
Baca juga: Perkuat Kohesi, Kurangi Keterbelahan
Sejak Pilkada DKI Jakarta tahun 2017, warga di negeri ini terbelah. Polarisasi warga itu diawali pada Pemilu 2014, lalu terjadi lagi pada Pemilu 2019, dan bisa saja berlanjut pada Pemilu 2024.
Untuk membendung keterbelahan di antara warga bangsa itu, berbagai upaya telah dilakukan, termasuk Presiden Joko Widodo menjadikan seterunya dalam dua kali Pemilu Presiden, Prabowo Subianto, sebagai anggota kabinet. Bahkan, pada perombakan kabinet, akhir tahun 2020, Sandiaga S Uno, calon wakil presiden yang mendampingi Prabowo, pun ditunjuk menjadi menteri. Namun, relasi antarwarga tetap saja tak sepenuhnya pulih, tak bisa erat kembali.
Keterbelahan itu dikhawatirkan masih berlanjut pada Pemilu 2024 nanti.
Elite politik dari dua kubu yang berseberangan pada 2019 juga sudah saling menyapa dan membangun komunikasi yang baik. Namun, langkah itu tak sepenuhnya diikuti pendukungnya. Bahkan, 40,3 persen responden jajak pendapat Kompas pada akhir Mei 2022 menyatakan, hubungan antara kedua kubu semakin memburuk. Sebaliknya, 45 persen responden menilai sebenarnya hubungan kedua kubu sudah semakin baik. Keterbelahan itu dikhawatirkan masih berlanjut pada Pemilu 2024 nanti (Kompas, 6/6/2022).
Kekhawatiran itu bisa dipahami karena masih banyak aktor yang terlibat dalam meluruhkan kohesi dalam masyarakat pada masa lalu kini masih berada di panggung politik nasional. Mereka masih mempunyai pengaruh, selain media sosial juga digunakan untuk mempertajam perbedaan dalam masyarakat, seperti yang terjadi pada Pemilu 2014, dan proses perebutan kekuasaan berikutnya, termasuk di daerah.

Baca juga : Menjaga Kohesi Sosial Masyarakat
Responden dalam jajak pendapat Kompas, sebanyak 79,1 persen, juga menilai keterbelahan akibat perbedaan pilihan politik ini akan merusak iklim demokrasi. Semakin buruk lagi, media sosial dinilai dimanfaatkan oleh pendengung (buzzer) dan pemengaruh (influencer) untuk mempertajam perbedaan dalam masyarakat, khususnya untuk tujuan pemenangan partai atau calon yang didukungnya. Padahal, tahapan kampanye pemilu belumlah dimulai.
Namun, kepentingan politik sesaat, terutama jelang pesta demokrasi, membuat mereka yang berbeda pilihan politik dianggap sebagai liyan, orang lain, bahkan lawan.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan kohesi sebagai, salah satunya, hubungan yang erat; perpaduan yang kokoh. Bangsa ini untuk bisa tumbuh berkembang bersama memang membutuhkan hubungan yang erat antarkomponen bangsa, seperti ditegaskan pada sila ketiga Pancasila: Persatuan Indonesia. Namun, kepentingan politik sesaat, terutama jelang pesta demokrasi, membuat mereka yang berbeda pilihan politik dianggap sebagai liyan, orang lain, bahkan lawan.
Menjadi tugas elite politik, penyelenggara pemilu, pemerintah, dan khalayak untuk membangun literasi politik di negeri ini. Warga harus disadarkan, jangan mau dipermainkan siapa pun untuk kepentingan politik sesaat dan dijauhkan dari warga lain. Politik memang bisa menjadi jalan untuk meraih kekuasaan. Namun, kekuasaan itu hanya berarti kalau menyejahterakan seluruh rakyat negeri ini.
Dalam buku Anak Bajang Menggiring Angin (GP Sindhunata, 2018), dikisahkan anak-anak kera dan anak-anak raksasa bermain bersama. Mereka tidak peduli pada orangtuanya yang barusan usai berperang dan menghasilkan kesia-siaan. Ingat, bagi rakyat kebanyakan, kekuasaan bukanlah segala-galanya.