Darwin, Penggerak Literasi Lingkungan ala Pohon Pustaka
Tak mudah membangun kesadaran bersama untuk menjaga dan hidup berdampingan secara berkelanjutan dalam lingkungan yang terjaga. Darwin mengambil peran itu walau harus meninggalkan kemeriahan hidup di kota.
Jika mau, Darwin bisa saja hidup nyaman di Bali atau terus berkelana di Australia. Namun, ia memilih pulang dan tenggelam dalam kesunyian Dusun Kalimbua, Desa Bontongan, Enrekang, Sulawesi Selatan. Apa yang ia lakukan?
Lelaki yang lebih akrab disapa Wiwin ini bukan pulang untuk bertani sebagaimana banyak dilakukan orang-orang di dusunnya. Dia pulang untuk merintis perpustakaan desa dan membangun kesadaran bersama tentang lingkungan.
Baginya, hidup berdampingan dan berkelanjutan dengan alam yang terjaga, jauh lebih menarik. Melalui Lembaga PALM yang berbasis petualangan, konservasi, dan literasi, dia mengajak pemuda setempat untuk berhimpun dan bekerja bersama.
Awalnya ia membangun pondok kecil di bawah pohon di halaman rumahnya. Pada 2016, ia mengembangkannya menjadi perpustakaan mini bernama Pohon Pustaka yang dibangun di antara pohon mangga di sudut kiri halaman rumahnya. Seluruh bahan bangunan menggunakan dedaunan, kulit kayu, dan sisa ranting atau potongan papan dan balok yang tidak terpakai.
Lewat perpustakaan itu, Wiwin tak sekadar ingin meningkatkan minat baca. Lebih jauh, ia ingin menyebarkan pemahaman hidup yang ramah lingkungan. Ia menyebut kegiatannya ekoliterasi. ”Kita semua harus tercerahkan dulu dan salah satunya lewat literasi dan belajar bersama. Setelah itu, orang bisa masuk dalam ecolife,” kata Wiwin, Sabtu (14/11/2020) malam, saat ditemui di Pohon Pustaka.
Aktivitas literasi tak hanya dilakukan di Pohon Pustaka, tetapi juga dengan cara menggelar perpustakaan keliling. Bersama rekan-rekannya, ia rutin berkunjung ke berbagai dusun dan kampung hingga nun jauh di kaki Gunung Latimojong untuk menggelar lapak buku. Warga bisa membaca dan meminjam buku. Mereka pula yang akan berkeliling menjemput buku yang telah dibaca.
Setiap tahun komunitas ini menggelar lapak buku merdeka yang digelar di lapangan di tengah kota Enrekang hingga beberapa pekan. Belakangan untuk menghapus kerinduan pelajar di tengah program belajar dari rumah, perpusatakaan keliling lebih sering digelar dan selalu dipadati anak sekolah.
Satu buku, satu pohon
Wiwin tidak sekadar mengajak warga belajar dan memahami persoalan lingkungan. Bersama anggota PALM, ia aktif turun menanam bibit pohon di lahan kritis, tepi jalan, taman desa, pinggir sawah, hutan, kawasan rawan longsor, dan tempat lain yang dianggap pantas. Secara rutin mereka datang memupuk, merawat, hingga tanaman benar-benar tumbuh. Kegiatan ini diusahakan melibatkan pemuda desa.
Komunitas ini juga menawarkan bibit pohon kepada warga agar menanamnya di tepi kebun bawang, sayuran, atau jadi tanaman plasma di kebun kopi. Bibit itu sebagian berasal dari pembibitan yang dilakukan sendiri, selebihnya diambil dari kantor BP DAS Saddang.
Belakangan Wiwin merintis gerakan Satu Buku Satu Pohon. Setiap donasi buku atau donasi lain yang diterima Pohon Pustaka dikonversi dengan menanam satu pohon. Sejauh ini ribuan pohon telah ditanam di berbagai lokasi.
Wiwin mengaku tak mudah hidup berdampingan dengan alam secara berkeadilan. Terlebih di Enrekang, sebagian besar lahan dipenuhi tanaman hortikultura.
Di sini sebenarnya banyak kearifan lokal untuk bercocok tanam yang ramah lingkungan. Namun, di tengah gempuran pupuk dan pestisida kimia, serta tuntutan ekonomi, kearifan lokal tersisih.
”Di sini sebenarnya banyak kearifan lokal untuk bercocok tanam yang ramah lingkungan. Namun, di tengah gempuran pupuk dan pestisida kimia, serta tuntutan ekonomi, kearifan lokal tersisih. Kalaupun ada yang mau menerapkan, misalnya memberantas hama (dengan ramah lingkungan), mereka justru jadi korban karena lahan mereka akan jadi sasaran hama,” ujarnya. Jadi, ini hanya bisa berhasil jika semua pemilik lahan kompak menerapkan hal sama.
Begitu pula soal pemupukan. Intinya, kata Wiwin, petani harus siap menerima kegagalan dalam satu atau dua kali masa panen, setelah itu baru bisa berjalan. ”Tentu tak banyak yang mau,” katanya.
Itulah mengapa bersama rekan-rekannya di AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) Massenrempulu, sebutan lain Enrekang, Wiwin aktif terlibat dalam pendataan dan proses pengakuan masyarakat adat. Baginya, di dalam komunitas adat, ada kawasan adat yang bisa dikelola secara bijak berbasis kearifan lokal.
Saat ini, dari beberapa komunitas adat yang telah didata, setidaknya ada dua yang telah mendapatkan SK. Dua lainnya sudah mendapatkan nomor SK tetapi belum diserahkan. Lahannya mencapai ribuan hektar. Di luar itu, ada tiga komunitas adat yang sedang dalam proses pengusulan.
”Kami berharap dengan pengakuan pada lembaga adat akan ada pengakuan kawasan adat di mana masyarakat atau komunitas adat bisa mengelola dengan bijak. Komunitas adat juga akan menjadi wadah di mana tradisi, seni, dan budaya bisa dipertahankan dan dikembangkan,” ujar Wiwin.
Rencana Pohon Pustaka
Sesungguhnya Wiwin tak pernah bercita-cita bahkan berpikir terlibat dalam kegiatan yang dilakukan sekarang. Saat tamat SMP, dia bercita-cita masuk sekolah seni dan melanjutkan ke ISI Yogyakarta. Namun, dia akhirnya sekolah di SMK Pertanian.
Lulus SMA, dia justru ke Makassar dan kuliah di akademi pariwisata. Dia juga mengambil program non-gelar bahasa asing di Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Belakangan, ia kuliah di Jurusan Teknik Sipil Institut Sains dan Teknologi Pembangunan Indonesia, Makassar. Dia mengakui, tahapan pendidikan yang dilalui hampir tak ada yang linier.
Panggilan jiwa sebagai petualang, keinginan melihat dan belajar banyak hal membawa dia terbang ke Bali selepas kuliah di Yogyakarta. Setahun di Bali, dia berkelana ke Australia. Lebih tiga tahun bolak-balik Bali dan Australia, Wiwin diajak berkarier di bidang pariwisata.
”Namun, saat itu saya berpikir kalau untuk mengelola kafe, rumah makan, atau hotel, saya bisa melakukannya di Makassar. Di Australia, saya suka mengamati tata kota dan transportasi. Kadang jika kehabisan uang, saya bekerja macam-macam. Jika ada uang, saya lanjut lagi bertualang hingga belajar surfing sampai ke Selandia Baru,” kata Wiwin.
Namun, setidaknya pengalaman yang saya peroleh membuat saya merasa lebih matang dan bijak.
Pada akhirnya, dia sadar tak bisa terus mengikuti panggilan petualangan. Tahun 2012, dia memutuskan kembali ke Enrekang dan justru menggeluti hal yang sama sekal tak dilakukan dalam petualangan sebelumnya dan juga tak dipelajari di bangku kuliah. ”Namun, setidaknya pengalaman yang saya peroleh membuat saya merasa lebih matang dan bijak,” katanya.
Saat ini Wiwin berencana mengembangkan Pohon Pustaka tak sekadar tempat belajar dan diskusi, tetapi juga menjadi ruang pengembangan seni budaya dan rumah singgah. Dia juga akan mengembangkan cabang-cabang Pohon Pustaka di sejumlah desa, terutama pelosok Enrekang, untuk menciptakan lebih banyak ruang belajar dan berdiskusi terutama untuk generasi muda.
Darwin
Lahir: Enrekang, Sulawesi Selatan, 4 April 1977
Alamat: Dusun Kalimbua, Desa Bontongan Kecamatan Baraka, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan
Pendidikan:
- SDN 134 Kalimbua (1989)
- MTS Kalimbua (1993)
- SMTP Negeri Sidrap(1996)
- D3 AKPARI YPAG Makassar (2000)
- Program Bahasa Univeritas Atma Jaya Yogyakarta ( 2002)
- S1 Teknik Sipil ISTPI Makassar (2015)
Kegiatan:
- BPAN Massenrempulu
- PD AMAN Masserempulu
- Pengelola Pohon Pustaka
- Pengurus PALM Indonesia