Joko Waluyo adalah penggerak sumur resapan dari Desa Patemon, Tengaran, Semarang, Jawa Tengah. Sumur resapan membantu desa ini melewati krisis air parah satu dekade lalu.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·5 menit baca
Krisis air merupakan peristiwa tidak mengenakan yang pernah menimpa Desa Patemon, Tengaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Jangan lagi terjadi, demikian Joko Waluyo (61) membatin. Ia jadi giat menggerakkan pembuatan sumur resapan demi menjaga sumber air desa.
Perjalanan dari Kota Semarang menuju Patemon memakan waktu satu jam dengan jarak tempuh sekitar 60 kilometer jika melewati Jalan Tol Semarang–Solo. Saat tiba di Patemon pada Rabu (20/4/2022) pagi, suasana perdesaan yang asri kontan terlihat. Pohon dan rumput liar banyak tumbuh di sepanjang pinggir jalan desa dengan luas 372,3 hektar ini.
Siapa sangka kekeringan pernah terjadi di sini satu dekade lalu? ”Pada 2013, krisis air di Patemon dulu cukup parah. Kami setiap hari dapat suplai dari PDAM terdekat hampir tujuh sampai delapan tangki air, satu tangki itu kami bayar Rp 110.000,” kata Joko ketika ditemui di rumahnya di Dusun Patemon.
Kondisi itu bertolak belakang dibandingkan saat Joko masih duduk di bangku sekolah dasar. Ia ingat betul sering berenang bersama teman-teman sebaya atau menggembalakan sapi di sungai. Lama-kelamaan air sungai berkurang drastis, terutama ketika musim kemarau.
Kelangkaan air membuat Joko dan warga desa di Badan Permusyawaratan Desa (BPD) berembuk. Mereka berencana membuat lubangan di setiap rumah supaya air hujan masuk ke tanah. Wacana itu akhirnya terealisasikan setelah USAID IUWASH, Coca Cola Foundation Indonesia, dan Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah (SPPQT) membawa program sumur resapan pada 2014.
Patemon merupakan salah satu desa krusial untuk tangkapan air bagi Mata Air Senjoyo di Desa Tegalwaton, Kabupaten Semarang. Jarak antara kedua lokasi kira-kira 8 kilometer apabila ditempuh dengan kendaraan bermotor.
Senjoyo juga merupakan salah satu sumber utama air baku bagi PDAM Kota Salatiga, enklave dari Kabupaten Semarang. Data dari PDAM Kota Salatiga menyebutkan, debit Senjoyo dulu lebih kurang 1.400 liter per detik. Pada 2014, hasil kajian menemukan debit air Senjoyo berkurang menjadi sekitar 800 liter per detik.
Joko menjelaskan, krisis air, khususnya di Patemon, terjadi akibat ulah manusia merusak lingkungan tanpa memperhatikan peresapan air. Lahan beralih fungsi untuk pertanian, perumahan, bangunan, dan jalan. Pohon penjaga mata air dan daerah resapan air berkurang drastis. Gunung Merbabu yang tak jauh dari rumahnya pun semakin gundul untuk pertanian.
Anak cucu
Sebagai tokoh desa, Joko dan para perangkat desa berusaha menggerakkan warga desa yang terdiri dari sekitar 900 kepala keluarga. Mereka memberi gambaran pada warga tentang pentingnya penyelamatan mata air. Dengan sumur resapan dan biopori, kandungan air tanah terjaga dan risiko banjir berkurang. Krisis air dapat berhenti.
Sosialisasi tentang program bantuan sumur resapan untuk Patemon itu selalu dilakukan dalam setiap pertemuan tingkat RT. Ada warga yang menerima, ada yang tidak. Joko, yang adalah mantan kepala dusun selama 15 tahun, maklum sebab warga harus merelakan sebagian tanah pribadi.
Namun, Joko tidak hilang akal. ”Kami jabarkan kalau mata air baik, bisa dinikmati anak cucu. Orang dengan nalar sehat kalau diajak mikir tentang anak cucu pasti tertarik,” ujarnya.
Ukuran standar sumur resapan adalah 2 meter x 2 meter x 2 meter agar menampung 8 meter kubik air. Pembuatan sumur resapan mesti menimbang jenis tanah, lokasi lahan, dan arah aliran air. Agar tidak boros lahan dan biaya, Joko berkreasi dengan membuat sumur resapan ukuran 1,5 meter x 1,5 meter x 3,6 meter dengan daya tampung yang sama.
Desa Patemon sekarang memiliki total 300-an sumur resapan. Di pekarangan rumahnya sendiri, Joko memiliki dua sumur resapan. Jumlah sumur resapan bisa berubah-ubah karena kadang tergantung warga ingin kembali menggunakan lahan untuk keperluan pribadi atau dana pembangunan sumur resapan baru yang dimiliki desa. Patemon bisa membuat dua sampai tiga sumur dengan biaya Rp 10 juta.
Usaha Joko dan warga tidak sia-sia, bahkan bisa dibilang manfaatnya langsung terlihat. Pada 2015, setahun setelah program sumur resapan bergulir, kebun Joko bertani tidak kering, air hujan tidak meluber ke mana-mana, dan air selokan tidak lagi banyak.
Perubahan turut terjadi pada kandungan air tanah di Patemon. Salah satu tetangga Joko memiliki sumur gali dengan kedalaman 36 meter. Air sumur ini dulu hanya cukup digunakan oleh satu keluarga. Setelah ada sumur resapan, sumur ini bisa digunakan oleh 18 keluarga, termasuk keluarga Joko.
”Dari PDAM Kota Salatiga juga bilang ada kenaikan di Senjoyo,” ujar Joko. Masih mengutip data PDAM Kota Salatiga, debit Senjoyo naik bertahap dan mencapai kisaran 1.200-1.300 liter per detik pada 2017.
Tokoh penggerak
Sebenarnya desa lain turut menjadi sasaran program pembangunan sumur resapan sebagai daerah tangkapan untuk Senjoyo, misalnya Jetak di Kabupaten Semarang dan Noborejo di Salatiga. Akan tetapi, Patemon menjadi contoh sukses karena sumur resapan masih awet hingga kini.
”Desa itu bergerak kalau ada faktor penggerak seperti orang yang peduli dan punya wawasan ke depan, mau memikirkan nasib bumi. Patemon ini salah satu desa yang berani mengalokasikan dana untuk sumur resapan setiap tahun lewat APBDes dan memiliki peraturan desa tentang tata kelola air,” tutur Joko.
Patemon mengeluarkan Peraturan Desa Patemon Nomor 3 Tahun 2015 tentang Tata Kelola Sumber Daya Air Desa Patemon. Pasal 8, misalnya, berbunyi setiap pihak yang mendirikan bangunan wajib meresapkan air hujan selama musim hujan dan perusahaan di wilayah desa wajib membangun sumur resapan untuk warga setiap tahun.
Keberhasilan Desa Patemon dalam menjaga air turut menjadi bahan tinjauan. Perwakilan pemda tingkat provinsi atau kabupaten dari DKI Jakarta, Kalimantan Selatan, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan pernah datang berkunjung. Joko sering diundang sebagai pembicara di luar desa untuk berbagi pengalaman.
”Bahasa orang-orang sini bilang, kalau bisa jangan meninggali air mata, tetapi biarlah meninggali mata air,” kata kakek dua cucu ini yang masih bugar ini.
Joko Waluyo
Lahir: Desa Patemon di Semarang, 10 Oktober 1960
Pendidikan terakhir: SLTP 1 Tengaran
Pekerjaan: Petani dan peternak
Keluarga: Partiyem (istri) dan Rahayu Puji Ningsih (anak)
Pengalaman, antara lain:
Pembicara dalam acara Dinas Lingkungan Hidup Kota Salatiga, 2020
Pembicara dalam acara Pemerintah DKI Jakarta, 2018
Pembicara dalam acara BPDASHL Pemali Jratun, 2017
Pembicara dalam acara PDAM Kabupaten Batang, Jawa Tengah, 2015