Tahun Toleransi momentum bagi seluruh rakyat Indonesia untuk membina dan meningkatkan sikap-sikap toleran dalam setiap segi kehidupan. Sebaliknya, sikap-sikap tidak terpuji, intoleran, dan separatis perlu dijauhkan.
Oleh
Agustian Ganda Putra Sihombing, OFMCap
·2 menit baca
Bangsa Indonesia telah mencoba pelbagai cara untuk mewujud-nyatakan toleransi, baik dalam teori maupun praktik hidup. Dalam jenjang pendidikan di sekolah dan keluarga, toleransi perlu dioptimalkan sedemikian rupa agar Indonesia menjadi bangsa toleran.
Sulit dibayangkan bagaimana usaha tersebut bisa berlangsung cepat, merata, dan berkualitas apabila tidak berdasar pada Pancasila dan konteks zaman.
Sebagai dasar dan penggerak sistem kehidupan bangsa, Pancasila harus menjadi sentral. Namun, bangsa ini harus tetap memperhatikan konteks zaman. Sebab, setiap zaman dan generasi manusia membentuk karakteristik masing-masing. Cerdas apabila sistem implementasi dirancang beriringan dengan pergerakan dan pergeseran waktu.
Bentuk-bentuk toleransi yang sungguh Pancasilais dan kontekstual (saat ini) di Indonesia ada di bidang sosial, agama, politik, dan ekologi. Semua bentuk tersebut melekat dalam diri tiap-tiap masyarakat.
Kebetulan, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mencanangkan tahun 2022 sebagai Tahun Toleransi. Ini momentum bagi seluruh rakyat Indonesia untuk membina dan meningkatkan sikap-sikap toleran dalam setiap segi kehidupan. Sebaliknya, sikap-sikap tidak terpuji, intoleran, dan separatis perlu dijauhkan.
Kebijakan tersebut merupakan bentuk rasa cinta kepada bangsa yang multikultural ini. Menag juga mencoba membangkitkan kembali marwah bangsa Indonesia yang sejatinya toleran. Memang, apa yang dicanangkan ini akan menghadapi tantangan berat.
Namun, sebagai rekan seperjuangan, kita dapat saling meneguhkan semangat untuk meningkatkan toleransi dan kesatuan secara konsisten dan berakselerasi. Sic fiat!
Agustian Ganda Putra Sihombing, OFMCapPastoran Paroki Santa Lusia Parlilitan, Jl Dolok Sion, Parlilitan, Humbang Hasundutan, Sumatera Utara
Ikhlas dan Gratis
Tiga terbitan Kompas memuat sosok yang menyentuh hati dan perhatian saya.
Pada 24 Januari 2022 tentang Ni Ketut Nepa dari pedusunan daerah Jembrana, Bali. Usia beliau lebih dari 100 tahun. Jika ada yang punya kerja, beliau ikhlas menari tanpa dibayar. Mungkin karena ikhlas dan suka bergerak, beliau dipanjangkan umurnya.
Pada 25 Januari 2022 tentang Pak Atep. Ketika ia kecil, ibunya yang menjadi pembantu rumah tangga di Bandung sering membawakan majalah anak yang sudah lama, dan Pak Atep jadi suka membaca. Kini beliau (42) menjadi penulis ulung di daerah Priangan.
Pada 26 Januari 2022 tentang Kak Siti Salamah yang mengangkat derajat pemulung. Tadinya Kak Siti tidak ingin jadi guru, tetapi setelah menjadi guru pemulung, beliau suka sekali kalau mereka bisa maju atau mandiri.