Ama Achmad, Sastra untuk Persaudaraan
Ama Achmad membangun komunitas sastra untuk persaudaraan tiga suku di tiga kabupaten di Banggai, Sulawesi Tengah.

Ama Achmad, pegiat sastra dari Banggai, Sulawesi Tengah.
Ama Achmad (40) lahir di Luwuk, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, sebuah kota kabupaten yang tak memiliki toko buku. Nama-nama penulis, hanya dikenalnya dari buku pelajaran Bahasa Indonesia. Melalui komunitas Babasal Mombasa yang dibangunnya, Ama menjadikan sastra sebagai jembatan untuk membangun persaudaraan Banggai.
”Persinggungan Ama dengan dunia sastra khususnya puisi terjadi saat masih duduk di bangku sekolah dasar. Kala itu, seorang teman sekolah yang berasal dari Surabaya berdeklamasi membacakan puisi Chairil Anwar, ”Karawang Bekasi”.
”Waktu dia membacakan puisi itu, saya seperti tergugah dan terenyuh. Saya tanya guru saya, itu ditulis oleh siapa, tahun berapa dan siapa Chairil Anwar itu,” kenang Ama saat dihubungi per telepon, Selasa (1/3/2022), di Banggai.
Sang guru menjawab pertanyaan Ama kecil seadanya. Namun, peristiwa hari itu terus melekat di kepalanya. Ama begitu terkesan. Di benaknya tertancap kuat. ”Bahwa dengan kata-kata kamu akan abadi. Dengan kata-kata, perjalananmu akan tetap menjejak. Dari situ kemudian saya menulis puisi,” tutur Ama.
Meski mulai senang menulis puisi dan cerita pendek, karyanya itu hanya menjadi koleksi pribadi. Kala itu, sebagai bocah yang tinggal jauh dari Jakarta dan tak punya akses pada dunia sastra, membuat minatnya pada sastra sulit berkembang. Orangtuanya pun tak paham bagaimana menyalurkan minat Ama pada sastra.
Baca juga: Felix Nesi, Provokasi Si Provokator
”Hanya memang, ayah sering sering keluar kota, dan yang selalu dibelikan adalah buku. Kadang buku sastra, kadang buku cerita kayak Lupus, atau majalah,” kata Ama.
Setiap kali selesai membaca buku, sang ayah selalu meminta Ama menceritakan ulang isi buku tersebut. Pengalaman itu membuat minat Ama pada literasi tumbuh.
Beranjak dewasa, Ama melanjutkan studinya di Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Muslim Indonesia di Makassar. Di sana Ama berkenalan lagi dengan puisi. Keberadaan toko buku di ibu kota provinsi Sulawesi Selatan itu membuat kerinduannya pada sastra kembali terisi.
Sayang, kesibukannya kuliah di jurusan Teknik membuatnya tak banyak menulis puisi. Hobi menulisnya hanya tertuang di blog.
Karena di Twitter bisa menulis dalam 140 karakter tanpa dibilang ini itu, Twitter waktu itu jadi ruang aman saya untuk berpuisi.
Lingkaran pertemanan yang berbeda juga menjauhkan dirinya dari sastra. Lulus kuliah, Ama bahkan sempat mendaftar bekerja di sebuah kantor milik negara. Namun, itu dilakukan untuk menyenangkan orangtuanya.
Memutuskan pulang ke Banggai, Ama lalu mulai banyak menulis di fitur notes di akun Facebooknya. Tak lama, Ama berpindah ke Twitter.
”Di Twitter, saya menemukan banyak orang, banyak akun sastra. Saya kemudian berkenalan dengan mereka. Saya juga mulai kenal penulis seperti Aan Mansyur dan lain sebagainya. Karena di Twitter bisa menulis dalam 140 karakter tanpa dibilang ini itu, Twitter waktu itu jadi ruang aman saya untuk berpuisi,” ujar Ama.
Ama lalu menemukan banyak hal. Salah satunya tentang Emerging Writers di festival-festival sastra. Tahun 2014, Ama memberanikan diri mengirim puisinya ke Emerging Writers Makassar International Writers Festival. Tak disangka lolos seleksi. Dari sana, cakrawala dunia sastra Ama terbentang makin luas.

Ama Achmad, pegiat sastra dari Banggai, Sulawesi Tengah.
Tiga Banggai
Sejak ayahnya mulai sakit, Ama mengambil alih sekolah yang didirikan ayahnya untuk anak-anak kurang mampu. Kesibukannya mengelola sekolah madrasah itu beriringan dengan kesenanganya pada dunia literasi dan sastra.
Selain mendirikan kedai baca, Ama juga kerap menghadirkan ruang-ruang literasi seperti di taman atau berbicara tentang literasi di sekolah dan tempat lain. Ama juga menulis di koran lokal yang kerap membuat ayahnya cemas karena isinya tentang pemberangusan buku, tentang Soeharto yang menghilangkan jejak sejarah dan lain-lain.
”Karena ayah itu Soeharto sekali, ayah pernah jadi anggota DPR zaman Soeharto di Luwuk, jadi dia masih Orba sekali. Saya bilang saya menulis apa yang ingin saya tulis. Bagaimana mau menulis kalau takut-takut. Harus merdeka,” ujarnya.
Akhir 2015, Ama mendirikan Komunitas Babasal Mombasa. Babasal adalah akronim dari tiga suku yang ada di Banggai yaitu Banggai, Balantak, dan Saluan. Mombasa artinya membaca. ”Kami pakai nama itu karena ingin merangkul semuanya dalam satu simpul,” tutur Ama.
Baca juga: Agustinus Heri Sugianto, Abadikan Kehidupan Para Nelayan
Menurut Ama, keberadaan komunitas seperti Babasal Mombasa menjadi penting karena identitas sebuah kota tak hanya dari nama, tetapi juga aktivitas kebudayaannya. Bagaimana sebuah kota merasakan peristiwa-peristiwa yang kemudian dituangkan dalam tulisan.
“Kami memulainya dengan Malam Puisi Luwuk’ Ini adalah kegiatan yang diadakan hampir di seluruh kota di Indonesia. Awalnya di Bali, kota-kota lain mengikuti. Jadi tiap bulan ramai,” ujar Ama. Meski digelar sederhana, bulan pertama di Taman Kota dan bulan kedua di kafe, responsnya menggembirakan.
Denyut Babasal Mombasa pun makin kencang. Anak-anak muda usia 24-26 tahun banyak yang bergabung. ”Kami mencoba membuat ini jadi ruang fleksibel. Ketika ada kesibukan di luar dan tidak bisa bergabung, ya, tidak apa-apa. Tapi ketika dibutuhkan, kembalilah ke rumah, ke komunitas,” terang Ama.
Banyak anak muda yang awalnya lebih senang berkumpul dan berkegiatan, tak menyukai buku, mulai menulis. Ada juga yang mulai rajin membaca. Ini menggembirakan.
Stigma
Tahun 2021, Ama dan komunitasnya berjalan lebih jauh. Seperti tujuan semula, mereka ingin merangkul tiga Banggai. Kabupaten Banggai yang didominasi daratan, serta Kabupaten Banggai Kepulauan dan Banggai Laut yang didominasi lautan.
Menurut Ama, hal yang hingga kini masih terus dibangun oleh komunitas mereka adalah semangat bersaudara antara ketiga Banggai yang seolah berbeda karena terpisah darat dan lautan. Orang Banggai yang tinggal di laut (Banggai Laut dan Kepulauan), kerap mendapat stigma, disebut orang pulo dan diledek karena logat mereka yang berbeda.
”Sebenarnya memang kami bersaudara. Hanya karena kultur, orang-orang di darat dan pesisir kan agak-agak beda. Jadi, isu yang terus kami bawa adalah kita bersaudara, tak ada yang beda,” ujarnya.
Sebenarnya memang kami bersaudara. Hanya karena kultur, orang-orang di darat dan pesisir kan agak-agak beda. Jadi, isu yang terus kami bawa adalah kita bersaudara, tak ada yang beda.
Mereka kemudian membuat Akademi Sastra Banggai, berupa residensi virtual selama tujuh bulan dengan peserta dari tiga kabupaten tersebut. Targetnya menerbitkan buku. Harapannya, anak-anak muda itu bisa menularkan semangat bersaudara dan semangat menulis pada yang lain.
Bagi Ama, sastra adalah pintu masuk bagi persoalan literasi dan persoalan kebudayaan lainnya. ”Sebelum kita bersulit-sulit dengan finansial dan lain-lain, hal paling mudah yang bisa kita masuki adalah lewat pintu sastra, lewat bacaan-bacaan itu,” ujarnya.
Ama berharap, kelak akan melihat Banggai dan anak-anak muda setelahnya menjadi anak-anak muda yang tingkat literasinya tinggi, yang memahami dan peduli pada pendidikan dan kebudayaan.
Baca juga: Ahmad Tohari, Kedaulatan Pengarang
Ama Achmad
Lahir : Luwuk, 3 September 1981
Pendidikan :
- SD Pembina Luwuk
- MTs Luwuk
- SMA 2 Luwuk
- Teknik Elektro UMI
Buku :
- Antologi Isis dan Musim-musim (2014)
- Antologi 100 Perempuan Bukan Penyair (2014)
- Surabaya Beat Antologi Foto dan Puisi (2015)
- Dari Timur I (2017)
- Antologi Tentang Yang (2018)
- Antologi Yang Bekerja dalam Sunyi (2018)
- Dari Timur 3 (2019)
- Buku Puisi Tunggal, Keterampilan Membaca Laut (2019)
Organisasi :
- Ketua Yayasan Babasal Mombasa (2018-sekarang)
- Ketua Perkumpulan Puan Seni Indonesia (2021-sekarang)