi stabil. Indonesia dianggap telah mengambil kebijakan fiskal dan moneter yang terukur dan hati-hati dalam mengatasi dampak Covid-19 terhadap stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.
Di penghujung tahun 2020, Japan Credit Rating (JCR) juga mengafirmasi peringkat kredit Indonesia pada peringkat BBB+ juga dengan proyeksi stabil. Hal ini mencerminkan terjaganya keyakinan internasional terhadap ketahanan perekonomian Indonesia di tengah tekanan pandemi.
Potensi pertumbuhan ekonomi yang meningkat dan pengelolaan utang pemerintah yang terkendali akan menambah keyakinan global terhadap ketahanan perekonomian Indonesia di tengah pandemi.
Potensi pertumbuhan ekonomi yang meningkat dan pengelolaan utang pemerintah yang terkendali akan menambah keyakinan global terhadap ketahanan perekonomian Indonesia di tengah pandemi. Hal ini bisa menjadi modal untuk mendapatkan utang baru.
Akan tetapi, pemerintah di tahun depan dihadapkan pada amanat perundang-undangan untuk menurunkan defisit di bawah 3 persen. Sehingga, kebutuhan pembiayaan lewat utang pun harus diupayakan untuk diturunkan. (LITBANG KOMPAS).
Baca juga : Tantangan Manajemen Utang