Sesuai dengan perkembangan zaman, penipuan berkedok cinta berkeliaran di dunia maya, memanfaatkan media sosial dan teknologi informasi untuk menjerat korban.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
KOMPAS
Penipu berkedok cinta atau love scammer mengintai korban dengan memanfaatkan aplikasi kencan atau media sosial untuk menjaring korban.
Dua hari terakhir, harian ini melaporkan liputan investigasi mengenai penipuan berkedok cinta. Sejumlah warga, terutama wanita, terjerat cinta dusta itu.
Sesuai dengan perkembangan zaman, penipuan berkedok cinta berkeliaran di dunia maya, memanfaatkan media sosial dan teknologi informasi untuk menjerat korban. Pelaku juga menggunakan pendekatan agama dan psikologi sehingga korban tidak menyadari telah tertipu. Selain kehilangan harta, ada pula korban yang kehilangan kehormatan. Keluarga pelaku menanggung malu (Kompas, 21-22/4/2022).
Cinta memang buta, begitu kata pepatah. Kelompok musik lawas Koes Plus pun dalam albumnya yang ke-12 tahun 1974 mengangkat lagu berjudul ”Cinta Buta”. Lirik lagu itu adalah sebagai berikut: ”Cinta buta, cinta buta, tanpa mata dan telinga. Cinta buta, cinta buta, orang bilang tak berharga. Siapa bilang, siapa bilang, cinta bukan hasil hitungan. Siapa bilang, siapa bilang, cinta bukan nilai dan harta....”
Dalam investigasi yang dilakukan Kompas, sebenarnya ada pria yang jadi korban penipuan berkedok cinta. Pelaku juga tak semuanya lelaki. Namun, tak mudah mengorek mereka. Kasus yang menimpanya, meski diikuti dengan kerugian material dan imaterial, menimbulkan aib dan trauma. Sejumlah korban memilih diam dan menyerah pada nasib. Namun, sebagian korban bersuara, juga melalui media sosial, dengan harapan tidak ada lagi korban baru yang merugi dan terluka.
KOMPAS/IRENE SARWINDANINGRUM
Tiga korban penipu berkedok cinta Faris Ahmad Faza (31) saat bersama-sama melapor ke Polres Kediri Kota, Jawa Timur, 17 Maret 2022.
Cinta itu buta. Namun, seperti diingatkan Koes Plus lebih dari 37 tahun lalu, janganlah cinta itu membutakan manusia. Cinta tetap ada hitungannya, tetap mempertimbangkan nilai dan harta. Cinta memang menghidupi, tetapi manusia tak bisa hidup hanya bermodalkan cinta. Bukan manusia harus materialistis, tetapi hakikat cinta sebenarnya adalah kegiatan yang memberikan manfaat, saling memberi dan menerima. Bukan sepihak, tapi dua pihak, bahkan multipihak, termasuk melibatkan keluarga dan masyarakat. Cinta ada rasionalitasnya.
Negara terlibat mengatur hubungan cinta antarwarganya, seperti melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan aturan lainnya. Tujuannya, untuk melindungi warga dari tindakan warga lainnya, yang seolah berlandaskan cinta, tetapi tidak menghargai hak sesama warga, seperti kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan, dan penipuan. Apalagi, pemanfaatan cinta untuk kegiatan yang merugikan orang lain sesungguhnya sudah ada sejak manusia ada.
Bukan manusia harus materialistis, tetapi hakikat cinta sebenarnya adalah kegiatan yang memberikan manfaat, saling memberi dan menerima.
Kasus penipuan berkedok cinta di dunia maya merupakan fenomena baru dalam masyarakat. Namun, menggunakan cinta untuk memperdaya orang lain bukanlah hal baru, dan tidak hanya terjadi di Indonesia. Salah satunya Nigerian Rose/Scam, yang dikenal sebagai jaringan internasional yang menjebak kaum hawa dengan cinta, dan mengeruk hartanya.
Penipuan berkedok cinta bukan tidak bisa dipidana. Ketut Supariasi dihukum 15 bulan penjara karena membatalkan pernikahannya dengan Reiner Buchman, yang sudah memberinya uang dan rumah. Ketut didakwa menipu (Kompas, 5/5/1997). Ada sejumlah kasus serupa. Penabur jerat cinta bisa dipidana asalkan ada bukti dan saksi. Korban harus berani bersuara.