Michael Boro Bebe melestarikan tradisi Lamaholot dengan menulis beberapa buku.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Membaca buku berisi budaya Lamaholot dengan penulis bukan orang Lamaholot membuat Michael Boro Bebe tertampar malu. Putra Lamaholot itu kemudian merekam lakon hidup komunitasnya ke dalam buku. Kendati terpaksa berutang untuk biaya cetak, guru sekolah dasar tersebut tak pernah kapok menulis hingga buku keenam yang segera terbit nanti.
Salah satu buku yang dibaca Michael berjudul Ata Kiwang karya Profesor Ernst Vatter. Vatter, antropolog Eropa, mengisahkan tentang kehidupan orang Lamaholot yang ditemuinya dekade 1930-an. Lamaholot merupakan entitas suku yang tersebar pada tiga kabupaten di Nusa Tenggara Timur, yakni Flores Timur, Lembata, dan sebagian Alor.
”Mengapa Vatter bisa menulis tentang Lamaholot, sementara saya orang Lamaholot tidak bisa menulis tentang Lamaholot. Sebagai orang Lamaholot, saya malu,” ujar Michael yang kini berusia 51 tahun itu lewat sambungan telepon, Minggu (20/6/2021).
Pernyataan tersebut sering kali dia ucapkan, termasuk ketika Kompas menyambangi rumahnya di Lembah Witihama, sebuah perkampungan di sisi timur Pulau Adonara, Flores Timur, April 2021. Michael dengan penuh semangat mengungkapkan mimpinya ingin terus menulis buku bertema kebudayaan.
Selama hampir satu dekade terakhir, ia mewujudkan tekadnya itu. Lima buku telah diterbitkan, yakni Bau Lolon Sebagai Ritus Sentral Adat Budaya Lamaholot, Panorama Budaya Lamaholot, Mengenal Etnis Lamaholot Mengukuhkan Keindonesiaan Kita, Menyingkap Perempuan Lamaholot, dan Menjunjung Tinggi Budaya Lamaholot.
Pinjam uang
Mimpinya menulis buku perlahan mulai ia wujudkan pada 2009. Setelah membaca berbagai literatur dan berdiskusi dengan para tetua adat, ia menuangkannya di atas lembaran kertas dengan tulisan tangan. Satu tahun kemudian, narasinya telah tersusun dalam lebih dari 300 lembar.
Selanjutnya, ia meminta tolong kepada beberapa kenalannya untuk mengetik tulisan itu di komputer. ”Waktu itu saya tidak punya komputer dan sama sekali belum bisa mengoperasikan komputer. Kalau mesin ketik saya masih bisa, tapi rasanya tidak mungkin untuk zaman sekarang ini,” kata Michael mengenang.
Selesai diketik, kemudian dicetak di rental komputer, ia membawa bundelan itu sambil mencari penerbit. Berangkatlah ia dari Pulau Adonara menggunakan kapal motor selama 1,5 jam ke Larantuka, ibu kota Kabupaten Flores Timur di Pulau Flores. Dari sana, ia lalu menumpang bus selama empat jam ke Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka.
Kala itu, ia mengincar salah satu penerbit di Maumere. Setelah bertemu dengan pihak penerbit, ia disarankan berkonsultasi dengan Pater Hendrikus Wuwur SVD, imam Katolik yang mengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Pater Hendrikus adalah penulis senior yang mendalami budaya Lamaholot. ”Mungkin mereka menilai tulisan saya tidak memenuhi standar,” ujar Michael.
Michael pun menyadari bahwa tulisannya memang belum bagus. Guru sekolah dasar lulusan sekolah guru agama Katolik itu tak pernah belajar ilmu menulis. Ia sama sekali tak punya pengalaman menulis buku. Modal yang ia miliki hanya semangat.
Pater Hendrikus yang sudah meninggal beberapa tahun lalu itu lalu mengoreksi tulisannya dan meminta diperbaiki. Michael kembali ke Adonara dan merevisi bukunya. Beberapa bulan kemudian, ia datang lagi ke Maumere untuk menyerahkan perbaikannya itu kepada penerbit. Sayangnya, ia tak jadi menerbitkan bukunya di Maumere.
”Waktu itu saya kaget dengan biaya cetaknya. Bagi saya terlalu mahal, jadi saya bawa pulang tulisan itu,” tuturnya.
Ia lalu mencari tahu informasi penerbit lain dengan harga cetak bisa ia jangkau. Salah satu penerbit menawarkan harga sedikit lebih murah, tetapi tetap di luar kemampuan keuangannya. Ia putuskan meminjam uang dari koperasi sebesar Rp 15 juta untuk biaya cetak.
Pertengahan 2012 menjadi momentum bersejarah bagi dirinya. Buku berjudul Bau Lolon Sebagai Ritus Sentral Adat Budaya Lamaholot berhasil terbit sebanyak 142 halaman dengan cetakan pertama sebanyak 300 eksemplar. Sebagian buku ia bagikan secara gratis kepada beberapa perpustakaan sekolah, kenalannya, para peneliti dari luar Lamaholot, dan juga kepada pejabat lokal. Hanya sebagian kecil dibeli sebagai penghargaan atas karya dia.
Sukses dengan terbitan pertama, Michael semakin tertantang untuk menulis lagi. Kali ini, dia tidak banyak kesulitan membuat naskah. Dalam setengah tahun, ia bisa menulis satu buku. Total ia telah menulis lima buku. Saat ini dia sedang menyiapkan buku keenam yang berisi tentang mitigasi bencana berbasis kearifan lokal.
Buku itu berangkat dari peristiwa banjir bandang dan longsor yang menerjang sejumlah perkampungan di Adonara pada April 2021. Bencana itu menyebabkan lebih dari 100 orang Lamaholot meninggal. Menurut dia, risiko bencana sebetulnya dapat dikurangi lewat kearifan lokal yang sudah ada dalam kehidupan masyarakat Lamaholot.
Dalam budaya Lamaholot, masyarakat selalu diwajibkan untuk menjaga alam yang disebut Tanah Ekan sebagai ciptaan Tuhan Yang Mahakuasa dinamakan Rera Wulan. Belakangan ini, masifnya pembangunan membuat keseimbangan alam tidak terjaga. Di luar itu, ada mitos kehidupan yang mulai diabaikan generasi muda. Hal inilah yang mendatangkan malapetaka.
Bagi Michael, buku menjadi media yang tepat untuk mengabadikan ajaran, pesan, dan nilai bagi generasi di masa depan. Menulis buku keenam ini pun dirasa belum cukup mengakomodasi semua budaya Lamaholot. Ia masih ingin terus menulis meski setiap kali mencetak, ia selalu meminjam uang dari koperasi. ”Sampai sekarang utang koperasi itu belum lunas,” ujar guru SD Witihama itu sambil tertawa lepas.
Kini, rumah Michael sering kali dikunjungi peneliti yang tengah mendalami budaya Lamaholot. Mereka mulai dari calon sarjana hingga profesor. Tak hanya mendatangi rumahnya, dalam sejumlah diskusi secara tatap muka ataupun dalam jaringan, ia kerap dihadirkan menjadi pembicara mulai dari level lokal hingga nasional.
Bagi banyak kalangan, pria kelahiran Witihama 51 tahun silam itu dianggap sebagai sumber kompeten yang cukup memahami budaya Lamaholot. Ia orang Lamaholot yang menulis buku tentang Lamaholot. Tak diragukan. ”Michael ini seperti kamus Lamaholot yang hidup,” ujar Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia Flores Timur Maksimus Masan Kian.
Maksimus menilai, Michael merupakan sosok yang pantang menyerah. Ia terus belajar. Untuk ukuran seorang guru sekolah dasar di kampung, menulis enam buku bukan perkara mudah. Mungkin Michael hanya sedikit dari guru sekolah dasar di Indonesia yang bisa melakukannya.