Berbekal keterampilan membuat produk mode dengan teknik ecoprint, Puthut Ardianto memberdayakan ibu-ibu di DIY dan Jateng. Para ibu itu dilatih membuat karya ecoprint yang memiliki nilai ekonomi tinggi.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·5 menit baca
Berbekal keterampilan membuat produk mode dengan teknik ecoprint, Puthut Ardianto (37), memberdayakan ibu-ibu di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah. Para ibu itu dilatih membuat karya ecoprint yang memiliki nilai ekonomi tinggi sehingga mereka bisa mendapat penghasilan tambahan. Selain bermanfaat secara ekonomi, karya ecoprint juga memiliki manfaat secara ekologi karena ramah lingkungan.
Puthut merupakan pemilik usaha ecoprint Lemospires di Kota Yogyakarta. Selain itu, dia juga menjabat sebagai Ketua Asosiasi Eco-Printer Indonesia (AEPI). Asosiasi yang dideklarasikan pada November 2020 itu beranggotakan lebih dari 1.000 pembuat ecoprint dari berbagai kota di Indonesia.
Sebelum mengenal ecoprint, Puthut lebih dulu jatuh cinta pada wastra atau kain tradisional Nusantara, seperti batik, lurik, dan jumputan. Kecintaan itu tumbuh sejak Puthut menjadi salah satu Duta Wisata Yogyakarta pada 2007.
Sebagai duta wisata, Puthut banyak berinteraksi dengan para perajin kain tradisional. ”Saat itu, kami sering diajak ke perajin batik, penenun lurik, dan sebagainya. Awal suka wastra Nusantara ya dari situ,” kata Puthut saat ditemui, Senin (9/8/2021), di Yogyakarta.
Pada 2010, Puthut mulai memproduksi karya batik sendiri. Selain itu, dia juga mencoba memproduksi kain jumputan karena di sekitar tempat tinggalnya di Kelurahan Tahunan, Kecamatan Umbulharjo, Kota Yogyakarta, terdapat banyak pengrajin jumputan. Mulanya, produksi batik dan jumputan yang dilakukan Puthut itu menggunakan pewarna sintetis atau buatan. Akan tetapi, kebiasaan menggunakan pewarna sintetis itu berubah setelah Puthut mengenal ecoprint.
Secara sederhana, ecoprint adalah teknik memberi motif dan warna pada kain, kulit, kertas, atau medium lain dengan bahan-bahan alami. Para pembuat ecoprint biasanya memanfaatkan berbagai bagian tanaman, misalnya daun, bunga, kayu, atau bagian lainnya, untuk memberi motif dan warna.
Berdasar sejumlah referensi, teknik ecoprint pertama kali dikembangkan oleh seniman Australia, India Flint, pada tahun 2001. Setelah itu, ecoprint menyebar ke berbagai negara, termasuk Indonesia. Selama beberapa tahun terakhir, usaha ecoprint pun bermunculan di sejumlah kota di Indonesia, termasuk Yogyakarta.
Puthut mengaku mengenal ecoprint sejak akhir 2017. Setelah itu, sejak awal tahun 2018, dia mulai serius belajar mengenai ecoprint dan melakukan eksperimen dengan teknik tersebut. Pada masa awal, Puthut banyak mencari literatur dan tutorial mengenai ecoprint dari internet.
Selain itu, bersama seorang pegiat ecoprint di Yogyakarta, Puthut juga membeli buku elektronik tentang ecoprint untuk dipelajari bersama-sama. ”Kami sempat urunan (iuran) beli ebook (buku elektronik) bareng, lalu belajar bareng,” ujar lelaki yang lahir di Tuban, Jawa Timur, 21 Juni 1984, tersebut.
Untuk menambah keterampilannya, Puthut mengikuti kursus membuat karya ecoprint kepada salah satu pegiat ecoprint generasi awal di Yogyakarta. Selain itu, dia juga pernah mengikuti kursus daring yang diselenggarakan pembuat ecoprint dari kota lain. ”Dari kursus itu, saya ketemu banyak peserta lain yang juga membuat ecoprint,” katanya.
Sejak 2018, Puthut mulai memproduksi karya ecoprint dengan merek Lemospires. Karya ecoprint buatannya dijual dengan harga bervariasi. Untuk kain ukuran 2 meter x 1,1 meter, misalnya, dijual dengan harga Rp 350.000 sampai Rp 1,5 juta. Para pembeli karya ecoprint buatan Puthut itu tak hanya berasal dari Indonesia, tetapi juga beberapa negara lain, misalnya Australia dan Belanda.
Manfaat
Puthut menyatakan, potensi pengembangan ecoprint di Indonesia sangat besar karena Indonesia memiliki banyak jenis tanaman yang bisa dimanfaatkan untuk ecoprint. Beberapa jenis daun di Indonesia yang bisa dimanfaatkan untuk pembuatan ecoprint adalah daun jati, daun lanang, daun kalpataru, daun jenitri, dan sebagainya.
”Dari sisi sumber daya alamnya, kita punya banyak yang bisa dipakai untuk ecoprint. Ini yang membuat orang-orang dari luar negeri sering iri,” ujar Puthut yang sehari-hari juga bekerja sebagai dosen Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Puthut menambahkan, produksi karya ecoprint juga memiliki banyak manfaat. Selain bisa mendatangkan pemasukan bagi pembuatnya, produksi ecoprint juga ramah lingkungan karena menggunakan bahan-bahan alami untuk memberi motif dan mewarnai kain.
Di sisi lain, banyak pembuat ecoprint yang kemudian menanam sendiri tanaman yang mereka butuhkan untuk membuat ecoprint. Dengan kondisi itu, pengembangan ecoprint secara tak langsung berkontribusi memperbanyak penanaman pohon yang bisa berdampak baik pada lingkungan.
Puthut juga memanfaatkan ecoprint untuk memberdayakan ibu-ibu di sejumlah wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Aktivitas pemberdayaan itu dimulai tahun 2018 di Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul, DIY.
”Awalnya dulu itu saya sering main ke Dlingo dan melihat potensi di Dlingo itu besar sekali untuk memproduksi ecoprint. Di sana kan masih banyak pohon jati dan pohon lanang yang daunnya bisa digunakan untuk ecoprint,” tutur Puthut.
Mulanya, Puthut menggelar pelatihan pembuatan ecoprint yang diikuti oleh para ibu di Dlingo. Setelah pelatihan, para ibu di Dlingo itu membentuk komunitas Shero yang merupakan kependekan She is a Hero. Komunitas yang beranggotakan 20 orang perempuan dari enam desa di Dlingo itu dibentuk untuk mewadahi produksi produk ecoprint oleh para anggotanya.
Selain pelatihan, Puthut juga berhasil mendapatkan dana hibah dari sebuah lembaga untuk memberi bantuan peralatan dan bahan untuk memproduksi karya ecoprint kepada para ibu di Dlingo. Peralatan produksi karya ecoprint itu misalnya kompor, alat pengukus, dan sebagainya.
Saat ini, para ibu di Dlingo sudah bisa memproduksi karya ecoprint secara mandiri. ”Skill (keterampilan) mereka sudah sangat terasah. Bahkan, kualitas karya ibu-ibu itu sudah melebihi karya saya,” tutur Puthut sambil tertawa.
Karya ecoprint buatan mereka pun telah laku dijual melalui berbagai pameran dan acara. Oleh karena itu, dengan adanya aktivitas pembuatan produk ecoprint, para ibu di Dlingo bisa mendapatkan penghasilan tambahan.
Selain di Dlingo, Puthut juga memberi pelatihan ecoprint kepada ibu-ibu di beberapa wilayah lain, misalnya Kelurahan Brontokusuman, Kecamatan Mergangsan, Kota Yogyakarta dan Desa Bugel, Kecamatan Panjatan, Kabupaten Kulon Progo. Di luar DIY, Puthut juga melatih dan membina komunitas ecoprint di Kabupaten Klaten dan Magelang, Jawa Tengah.
”Manfaat ecoprint itu memang banyak sekali, salah satunya untuk pemberdayaan perempuan,” ungkap Puthut.
Salah satu anggota Shero, Inggit Fandayati (40), mengatakan, kain ecoprint karya para anggota komunitas itu dijual seharga Rp 120.000-Rp 400.000. Dia menuturkan, dari penjualan ecoprint, komunitas itu bisa memperoleh pendapatan sekitar Rp 3,5 juta dalam sebulan. Pendapatan itu belum termasuk hasil penjualan karya yang dibuat secara pribadi oleh setiap anggota Shero.
”Konsep awalnya memang untuk pemberdayaan ibu-ibu. Tadinya kami kan ibu-ibu rumah tangga, tetapi kemudian bisa terlibat aktivitas ekonomi dengan ecoprint. Memang masih sedikit (pendapatannya), tetapi kemanfaatannya sudah terasa,” kata Inggit.
Puthut Ardianto
Lahir: Tuban, Jawa Timur, 21 Juni 1984
Pendidikan:
S-1 Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, Yogyakarta
Pascasarjana Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, Yogyakarta
Pekerjaan:
Dosen Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Pemilik usaha ecoprint Lemospires, Yogyakarta
Organisasi: Ketua Asosiasi Eco-Printer Indonesia (AEPI)