Hasan Kleib, Diplomat Indonesia Jadi Pimpinan Organisasi Kekayaan Intelektual Dunia
Hasan Kleib menjadi diplomat Indonesia pertama yang terpilih sebagai salah satu pimpinan Organisasi Kekayaan Intelektual Dunia (WIPO).
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F12%2F510b16c7-23ba-41d0-b855-c40f504a1015_jpeg.jpg)
Hasan Kleib ketika bertugas sebagai Chair Committee Development and Intellectual Property WIPO.
Diplomat senior Hasan Kleib terpilih secara aklamasi menjadi Deputi Dirjen Organisasi Kekayaan Intelektual Dunia atau World Intellectual Property Organization (WIPO). Ia menjadi pejabat Indonesia pertama yang duduk di jajaran kepemimpinan organisasi kekayaan intelektual dunia.
Bagi Indonesia, keberhasilan Hasan Kleib penting untuk memajukan sistem kekayaan intelektual, kreativitas, dan inovasi sebagai motor penggerak untuk pembangunan nasional.
Dihubungi dari Jakarta, Sabtu (5/12/2020), Hasan Kleib mengatakan, keberhasilannya sangat penting karena tidak banyak orang Indonesia yang menempati jabatan strategis dalam organisasi dunia. Selain itu, melalui jabatan ini, ia juga bisa mendorong Indonesia agar lebih menggunakan kekayaan intelektual sebagai motor pembangunan nasional.
”Selama bertugas di Geneva, saya menyadari pentingnya kekayaan intelektual (intelectual property/IP) untuk pembangunan. Di negara berkembang, termasuk di Indonesia, kekayaan intelektual identik dengan hak paten. Padahal, lebih dari itu. Melalui IP, ada kreasi, promosi, inovasi, dan komersialisasi temuan yang berdampak besar bagi pembangunan,” kata Hasan yang menjabat Wakil Tetap Republik Indonesia untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Organisasi Perdagangan Dunia, dan organisasi internasional lainnya. Ia bertugas di Geneva, Swiss.
Ia mencontohkan, kegiatan ekspor Indonesia masih mengandalkan sumber daya alami, seperti kelapa sawit, kopi, cokelat, dan kayu, yang tidak memberikan nilai tambah. Hal ini berbeda dengan negara maju, seperti Swiss dan Korsel, yang bisa menggunakan teknologi dan inovasi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F12%2F098c83e3-56a8-42b1-93f4-5bd0ee8ff2bf_jpeg.jpg)
Hasan Kleib (kedua dari kiri) ketika membuka acara di Organisasi Kekayaan Intelektual Dunia atau World Intellectual Property Organization (WIPO).
Hasan berkaca dari pengalamannya tinggal di Swiss. Meski tidak punya biji kopi dan cokelat, Swiss terkenal karena hasil olahan yang dipasarkan ke seluruh dunia. Untuk memproduksi kopi, Swiss mendatangkan biji dari Brasil, Indonesia, dan Ethiopia. Biji kopi kemudian diolah dan dipasarkan dengan merek dagang Nescafe, yang menjadi favorit dunia. Demikian juga dengan cokelat yang menjadi unggulan Swiss, padahal bahan mentahnya dari negara lain.
Swiss juga mampu mengembangkan sektor pertanian dengan kemajuan teknologi. Seperti membangun lahan pertanian yang mampu digunakan untuk produksi 3-4 jenis bibit pangan yang berbeda.
Menurut Hasan, kreativitas dan inovasi masyarakat Indonesia tidak kalah dengan negara maju. Hal itu terbukti dari banyaknya putra-putri Indonesia yang meraih prestasi dalam lomba penelitian internasional. Namun, penerapan penelitian itu masih menghadapi banyak kendala, terutama terkait pola pikir yang menganggap kekayaan intelektual sebatas urusan hukum.
”Banyak penelitian yang hanya berakhir di perpustakaan. Setelah disertasi, tepuk tangan, lalu mahasiswa dapat predikat cumlaude. Namun, hasil penelitiannya di kemanakan?” tanya Hasan.
Saat ini, Indonesia menempati urutan ke-85 dari 131 negara dalam Global Innovation Index (GII) 2020 yang dikeluarkan oleh kolaborasi antara Universitas Cornell, Sekolah Bisnis Eropa INSEAD, dan WIPO. Indonesia mengantongi nilai 26,49, di bawah Oman dengan skor 26,50 dan di atas Kenya dengan nilai 26,13.
Di Asia Tenggara, Indonesia kalah dari Singapura (posisi ke-8), Malaysia (33), Vietnam (42), dan Filipina (50). Tiga besar GII 2020 diraih Swiss, Swedia, dan Amerika Serikat. Hasan menjelaskan, Singapura dan Vietnam berada di posisi yang lebih baik daripada Indonesia karena mempunyai inovasi dan kreativitas yang mampu mendukung pembangunan.
Kekayaan intelektual, menurut Hasan, memainkan peran penting, baik dalam fungsi penelitian dan pengajaran maupun memungkinkan peneliti mengomersialkan hasil mereka. WIPO melalui program Research and Development akan berusaha memastikan percepatan transformasi penemuan menjadi proses dan produk industri serta untuk memperkuat hubungan kolaboratif antara universitas dan industri di negara-negara berkembang di Afrika, Amerika Latin dan Karibia, Arab, Amerika Timur, serta Asia Pasifik.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F12%2Fd6727d82-2f97-4b22-a9c7-45be7c3114f4_jpeg.jpg)
Hasan Kleib (kedua dari kiri) menerima penghargaan Star of Merits dari Presiden Palestina Mahmoud Abbas. Ia merupakan warga negara Indonesia pertama yang dapat penghargaan dari negara Palestina.
Untuk kepentingan Indonesia, ia ingin bekerja sama dengan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) untuk memastikan hak kekayaan industri bisa terwujud, termasuk hak paten, hak atas merek, dan desain industri. Bersama WIPO, Hasan juga ingin memberikan pelatihan-pelatihan guna meningkatkan kesadaran rancangan merek dagang dan pengemasan agar produk yang dipasarkan dapat diterima masyarakat internasional.
Pemilihan Hasan sebagai Deputi Dirjen WIPO dilaksanakan dalam sesi Sidang Coordination Committee WIPO yang berlangsung di Markas Besar WIPO, Geneva, Kamis, 3 Desember 2020 waktu setempat. Selain Hasan Kleib, terpilih juga tiga deputi lain yang berasal dari Amerika Serikat, China, dan Prancis.
Para deputi tersebut akan memulai masa tugasnya pada 1 Januari 2021 hingga 30 September 2026. Sebelum diangkat sebagai Deputi Dirjen, Hasan menempati posisi sebagai Ketua Komite Pengembangan dan Kekayaan Intelektual WIPO. Ia kemudian mengikuti seleksi dan pemilihan Deputi Dirjen.
Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H Laoly menyampaikan rasa bangga atas terpilihnya Hasan Kleib menjadi deputi di organisasi dunia tersebut. ”Membanggakan dan menjadi torehan sejarah, untuk pertama kalinya wakil Indonesia menduduki jabatan strategis tinggi di organisasi internasional itu,” kata Yasonna, dikutip dari Sekretariat Kabinet RI.
Diplomat karier
Hasan Kleib lahir di Cirebon, Jabar, 1 Oktober 1960. Ia lulus dari Universitas Padjadjaran Jurusan Hubungan Internasional pada 1986. Setahun kemudian, ia berkabung dengan Kementerian Luar Negeri sebagai diplomat.
Sejak 1988-1992, ia menjabat Kepala Bagian Timur Tengah. Pada 1992–1996 dan selanjutnya 1996–2000, Hasan menjabat sebagai Staf Bidang Politik Perutusan Tetap RI pada PBB di New York, AS. Pada 2000–2004, ia menjabat sebagai Kepala Divisi Politik di Kedutaan Besar Indonesia di Washington DC.

Duta Besar/Wakil Tetap RI untuk PBB di Genewa Hasan Kleib menyampaikan perkembangan hak asasi manusia di Indonesia dalam acara debat publik negara calon anggota Dewan HAM PBB di Geneva, Swiss, Rabu (11/9/2019). Kegiatan ini diselenggarakan Amnesty International (AI) dan International Service for Human Rights (ISHR).
Ia pernah kembali ke Jakarta untuk mengabdi sebagai Direktur Keamanan Internasional dan Urusan Perlucutan Senjata pada 2004-2006. Sejak 2007 hingga 2010, ia menjabat Deputi Wakil Tetap Indonesia untuk PBB, termasuk saat Indonesia menjabat Anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan dari 2007 hingga 2008. Ia juga menjabat Kepala Pengganti Komite Khusus Dewan Keamanan untuk Operasi Penjaga Perdamaian, Komite Sanksi Dewan Keamanan Republik Demokratik Kongo, dan Komite Sanksi Dewan Keamanan di Liberia.
Peran aktifnya di forum PBB, antara lain, sebagai Ketua Sidang Ke-45 Komisi Kependudukan dan Pembangunan PBB; Ketua Bersama Kapasitas Sipil PBB Setelah Konflik; Wakil Presiden Sidang Umum Ke-65 PBB; Sahabat Sekretaris Jenderal PBB tentang Myanmar, tentang Ketahanan Pangan, dan Perubahan Iklim, serta Anggota Dewan Eksekutif UNDP, UN Women, dan UNICEF.
Hasan Kleib diangkat sebagai Direktur Jenderal Multilateral pada 25 Oktober 2011. Ia bersama 16 tokoh lain dilantik menjadi dubes untuk negara-negara sahabat di Istana Negara, Jakarta, Senin (13/3/2017).
Hasan menuturkan tidak pernah punya cita-cita menjadi diplomat. ”Anak seusia saya punya cita-cita menjadi presiden atau polisi. Saat kecil saya tidak pernah punya cita-cita,” katanya.
Ia tertarik mempelajari hubungan internasional di Universitas Padjadjaran. ”Prinsip saya, di mana pun berada, saya harus menjalani dengan serius dan tanggung jawab. Ketika kuliah, saya serius, ketika bekerja saya juga serius dalam setiap penugasan yang diberikan,” katanya.
Bekerja sebagai diplomat, menurut Hasan, sangat menarik karena setiap hari ia menghadapi isu, tantangan, dan konflik internasional yang berbeda-beda. Pekerjaan ini juga memungkinkan ia berkawan dengan banyak orang dari sejumlah negara berbeda.
”Di ruang diplomasi, kami bernegosiasi, dan sudah terbiasa mempunyai pandangan yang berbeda karena setiap orang membawa kepentingan negara. Namun, begitu keluar dari ruang rapat, kami kembali menjadi sahabat,” katanya.
Hasan Kleib
Lahir: 1 Oktober 1960
Pendidikan:
- S-1 Jurusan Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran (lulus 1986)
- Magister Hubungan Luar Negeri dan Perdagangan Monash University, Australia (1997)