Pope, penerbang AS sewaan CIA untuk membantu Permesta, akhirnya divonis hukuman mati. Namun, Bung Karno kemudian membebaskannya. Sebagai ”kompensasi”, AS membangun jalan bebas hambatan Jakarta Bypass.
Oleh
Eduard Lukman
·3 menit baca
Artikel opini Guntur Soekarno, ”Soekarno dan CIA” (Kompas, 6/4/2022), sangat menarik dan informatif. Namun, ada beberapa catatan yang perlu saya kemukakan.
Pertama, dari cerita Guntur tergambar bahwa peristiwa ditembak jatuhnya pesawat pengebom B-26 di Ambon terjadi dalam konteks merebut Irian Barat dari Belanda.
Pesawat Permesta itu diterbangkan Allan Lawrence Pope, rontok ditembak 18 Mei 1958. Pope tengah menyerang konvoi kapal perang ALRI (TNI AL) yang bergerak dari Pelabuhan Halong, Ambon, menuju Jailolo, Halmahera, yang diduduki pasukan Permesta (Adityawarman Suryadarma, Bapak Angkatan Udara, Suryadi Suryadarma, 2017: 231). Strategi perebutan Irian Barat secara militer dilancarkan setelah Presiden Soekarno mengumandangkan Trikora, 19 Desember 1961.
Pope, penerbang AS sewaan CIA untuk membantu Permesta, akhirnya divonis hukuman mati. Namun, Bung Karno kemudian membebaskannya. Sebagai ”kompensasi”, AS membangun jalan bebas hambatan Jakarta Bypass. Sekarang jalan itu mencakup Jalan Mayjen Sutoyo, Mayjen DI Panjaitan, Jalan Jenderal Ahmad Yani, terus ke Jalan Laksamana Muda Laut Yos Sudarso (bukan Jalan Gatot Subroto seperti disebut Guntur).
Bisa saya tambahkan, AS lalu juga memuluskan keinginan Indonesia membeli pesawat angkut tangguh Lockheed C-130 Hercules (Edisi Koleksi Angkasa, Operasi Udara Trikora, 2011: 68).
Tulisan Guntur menyebutkan bahwa menghadapi Trikora, Angkatan Darat kita antara lain dilengkapi peluru kendali darat udara. Dalam referensi tercantum bahwa rudal darat ke udara (surface to air missile) kita ada di bawah kendali operasi AURI (TNI AU). Awal 1962 Angkatan Udara kita mengoperasikan rudal antipesawat terbang, disebut NATO SA-2 Guideline (Dinas Penerangan AU, 73 Tahun Pengabdian TNI AU, 2019: 107).
Guntur Soekarno menyinggung pula infiltrasi ke Irian Barat oleh pasukan khusus Polri, Resimen Pelopor, dipimpin Hudaya Maria. Sebenarnya nama salah seorang komandan pasukan infiltrasi itu adalah Hudaya Sumarya (Anton A Setyawan dan Andi M Darlis, Resimen Pelopor: Pasukan Elit yang Terlupakan, 2011: 106).
Eduard Lukman Jl Warga RT 14 RW 03, Pejaten Barat, Jakarta 12510
Degradasi Moral
Belum selesai menangani pandemi Covid-19, krisis bahan bakar dan minyak goreng, muncul lagi masalah lain: kekerasan saat berdemonstrasi.
Pada 11 April 2022, sejumlah mahasiswa menggelar aksi demonstrasi di depan gedung DPR. Alasannya, menolak presiden tiga periode.
Pengalaman dari demonstrasi itu, ada yang dapat menjadi bahan refleksi. Ade Armando, pejuang kebenaran yang berpikir logis, diserang orang-orang masuk dalam kelompok demonstran.
Atas peristiwa tersebut, ada tiga hal yang perlu ditelaah. Pertama, bangsa Indonesia belum dalam kesatuan langkah untuk menyelesaikan masalah prioritas: menuntaskan penanganan pandemi, kelangkaan BBM, dan minyak goreng.
Kedua, mentalitas mahasiswa pendemo yang relatif mudah dikendalikan pihak-pihak yang memanfaatkan mereka.
Ketiga, anak muda telah mengalami degradasi moral.
Kekerasan dan anarkisme dipandang sebagai cara menyelesaikan masalah. Kekuatan otot dianggap menjadi sarana penyampaian aspirasi. Pengeroyokan adalah solusi tepat dan halal untuk membungkam pihak lain.
Sesungguhnya, undang-undang dan konstitusi bangsa menjamin hak setiap orang untuk menyampaikan aspirasi, asal disampaikan dengan fair dan konstitusional.
Pembenahan masih harus digiatkan kembali. Terutama moralitas anak bangsa agar cara-cara rimba tidak lagi terulang. Ini mengingat anak muda merupakan calon pemimpin dan penentu arah kemajuan bangsa ke depan. Sic fiat!
Agustian Ganda Putra Sihombing, OFMCapHumbang Hasundutan, Sumatera Utara