
Tingginya tingkat pengangguran terbuka dari tamatan sekolah menengah kejuruan, mencapai 11,13 persen, menunjukkan upaya meningkatkan relevansi lulusan vokasi dengan kebutuhan dunia kerja selama ini belum optimal.
Minimnya link and match sekolah vokasi dengan dunia kerja berdampak terhadap kualitas lulusan vokasi yang tidak sesuai dengan kebutuhan dunia kerja, terutama industri. Keterlibatan industri dalam penyelenggaraan pendidikan vokasi pun menjadi kebutuhan pokok (Kompas, 20/4/2022).
Baca juga: Arah Pendidikan Vokasi Belum Jelas dan Masih Berbasis Sekolah
Dari aspek kebijakan, sebenarnya tak sedikit program yang telah ditelurkan untuk meningkatkan link and match sekolah vokasi dengan industri. Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2016 tentang Revitalisasi SMK, pelaksanaan link and match sekolah vokasi dengan industri dikoordinasikan bersama lintas kementerian dan lembaga (Kamar Dagang dan Industri).
Masing-masing kementerian terkait memang menjalankan program pendidikan vokasi berbasis link and match dengan industri. Sejumlah kementerian juga memiliki SMK, politeknik, dan juga akademi yang menjadi rujukan bagi pengembangan pendidikan vokasi.

Sebagai program unggulan dan didukung sumber daya yang memadai, lembaga-lembaga pendidikan vokasi di bawah kementerian tersebut bisa diselenggarakan secara ideal, dengan kurikulum pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan riil dunia kerja. Namun, jumlah lembaga pendidikan tersebut sangat terbatas dengan jumlah siswa yang terbatas pula dan umumnya berada di perkotaan.
Padahal, berdasarkan data Kemendikbudristek, saat ini terdapat 14.464 SMK dengan sekitar 5 juta siswa, di mana 85 persen di antaranya berada di desa. Tak sedikit dari SMK-SMK tersebut yang minim sumber daya, baik input siswa, sarana dan prasarana, maupun guru, baik jumlah maupun kompetensinya.
Berdasarkan data Kemendikbudristek, saat ini terdapat 14.464 SMK dengan sekitar 5 juta siswa, di mana 85 persen di antaranya berada di desa.
Dari aspek guru saja, saat ini terdapat kekurangan 90.072 guru di SMK negeri, baik guru umum maupun guru kejuruan yang mengampu mata pelajaran produktif, dan itu akan terus bertambah seiring usia pensiun guru. Kemendikbudristek memperkirakan, hingga 2023 kekurangan guru umum di SMK mencapai 56.598 orang dan kekurangan guru kejuruan bisa mencapai 43.746 orang.
Kekurangan guru, terutama guru kejuruan, menjadi kendala utama yang menghambat laju perkembangan SMK, termasuk untuk link and match dengan industri. Akan sulit berharap keterlibatan industri dalam pendidikan vokasi tanpa diimbangi sumber daya yang memadai di sekolah vokasi.

Jika China dan Jerman bisa berhasil menyelenggarakan program pendidikan vokasi berbasis link and match dengan industri itu karena kebijakan pemerintah yang memberikan dukungan penuh pada pengembangan pendidikan vokasi. Karena itu, mengubah paradigm pendidikan vokasi agar menghasilkan lulusan yang berkualitas sesuai kebutuhan dunia kerja harus dilakukan secara menyeluruh, mulai dari mendukung sumber daya sekolah vokasi.
Baca juga: Pendidikan Vokasi dan Visi Indonesia 2045
Pembenahan sistem secara menyeluruh mutlak dilakukan karena sumber daya manusia yang berkompeten menjadi kunci daya saing industri kita, apalagi di era industri 4.0 ini, Indonesia bisa menjadi negara dengan ekonomi terbesar ketujuh di dunia (riset McKinley Global Institute) jika memiliki SDM yang andal.